Oleh Alma Mauludy*
Hampa, sepi, kosong. Itulah yang kurasakan beberapa hari terakhir. Meskipun juga ada kebahagiaan yang datang, tapi jati diriku hilang. Tanpa arah dan tanpa tujuan. Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Sore itu tanggal 16 Januari 2024, Bandung hujan deras. Rintikan hujan membuatku tenang, tapi tidak dengan gemuruh dan petirnya menyambar dengan suara yang cukup nyaring. Suasana di kantor sama seperti biasa. Tidak ada yang peduli. Hanya untuk kerja, kerja, dan kerja. Tak lama notifikasi chat dari WhatsApp muncul menampilkan nama Maudy, dengan foto profil kosong. Hanya sesekali menampilkan foto profil ketika berkomunikasi dengan dosen pembimbingnya. Sangat merepotkan, pikirku.
“Kamu aman? Di sana ada petir ga?” begitulah isi pesannya. Maudy adalah temanku, kami saling mengenal lewat media sosial. Usianya baru 22 tahun dan mahasiswi semester akhir di salah satu universitas negeri di kota Bandung, sedangkan aku di bulan ini sudah 27 tahun. Kami memiliki banyak kesamaan. Salah satunya takut menonton film horror. Bisa dikatakan, dia yang bisa memaklumi kenapa aku takut dengan petir, meskipun kadang sikapnya yang menyebalkan dan kekanak-kanakan.
Memastikan semua baik-baik saja, aku pun membalas chatnya. “Aman kok. Ini masih di kantor. Nanti pulangnya seperti biasa jam lima”. Tak berselang lama notifikasi muncul kembali, “Kalau mau ditemenin bilang aja, ya”, katanya. Perempuan yang hampir dewasa ini kadang membuatku gemas dengan tingkahnya. Ada sedikit perasaan bahagia yang muncul. Tetapi tetap saja. Jati diriku hilang. Hampa, kosong, lagi.
Beberapa minggu kemudian, aku menjalani hari berbeda dengan biasanya. Lebih tenang dan semangat yang terus ada. Hingga aku menyadari dan mungkin terlalu naif untuk mengakui, bahwa kehampaan yang selama ini kurasakan karena aku terlalu terpaku kepada orang lain dan tidak mencari kebahagiaan dalam diriku sendiri.
*Penulis adalah peserta kelas menulis TBM Sigupai Mambaco