Oleh. Atep Kurnia
Dengan berhasilnya perayaan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia setiap tanggal 23 April, UNESCO kemudian menambahkan konsep promosi dan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan projek baru yang disebut dengan Ibu Kota Buku Sedunia (World Book Capital).
Menurut UNESCO (en.unesco.org/world-book-capital-city), ibu kota buku sedunia adalah kota yang ditunjuk oleh UNESCO untuk menjalankan berbagai aktvitas yang ditujukan untuk mendorong budaya membaca dan menyebarkan nilai-nilainya pada setiap tahapan umur dan kelompok orang baik di dalam atau di luar batas negara. Melalui program tersebut, UNESCO mengakui komitmen kota-kota untuk mempromosikan buku dan mengembangkan kegiatan membaca selama 12 bulan antara satu perayaan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia ke perayaan tahun selanjutnya. Dengan kata lain, dari 23 April hingga bertemu dengan 23 April tahun mendatang.
Komite penasihat untuk program Ibu Kota Buku Sedunia terdiri atas perwakilan dari the International Authors Forum (IAF), the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), the International Publishers Association (IPA), dan satu perwakilan UNESCO yang bertugas memeriksa dan menyeleksi berkas-berkas lamaran dari negara-negara anggota UNESCO. Agar menyeluruh ke seantero dunia, UNESCO menerapkan prinsip perimbangan geografis, dan mengikuti kriteria mutu yang berbeda-beda. Komite pencalonan bertemu sekali setiap tahun.
Lebih jauh, dalam situs tersebut disebutkan bahwa direktur jenderal UNESCO bertanggungjawab bagi penunjukkan kota-kota dengan mengikuti baik konsultasi internal dan eksternal dengan anggota-anggota lain komite penasihat. Pencalonan tersebut tidak akan diberi hadiah uang oleh UNESCO, melainkan bersaing mendapatkan gelar Ibu Kota Buku Sedunia yang merepresentasikan pengakuan simbolik yang penting, juga sangat efektif bagi kota pemenang dalam kerangka komunikasi dan promosi kotanya.
Tetapi bagaimana konsep Ibu Kota Buku Sedunia diluncurkan? Mengenai hal ini, kita dapat menengok “Draft resolution on the ‘World Book Capital’” yang dihasilkan selama sesi ke-31 pertemuan umum UNESCO (31st Session of the General Conference) pada 2 November 2001. Saya akan menerjemahkan konsep tersebutnya seluruhnya, di bawah ini:
“Mengingat 28 C/Resolution 3.18, yang diputuskan untuk memproklamasikan tanggal 23 April setiap tahun sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia;
“Menyatakan kembali pentingnya sejarah buku sebagai perkakas paling ampuh untuk menyebarkan pengetahuan dan alat paling efektif untuk melestarikannya, dan keyakinannya bahwa semua inisiatif yang ditujukan untuk memperkuat dampak buku dapat mengangkat kekayaan budaya bagi semua orang yang mengaksesnya, dan lebih jauhnya, dan dapat mengungkit kesadaran masyarakat umum mengenai kekayaan warisan budaya dunia dan mengembangkan pemahaman, toleransi, dan dialog;
“Menekankan bahwa Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia sejak 1996 menuai hasil yang terus meningkat di antara negara-negara anggota dan masyarakat sipilnya, khususnya dari insiatif para professional yang bergerak di bidang buku dan asosiasi yang ada di negara-negara tersebut;
“Menyambut insentif awal yang disediakan oleh UNESCO;
“Meyakini bahwa yang diinginkan untuk acara sehari tersebut terus berlanjut sepanjang tahun di kota kandidat yang dipilih oleh asosiasi professional berskala internasional berkonsultasi dengan UNESCO, dan untuk kota tersebut ditetapkan sebagai Ibu Kota Buku Sedunia dari satu Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia hingga ke perayaan mendatang;
“Menekankan bahwa kota terpilih dan asosiasi profesi berskala internasional yang terlibat akan mengusahakan secara khusus upaya-upaya sepanjang tahun untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan signifikan di tempat tersebut;
“Juga menekankan pentingnya pelibatan semua bagian dunia;
“Menimbang aktivitas-aktivitas di Madrid menjadi pengalaman positif yang bisa direplikasi di tempat lainnya dengan jumlah mitra yang lebih besar;
“Mengadopsi gagasan tersebut dan mengundang asosiasi profesi berskala internasional untuk bersama-sama bekerja mempraktikkannya;
“Mendesak direktur jenderal agar mendukung secara moral dan intelektual bagi perancangan dan implementasi projek ini.
Dengan 31 C/Resolution 29 tersebut, Madrid yang merupakan ibu kota Spanyol ditetapkan sebagai ibu kota buku sedunia yang pertama pada 2001. Selanjutnya, para mitra di UNESCO bersepakat bahwa setelah Madrid, ibu kota buku selanjutnya yang terpilih adalah Alexandria (Mesir) pada 2002 dan New Delhi (India) pada 2003. Selanjutnya, yang berlaku adalah pencalonan yang melibatkan komite penasihat sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan.
Selengkapnya ibu kota-ibu kota buku sedunia selanjutnya adalah sebagai berikut: Antwerp (Belgia) pada 2004; Montreal (Kanada), 2005; Turin (Italia), 2006; Bogota (Kolombia), 2007; Amsterdam (Belanda), 2008; Beirut (Lebanon), 2009; Ljubljana (Slovenia), 2010; Buenos Aires (Argentina), 2011; Yerevan (Armenia), 2012; Bangkok (Thailand), 2013; Port Harcourt (Nigeria), 2014; Incheon (Korea Selatan), 2015; Wroclaw (Polandia) pada 2016; Conakry (Republic of Guinea), 2017; Athena (Yunani), 2018; Sharjah (Uni Emirat Arab), 2019; Kuala Lumpur (Malaysia), 2020; Tbilisi (Georgia), 2021; dan Guadalajara (Meksiko), 2022.
Dari daftar tersebut, kini sudah ada dua kota di Asia Tenggara yang menjadi ibu kota buku sedunia, yakni Bangkok dan Kuala Lumpur. Nah, bagaimana dengan kota-kota yang ada di Indonesia? Barangkali sejak lama sudah diupayakan mengajukan lamaran kepada UNESCO, tetapi belum bertemu dengan peruntungannya. Semoga beberapa tahun mendatang ada kota di Indonesia yang menjadi ibu kota buku sedunia.***