Oleh. Atep Kurnia
Istilah taman bacaan sekarang dapat dibilang sudah banyak dikenal di mana-mana. Namun, apakah istilah tersebut juga dikenal pada masa kita dijajah Belanda? Untuk menjawabnya, saya melakukan survei pustaka dari koran-koran lama yang terbit antara 1921 hingga 1941.
Koran-koran yang saya akses antara lain Adil, Bintang Borneo, Bintang Timoer, Darmokondo, Matahari Borneo, Panjebar Semangat, Pemandangan, Persamaan, Pertjatoeran, Sinar Deli, Sinar Sumatra, Sin Jit Po, Sin Po, Sipatahoenan, dan Soeara Publiek.
Hasil penelusuran menunjukkan adanya istilah “volksbibliotheek”, “bibliotheek”, “leeszaal”, “openbare leeszaal”, “openbare leesgezelschap”, yang menunjukkan konsep taman bacaan. Pada praktiknya, istilah-istilah tersebut diberi padanannya dengan “roemah batja”, “tempat membatja”, “roemah boekoe”, “tempat pembatjaan”, “taman poestaka”, “balai pembatjaan”, dan “taman batjaan”.
Apakah istilah “taman batjaan” muncul paling kemudian? Agar lebih jelas, saya akan menelusuri agak rinci koran-koran lama itu. Dalam Sin Po edisi 22 Januari 1921 dan 23 April 1921, istilah “leeszaal” diberi arti sebagai “roeangan tempat membatja” dan “roeangan boeat membatja”, sementara dalam edisi 24 Juni 1922 digunakan istilah “roemah batja”.
Istilah “taman poestaka” saya temukan dalam Darmokondo edisi 14 Mei 1924 sebagai padanan bagi “volksbibliotheek”. Istilah “leesgezelschap” tanpa diberi padanannya saya dapati dari Persamaan (31 Desember 1924), dalam kalimat-kalimat berikut: “Club di Tapanuli, soedah bertambah2 dalam tahoen ini Leesgezelschap di P. Sidempoean, Sipirok, 2 di Sibolga, Taroetoeng, Pangoeroeran, P. Siantar dll soedah berhasil. Tanda bangsa kita bergiat memperloeas pemandangannja”.
Istilah “taman batjaan” untuk pertama kalinya saya temukan dalam Sin Po edisi 13 Juni 1924. Pada berita “Bibliotheek di Madioen” (Sin Jit Po, 4 Agustus 1926), istilah “tempat pembatjaan” digunakan untuk menerjemahkan “bibliotheek”. Istilah “Tempat Pembatjaan” ditemukan dalam Sinar Sumatra edisi 6 April 1926.
Dalam Soeara Publiek edisi 21 Juli 1927 saya mendapati istilah yang sama, tetapi pada edisi 28 Oktober 1927 dan 2 November 1927 yang digunakan adalah “taman poestaka” yang diusahakan oleh Muhammadiyah dan agaknya berkaitan dengan percetakan, bukan merujuk ke konsep taman bacaan. Pada edisi 2 November 1927, tertulis begini: “Hanja ia merasa sedi poela berhoeboeng dengen adanja Taman Poestaka jang sedeng ditinggalken oleh sidang pengarangaja, sedeng sasoenggoenja Taman Poestaka baroe sadja hendak madjoe-madjoenja”.
Kesan lain tentang “taman poestaka” bisa dibaca dari Pertjatoeran (1 September 1928) yang memuatkan kalimat-kalimat demikian: “Sedjak dari moedanja Jules Verne senentiasa bekerdja keras dengan radjin dan kemaoean jang tetap. Karangan poedjonggo itoe ada 60 boeah banjaknja dan berpoeloeh jang soedah disalin orang kedalam bahasa asing. Dalam Taman Poestaka Belanda di dapati bebrapa boeah krangannja itoe … Begitoe poela dalam Taman Poestaka Indonesia sekarang soedah ada doea boeah boekoe asal boeah penanja …” “Taman Poestaka” di situ tentu saja merujuk kepada khazanah pustaka, bukan ke tempat diselenggarakannya kegiatan membaca buku.
Sementara dalam Sin Jit Po edisi 6 Januari 1928, “openbare leeszaal” dibedakan dengan tempat menyimpan buku. Ini cuplikan beritanya, “Dikabarken bahoea djoemblah dari ‘Openbare Leeszaal’ dan tempat simpen boekoe dalem taon jang laloe bertambah sampe dubbel. Dalem boelan Januari 1927 djoemblah ledennja ada 450 dan sekarang uda koerang dari 734 leden”.
Selanjutnya, dalam Bintang Borneo (10 Mei 1929) didapati penggunaan “taman pembatja” dan dalam Matahari Borneo (7 September 1929) saya kembali menemukan istilah “taman batjaan” yang acuannya seperti yang kini digunakan. Dalam berita berjudul “Ketapang dan Soekadana” tertulis: “Segala perkoempoelan jang baik seperti taman batjaan dan batja membatja berbagai bagai s. chabar, dengan moedah sadja diadakan, karena tidak ditjerewetkan”.
Istilah leesgezelschap dan bibliotheek dalam Bintang Borneo (6 Januari 1930) agaknya dibedakan fungsinya. Kesan yang sama saya tangkap dari berita “Kapankah akan diboeka? Openbare bibliotheek dan Leeszaal?” (Bintang Borneo, 6 Mei 1938). Tetapi dalam berita “Regentschaap djeung Gemeente” (Sipatahoenan, 24 Juli 1940) terdapat kata “moeka bibliotheek atawa leeszaal”, yang kiranya tidak membedakan fungsi “bibliotheek” dengan “leeszaal”.
Betapapun, selanjutnya, istilah-istilah “volksbibliotheek”, “bibliotheek”, “leeszaal”, “openbare leeszaal”, “openbare leesgezelschap”, terus digunakan berbarengan dengan istilah-istilah “taman batjaan”, “taman poestaka”, “taman pembatjaan”, “balai pembatjaan” antara tahun 1930 hingga 1941. Alhasil, bila ditanya sejak kapan istilah taman bacaan digunakan, maka saya dapat memberi ancar-ancar tahun 1920-an.
Keterangan foto:
Leeszaal atau openbare leeszaal (taman baca umum) mirip dengan konsep taman bacaan masyarakat pada masa sekarang ini. Sumber: Pemandangan, 28 Juli 1939.