Pukul. 16.00 WIB tepat! Saya menunggu anak-anak untuk belajar di Sekolah Kreatif yang sudah lima tahun berjalan. Saya tiba di halaman tempat kami belajar. Di situ tak ada satu pun anak-anak yang sudah datang.
Saya memutar pikiran beberapa derajat. Sekadar ingin mendapatkan ide: apa yang harus saya lakukan untuk memberikan hukuman yang menyenangkan pada anak-anak yang hari ini terlambat belajar.
Mendadak, saat pikiran sedang bekerja lebih cepat dari biasanya, saya melihat sebutir batu bertabur tanah yang tergeletak di halaman tempat kami belajar yang bersih. Saya ambil batu itu, saya perhatikan baik-baik, sebelum kemudian saya lempar ke jalan.
Saya mendapatkan gagasan hukuman yang menarik dan kreatif untuk anak-anak yang terlambat hari ini. Senyum kemenangan saya keluarkan. Indah dan senangnya saat ide kreatif itu datang.
“Kok, Pak Guru tersenyum sendiri!” kata Nanda mengagetkanku.
Saya baru sadar. Ternyata sepuluhan anak telah datang untuk belajar. Saya gugup dan malu. Takut dikira telah menjadi gila karena terlalu bersemangat untuk mengajar hari ini.
“Bagus, kalian sudah datang! Sekarang kita mulai belajarnya!”
Anak-anak segera menyiapkan diri. Duduk melingkar penuh suka cita. Kemudian berdoa dengan hikmat sebagai langkah awal prosesi belajar. Doa yang memanjatkan agar belajar kami diberkati Allah, sehingga kelak akan menjadi generasi bangsa yang cerdas dan berguna.
Selesai doa saya langsung berteriak layaknya orang gila yang terlalu bersemangat, “Sekarang, karena kalian terlambat. Kalian diberi hukuman untuk mengambil batu yang ada di halaman rumah!”
Anak-anak saling pandang. Bingung. Barang kali mempertanyakan dua hal dalam hati mereka: “Hukuman kok mencari batu. Mana letak hukumannya” karena ini mereka pasti berpikir “Sejak kapan Pak Guru mulai gila.”
Jadi, tak ada satu pun anak yang beranjak. Mereka menatapku bengong ingin meyakinkan, “Benar hukumannya mencari batu?” atau “Pak Guru sudah mulai gila, ya?”
“Ayuk! Segera dicari batunya!” saya memerintahkan, dan baru kemudian anak-anak berdiri dan berlari mencari batu.
Mereka kembali dengan membawa batu aneka jenis dan aneka kotornya karena berlumur tanah. Maklum hujan baru reda tadi. Batu-batu itu diletakan di hadapan mereka yang sudah siap dengan buku tulisnya masing-masing.
“Sekarang, amati dengan baik batu yang kalian bawa. Itu adalah batu hukuman atas keterlambatan kalian. Amati selama lima menit, dan temukan berbagai kata yang ada dalam batu itu. Bisa bulat, kotor, pasir, dan sebagainya. Kata itu mencakup hal yang ada dalam batu yang kalian bawa. Jelas?’
“Jelas!” teriak anak-anak seperti paduan suara yang tengah meragukan kewarasanku.
Perlahan-lahan anak mengamati batu di hadapannya dengan saksama. Sambil mengamati, anak-anak menulis berbagai kata yang ditemukan melalui batu itu. Kata yang berkaitan dengan hal yang ada dengan batu itu.
Ada yang menulis: keras, bulat, coklat, pasir, kecil, angkuh, oval, sendirian, satu, dan sebagainya.
“Sudah?”
“Sudah, Pak Guru!”
“Kalian menemukan berapa kata?”
Ada yang menjawab lima, enam, tujuh, sampai dua belas. Saya senang mendengarnya.
“Karena kalian telah terlambat datang, maka kalian akan mendapatkan hukuman selanjutnya. Hukuman selanjutnya adalah buatlah puisi yang tiap satu kalimatnya menggunakan satu kata yang sudah kalian temukan. Jelas?”
Anak-anak saling pandang serasa hendak ingin mengatakan, “Ini baru yang namanya hukuman! Ternyata Pak Guru tidak gila!”
“Kerjakan sekarang!”
Anak-anak kemudian tekun membuat kalimat dengan menggunakan kata-kata yang sudah ditemukan untuk disusun menjadi puisi. Tentu saja, puisi yang akan mendeskripsikan batu yang sudah mereka ambil.
Setelah selesai, anak-anak mengumpulkan hasil tulisan puisi hukumannya kepada saya. Satu per satu saya membacakan puisi mereka, sekaligus untuk mengajarkan cara membaca puisi yang bagus.
Salah satu puisi karya Aisah Nur Oktavia, yang duduk di bangku kels lima Sekolah Dasar (SD) menjadi puisi terbaik.
DOA TANAH PADA HUJAN
Di tanah kehidupan yang suci
Kau panjatkan doa dengan diam-diam
Mengaharapkan kehadiran bulat-an harapan yang turun bersama hujan
Untuk membasauh warna cokelat-mu yang kotor oleh dosa tanah
Angin bernyanyi menghembas debu di tubuhmu
Yang telah lama angkuh menyelimuti hati
Yang sekin lama membuatmu sendiri-an
Dalam keras-nya kehidupan
Setelah saya membacakan puisi di hadapan anak-anak. Kemudian puisi mereka saya bagikan kembali, dan kemudian setiap anak saya hukum dengan maju satu per satu untuk membacakan puisinya.
Saya memberikan komentar dan apresiasi atas karya puisi dan pembacaan mereka. Puisi dan pembacaan puisi terbaik mendapatkan hadiah dari saya dipertemuan besok. Dan tentu saja, hadiah yang serba kreatif yang tidak bisa ditebak oleh anak-anak.
Anda juga barangkali mau menebak hadiahnya apa?
Dan tentu saja, saya juga belum bisa memberikan jawabannya karena saya belum tahu. Semua selalu ingin saya lakukan secara mendadak, karena mendadak menantang naluri kreatif saya. Seperti, kegiatan belajar dengan anak-anak kali ini.
Yang saya beri nama: Hukuman Literasi yang Kreatif dan Menyenangkan!
Dari kegiatan kali ini saya mendapatkan kenyataan bahwa hukuman yang menyenangkan telah mengkondisikan anak-anak melakukan kinerja kreatif yang tak disadari oleh mereka. Kinerja kreatif yang terdiri atas:
Menentukan pilihan persoalan (batu)
Melakukan pengamatan dan observasi yang intens (mengamati batu)
Menemukan data yang berupa kata yang ada dalam segala hal di batu
Melakukan penyusunan hasil temuan melalui
Mempresentasikan hasil temuan atau karya yang sudah diciptakan
Dan proses kinerja ini dilakukan melalui kegiatan bermain dengan model induktif. Di awal anak-anak tidak diteror dengan teori dan konsep menulis yang barangkali akan membuat naluri asal mereka muncul: menulis itu susah.
Sebaliknya anak-anak dikondisikan untuk berpikir dan berkarya melalui kegiatan sistematis yang menyenangkan dan mecerdaskan, yaitu bergerak dan berpikir. Hasilnya, anak dan remaja bisa menulis puisi dari “batu” yang dijadikan media untuk mengeksplorasi gagasan dan perasaan anak dan remaja.
Dan mereka bangga dan bahagia karena menulis puisi itu mudah.
“Bagaimana dengan hukuman hari ini?” tanya saya di akhir kegiatan belajar.
Anak-anak saling pandang. Ingin mengunggkapkan sesuatu yang sama, tapi tak berani sehingga ditahan. Berharap ada teman yang berani mewakilinya. Tapi semua diam karena barang kali perkataan itu akan menyakiti hati saya, sehingga takut mengatakan.
“Katakan saja. Jangan ditahan! Jangan takut”
Salah satu anak kemudian berucap, “Saya pikir tadi Pak Guru mulai gila. Tapi, ternyata tidak. Pak Guru kreatif!”
Semua anak kemudian tertawa. Saya pun ikut tertawa. Kami tertawa bersama merayakan kebahagian telah menjalani Hukuman Literasi yang Kreatif dan menyenangkan.
Barangkali demikianlah cara mengajari anak-anak menulis puisi. Semoga menginspirasi.[]