Oleh. Sofian Sauri

 

Ini adalah ceritaku, awal pertemuanku dengan Kak Raka, yang mengubah duniaku. Menuntut ilmu telah menjadi kewajiban bagi setiap umat manusia sebagai upaya melawan kebodohan dan menghormati akal, serta pengamalan merupakan bentuk tanggung jawab atas ilmu yang dipelajarinya. Istilah lelah tidak pernah ada dalam kamus Kak Raka.

Raka merupakan sebutan akrab salah seorang mahasiswa asal STAI Syubbanul Wathon Magelang. Ia mahasiswa yang cukup tenar. Perawakan pemuda berbadan tegap itu begitu ramah, rambutnya ikal, raut wajahnya selalu nampak periang.

Setiap akhir pekan adalah hari libur perkuliahan, keseringan mahasiswa memiliki ragam aktivitas, banyak pula yang memilih untuk malas gerak ‘mager’. Akan tetapi, Sabtu bukan menjadi hari malas-malasan bagi Kak Raka.

Diwaktu senggang kala weekend tiba itu ia pilih menggunakan waktunya memutarkan roda besinya untuk  menyambangi lampu lalulintas di sudut Kota Magelang. Ya,  lokasi itu menjadi tempat favorit anak-anak jalanan, yang merupakan sekawananku. Tak sedikit diantara kami masih dibawah umur. Tak lain, dibawah pal lampu merah itu kami mengais rezeki, mengumpulkan pundi-pundi  receh. Semua anak-anak  bermodal gitar kecil, berpakaian lusuh diiringi sahutan nada sumbang dan vokalnya pun tak beraturan, modal utamanya cukup dengan percaya diri dan terus saja berdendang. Jerenggg… Jrengg… Jrenggg. Kemelut gitar  mereka menderingkan jalanan.

Ya, itu adalah Aku, yang sedang diperhatikan Kak Raka. Nyanyianku ditepian trotoar. Rupanya keras terdengar olehnya.

“Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami, pada mu kami berjanji”

Kemudian, Kak Raka menghampiriku.

“Dek, suara kamu merdu dan lagunya bagus, mengapa bocah seusia kamu harus mengais rupiah di jalanan, seharusnya kamu masih memegang alat tulis dan bermain bersama teman – teman sebaya mu, siapa nama mu?” Sapanya kepada ku yang sedang hanyut dalam lagu yang kunyanyikan.

Aku kemudian menyahut, “Namaku Rian, Kak.”

Akupun menimpalinya dengan pertaynyaan,  “Nama kakak siapa?”

“Raka, oh, iya, huruf depan, nama panggilan kita sama, tos dulu dong, yeah ha ha…Kami pun tertawa bareng, diawal perjumpaan itu.

Kak Raka menceritakan bahwa dirinya sering menyanyikan lagu itu setiap pagi, “sebelum berangkat ke kampus, kakak pasti menyanyikanya, lagu itu penuh impresi sehingga jiwa ini semakin peka dek,” katanya.Sembari aku mengangguk dan manut saja.

“Dek, minum dulu nih, air mineral ini, keringat mu bercucuran dan kau tampak haus, geser kursinya dan duduklah sebentar supaya keringatnya kering terlebih dahulu tersapu hembusan angin siang ini,” nampak perhatianya padaku.

“Iya kak terimakasih banyak ya, aku minum, Kak,” Jawabku.Air itu melegakan rongga mulutku yang kering.

Kamu kenapa tidak sekolah. Apa kamu tidak suka pendidikan?,” tanya Kak Raka.

“Tidak Kak, sebenarnya aku senang bersekolah, terakhir aku duduk dibangku kelas Tiga Sekolah Dasar di kampungku, aku pernah dikatakan “bodoh” oleh salah satu guruku, dan ia berkali kali memanggilku dengan anak bodoh didepan murid-murid yang lain, andai saja aku pandai sejak lahir aku tak kan pernah mendengar sebutan bodoh itu kak,” jawabku.

“Apa kamu membencinya?” tanyanya balik

“Sama sekali tidak, Kak,” tegasku.

“kamu di sini, apa  orang tua mu tidak melarang, mengamen di lampu merah ini?”

“Aku yatim piyatu sejak kelas satu Sekolah Dasar kak, aku anak tunggal dan tidak ada satu pun keluarga dari Ibuku maupun Ayahku yang peduli kepada ku.”

“Dek, pendidikan ibarat sebuah kapal yang harus kita pakai untuk mengarungi lautan lepas, kau tahu Thomas Alva Edison penemu bolam lampu pijar, ia seorang anak yang disleksia dan ia kesulitan ketika mengikuti mata pelajaran yang diajarkan oleh gurunya di sekolah”

“Jika Edison itu seumuran dengan mu dan sekolah ditempat yang sama,  kemungkinan besar akan ada dua anak yang dipanggil dengan sebutan bodoh oleh guru mu, tetaplah belajar, kakak akan menemanimu belajar, rumah kosong yang lama tidak terpakai di belakang Masjid agung kota , besok kita jadikan tempat belajar.”

Rumah yang disebutkan itu tak jauh dari tempatku mencari rupiah.

Kak Raka bilang padaku, “apabila bangunan bekas rumah yang sudah lama tidak dihuni dan temboknya sudah tidak lagi berdiri tegak, maka, serangga dan hewan pengeratlah yang akan menghuni bangunan itu. Kita manfaatkan saja, ya” tawarnya padaku

Aku mengangguk, kemudian, aku bersama Kak Raka membersihkan bangunan itu. Menutup bagian selatan bangunan dengan seng supaya tidak terlihat dari luar, lalu menghias dinding bagian dalam dengan foto presiden beserta wakilnya kemudian ditengah antara kedua foto tersebut, Kak Raka menambahkan tiruan burung garuda yang terbuat dari kayu sebagai lambang dasar ideologi negara Indonesia, dan tidak lupa menambahkan figura yang ada logonya Nahdlatul Ulama.

“Pikirku, Kak Raka begitu baik padaku, baru kenal saja, aku sudah diajak belajar bersamanya.”

Pembelajaran berlangsung setiap akhir pekan, setiap pukul 07.30 aku bergegas bersemangat belajar, dimana juga hari itu Kak Raka libur kuliah.

Semula hanya aku yang menjadi anak didiknya, kemudian aku berhasil mengajak empat teman ku, meski tempat belajar ini jauh dari layak disebut sebuah sekolah namun aku selalu mengatakan dalam hati,  “Ini sekolah yang aku dambakan selama ini, berlimpah kasih dan sayang, hingga kami merasa sangat teduh, tidak ada lagi sekat kelas sosial, ini lah pendidikan yang sebenarnya” gumamku mengharu bahagia.

“Alhamdulillah, kau tampak sangat bersemangat, Rian?”

Kakak tahu, rasa ingin tahumu itu menggelora, kemarilah mendekat kakak ingin menunjukkan sebuah buku kepadamu. Coba tebak, siapa foto orang ini dan apa hubungannya dengan logo yang ada difigura itu?” selain foto presiden dan awakilnya, ya.

Foto itu nampak tidak asing dimataku, aku jawab sajam “Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri , beliau pendiri Nahdlatul Ulama pada tahun 31 Januari 1926, Kak”

“Lho… Darimana kau tahu semua itu, yan?” ia terkaget.

“Ayah selalu bercerita kepadaku sebelum tidur, ia sering bercerita tentang wali sanga, dan sejarah negeri ini kak”

“Andai saja Ayahmu masih hidup, pasti ia sangat bangga melihatmu, kau anak yang cerdas, Riyan,” ujar Kak Raka sembari mengusap rambut kepalaku.

“Jangan pernah kau menganggap, pagar seng sekolah kita ini akhir perjalananmu dalam mencari ilmu, sebab semesta ini masih luas untuk kau arungi, Rian.”Pesan kak Raka pada ku dengan tatapannya yang meneduhkan.

Sabtu depan, ajak temanmu yang lebih banyak lagi, ya?”.

Iya, siap Pak Guru. “Besok debu jalanan itu akan ku giring kesini. he he” celotehku padanya disambut tawa.

Namun ia mengatakan padaku, “lain waktu, jangan panggil teman-temanmu debu jalanan lagi, ya.”

“iya kak, maaf cuma bercanda kok” sahutku masih tersenyum.

Sepekan kemudian aku berhasil mengajak empat temanku untuk belajar bersama kak Raka di tempat itu, meski kehidupanku di jalanan namun aku dan teman-teman yang lain mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan seperti mereka, para anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang berduit tebal.

Dan aku berharap terdapat sosok-sosok seperti Kak Raka di bumi pertiwi ini, agar, anak-anak ingusan yang tak terawat dijalanan juga memiliki kesempatan belajar, meskipun di ruang-ruang terbuka. Ya, aku Rian si bocah trotoar yang mengharapkan kebaikan dari orang yang perhatian kepada pendidikan di jalanan. Kak Raka, engkau guruku ditengah debu jalanan. Selamat belajar!.

 

*Pengelola TBM Petung Ombo, Kab. Magelang