Oleh. Munasyaroh Fadhilah*
Perayaan HUT ke-19 Forum TBM telah memasuki hari ke-4. Antusiasme para pegiat literasi seluruh Indonesia semakin terasa. Acara yang diselenggarakan secara daring dari tanggal 10 hingga 16 Juli 2024 ini mendapat dukungan luar biasa dari berbagai pihak, termasuk sponsor seperti Gramedia, JNE, Perpusnas, dan Kemenko PMK yang turut memeriahkan acara dengan berbagai hadiah giveaway.
Pada hari ke-4, acara diisi dengan tiga diskusi buku yang terbagi dalam tiga sesi berbeda. Sesi pertama membahas buku “Merekam Jejak Taman Baca”, sesi kedua mengulas buku “Memotret Bintauna”, dan sesi ketiga mendiskusikan “Senja Yang Tersisa”. Di antara sesi pertama dan kedua, ada penampilan hiburan dari Dika Ajen Wirasunda, anggota Forum TBM Jawa Barat, yang membawakan pagelaran Wayang Golek khas Sunda secara live.
Diskusi Buku: Merekam Jejak Taman Baca
“Merekam Jejak Taman Baca” adalah judul buku yang diterbitkan oleh pegiat literasi di Papua Barat Daya. Buku ini diperbincangkan dalam heletan HUT ke-19 Forum TBM hari ke-empat.
Dalam sesi bincang buku, dua penulis bukunya yakni yang Gress Titiany dan Pretty Christina menjadi narasumber.
Penanggap dari diskusi buku ini adalah Heru Kurniawan, Pengurus Pusat Forum TBM. Kegiatan dilaksanakan hari Sabtu, 13 Juli 2024 pukul 14.10. – 15.30 WIB.
Bertindak sebagai moderator ada Arif Prasetyo dari Forum TBM Lampung.
“Merekam Jejak Taman Baca” berisi cerita perjalanan para relawan di 3 Taman Baca serta memuat gambar-gambar karya anak-anak di Taman Baca tersebut, termasuk puisi-puisi yang mereka buat. Kisah para relawan saat mengabdikan diri pada kegiatan literasi ditulis apa adanya dalam buku tersebut. Ada kisah-kisah unik yang menyertai.
Sebagai penanggap buku, Heru Kurniawan melihat adanya proses kreatif sebagai hal yang penting di dalam pembuatan buku ini. Ada proses mental yang komprehensif karena tidak bisa langsung jadi. ada seleksi-seleksi pengalaman yang cukup banyak kemudian pengalaman itu dipilah oleh penulisnya sendiri dan ditulis kedalam buku.
Apresiasi tinggi diberikan kepada para pengurus buku dari Heru Kurniawan
Dia menyadari penulisan buku itu tidak mudah. Ada banyak proses yang menyertainya. Ada skill yang perlu diasah. Mulai dari kalimat pembuka, isi dan bagaimana mengakhiri sebuah karya tulis.
Gress Titiany mendorong para peserta untuk mulai menulis dari hal-hal yang sederhana, dengan pesan “Mulailah dari sekarang, jangan tunggu nanti”.
Sementara, Pretty Christina menambahkan pentingnya memulai dari karya-karya kecil seperti buku antologi untuk belajar, hingga nantinya mampu membuat buku sendiri.
Heru Kurniawan memberikan beberapa tips menulis, yaitu:
- Buang kata “susah” dari pikiran.
- Ceritakan hal yang menarik
- Selesaikan satu ide sebelum melanjutkan ke ide lainnya
- Mulailah menulis dari apa yang dilihat atau dirasakan.
Melalui diskusi ini, diharapkan semakin banyak orang yang termotivasi untuk menulis dan berbagi cerita, serta memperkuat budaya literasi di Indonesia.
Perayaan HUT ke-19 Forum TBM menjadi momen penting untuk menghargai dan mengapresiasi usaha para pegiat literasi dalam menyebarkan pengetahuan dan cinta membaca di seluruh penjuru negeri.
Diskusi Buku “Memotret Bintauna”
Pada perayaan HUT ke-19 Forum TBM, Ersad Mamonto dari PW Forum TBM Sulawesi Utara membawa cakrawala baru tentang sebuah tempat yang bernama Bintauna. Buku yang dibahas dalam sesi kedua diskusi buku ini berjudul “Memotret Bintauna”.
Diskusi sesi 2 hari ke-4 ini menghadirkan Atep Kurnia dari Pengurus Pusat Forum TBM sebagai penanggap dan M. Syaiful Bahri dari PW Forum TBM DIY sebagai moderator. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom dan disiarkan langsung di YouTube Forum TBM pada pukul 15.40 – 17.00 WIB.
Ersad Mamonto menceritakan bahwa awal mula buku ini berasal dari tulisan-tulisan yang ada di blog yang dulu bernama terasinomasa.com, namun sekarang telah berubah menjadi terasinomasa.club. Banyak kontributor dan penulis yang menyumbangkan ide serta tulisan di sana, yang kemudian dikompilasi menjadi buku “Memotret Bintauna”.
Buku ini lahir dari kerisauan para penulis tentang tanah kelahiran mereka, yakni Bintauna. Buku ini mendokumentasikan segala sesuatu tentang Bintauna melalui tulisan-tulisan yang kaya akan sejarah dan budaya. Bintauna sendiri adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1675 Masehi. Kerajaan Bintauna mengalami perjalanan sejarah yang cukup pelik hingga akhirnya bubar pada tahun 1960. Bintauna kini menjadi sebuah kecamatan di Sulawesi Utara.
Atep Kurnia mengapresiasi buku ini, menyatakan bahwa identitas kearifan lokal, bahasa, dan budaya literasi yang diulas dalam buku ini sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Atep menekankan pentingnya menjaga dan mengembangkan budaya lokal sebagai bagian dari upaya membangun bangsa, sesuai dengan motto Bintauna, “bersama membangun negeri”.
Memotret Bintauna” mencakup 35 tulisan, 2 komentar, 1 pengantar, 1 promosi, dan 1 selayang pandang. Tulisan-tulisan dalam buku ini menggambarkan beragam sudut pandang dari para penulisnya, yang sebagian besar baru pertama kali menulis selain menulis skripsi. Mereka mendokumentasikan sejarah dan budaya Bintauna dengan tujuan untuk menjaga identitas lokal dan memotivasi generasi muda untuk tetap mencintai dan menghargai warisan budaya mereka.
Buku ini secara umum dikelompokkan menjadi lima bagian utama yang dimulai dari keresahan para pemuda melihat kondisi dan identitas yang nyaris terlupakan, hingga harapan dan tantangan yang ingin diwujudkan.
Diskusi buku ini tidak hanya membahas isi dan proses pembuatan buku “Memotret Bintauna”, tetapi juga menginspirasi peserta untuk lebih menghargai dan memelihara warisan budaya lokal mereka. Pesan yang disampaikan adalah pentingnya mendokumentasikan sejarah dan budaya lokal agar tidak terlupakan oleh generasi mendatang.
Diskusi Buku “Senja Yang Tersisa”
Diskusi buku ketiga dalam perayaan HUT ke-19 Forum TBM hari ke-empat dilaksanakan pada pukul 19.00 – 20.30 WIB. Buku yang dibahas berjudul “Senja Yang Tersisa” dengan penulisnya, Suplan Azhari, sebagai narasumber utama. Diskusi ini juga menghadirkan Vudu Abdurrahman sebagai penanggap dan Nurul Asmayani dari PW Forum TBM Kalimantan Selatan sebagai moderator.
Suplan Azhari menceritakan bahwa ini adalah kali pertamanya menulis buku. Ini adalah sebuah tantangan yang diambil setelah dibujuk oleh Vudu dan teman-teman lainnya. Awalnya, Suplan merasa bingung harus memulai dari mana. Dia mengakui dirinya bukan bagian dari generasi milenial melainkan generasi kolonial yang gagap teknologi. Penulisan buku setebal 260 halaman ini dimulai dengan menggunakan ponsel miliknya, sebelum akhirnya dipindahkan dan direvisi di laptop oleh anaknya.
Proses pembuatan buku ini memakan waktu selama tiga tahun dan mendapat banyak bantuan dari rekan-rekan literasi seperti Vudu, Faiz, dan lainnya. Judul “Senja Yang Tersisa” dipilih karena Suplan merasa sudah memasuki usia senja, yakni 77 tahun. Awalnya, judul buku ini bukanlah “Senja Yang Tersisa”, namun setelah berbagai pertimbangan, judul tersebut dirasa paling tepat.
Suplan menjelaskan bahwa di usia yang sudah tua, ia masih ingin diakui dan tidak ingin merasa tersingkirkan. Buku ini ditulis sebagai refleksi dari pengalaman hidupnya dan harapan agar tetap dikenang dan dihargai.
Vudu Abdurrahman menambahkan bahwa proses penulisan buku ini melibatkan banyak pihak yang membantu. Mulai dari memindahkan tulisan ke laptop, merevisi, dan lain sebagainya. Vudu juga menceritakan bahwa ketika pertama kali bertemu dengan Suplan, ia berkata bahwa dirinya sudah tua dan merasa perlu menyiapkan sesuatu yang bermanfaat sebelum dijemput maut. Oleh karena itu, ada korelasi antara judul buku dan perasaan Suplan tentang akhir hidupnya.
Menurut Vudu, di usia yang sudah senja, merawat memori memang sulit, namun Suplan berhasil melakukannya berkat didikan dari ibunya. Suplan mengenang bagaimana saat kecil ia sering disuruh untuk membeli sesuatu atau mendengar cerita sebelum tidur dari ibunya. Kenangan-kenangan inilah yang secara tidak langsung menempel di memorinya dan banyak diceritakan dalam buku.
Diskusi ini memberikan wawasan tentang proses kreatif dan tantangan yang dihadapi oleh penulis yang berusia lanjut. “Senja Yang Tersisa” bukan hanya sebuah buku, melainkan juga sebuah warisan dari Suplan Azhari yang berharap untuk tetap dikenang dan dihargai.
Pesan dari diskusi ini adalah bahwa menulis bisa menjadi cara untuk merawat memori dan menyampaikan warisan kepada generasi mendatang, terlepas dari usia atau keterbatasan teknologi.
Perayaan HUT ke-19 Forum TBM melalui diskusi buku ini berhasil menginspirasi para peserta untuk tetap semangat menulis dan berbagi cerita, serta memperkuat budaya literasi di Indonesia.
*Tim Penulis HUT ke-19 Forum TBM