Oleh. Heri Maja Kelana
“Sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan”, kalimat tersebut terdapat dalam novel yang sangat fenomenal dari seorang penulis hebat asal Nigeria, yaitu Ben Okri yang berjudul The Famished Road. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 oleh penerbit Jhonathan Cape di London, Inggris.
Novel The Famished Road ini menjadi bahan perbincangan para ahli pada waktu itu, pasalnya novel ini mengangkat postmodern dan pascakolonial yang terjadi pada realitas masyarakat Nigeria. Novel ini memenangkan Booker Prize pada tahun 1991.
Pada kesempatan kali ini, saya tidak banyak bercerita tentang novel yang ditulis oleh seorang Ben Okri, melainkan akan banyak mengemukakan tentang jalan, mulai dari realitas dan filosofi.
Jalan adalah konsep yang mencakup berbagai pemahaman dan pandangan mengenai jalan, baik secara harfiah maupun metaforis. Filosofi ini dapat mencakup aspek fisik, spiritual, dan simbolis dari jalan dalam kehidupan manusia.
Jalan sering kali digunakan sebagai metafora untuk perjalanan hidup seseorang. Setiap individu menempuh jalannya sendiri dengan berbagai rintangan, persimpangan, dan tujuan.
Dalam banyak tradisi spiritual dan religius, jalan sering kali diartikan sebagai perjalanan menuju pencerahan atau keselamatan.
Filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus membahas konsep jalan dalam konteks pilihan dan kebebasan individu. Jalan di sini menggambarkan pilihan yang harus dibuat oleh setiap individu dalam kehidupannya yang absurd dan penuh dengan kebebasan.
Kant membahas konsep jalan dalam konteks moralitas. Jalan yang benar adalah mengikuti imperatif kategoris, prinsip moral yang bersifat universal dan harus diikuti tanpa pengecualian. Jalan moral ini adalah panduan untuk bertindak berdasarkan prinsip yang dapat diterima secara universal.
Heidegger berbicara tentang konsep “Weg” (jalan) dalam karyanya Being and Time. Baginya, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein). Dia menekankan pentingnya “berjalan” atau “menjalani” kehidupan dengan kesadaran penuh tentang keberadaan dan waktu.
Nietzsche menggunakan metafora jalan dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra. Dia berbicara tentang “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu.
Masing-masing filsuf memiliki cara unik dalam memahami dan menjelaskan konsep jalan, tetapi secara umum, “jalan” sering kali merujuk pada perjalanan hidup, proses mencapai tujuan, atau cara menjalani hidup yang benar dan bermakna
Banyak karya sastra dan budaya yang menggunakan konsep jalan sebagai simbol perjalanan, perubahan, dan transformasi. Jalan juga bisa dipahami dari sudut pandang urbanisme dan perencanaan kota, di mana jalan menjadi ruang sosial yang menghubungkan orang-orang dan berfungsi sebagai sarana mobilitas dan interaksi sosial.
Gas Terus Semangatmu
JNE, ya JNE ekspedisi pengiriman barang kekinian memiliki moto Menyambung Kebahagiaan dari Generasi ke Generasi begitu sangat terasa di masyarakat Indonesia. Dari mulai anak kecil hingga lansia, pasti tahu JNE.
Saya memiliki pengalaman tersendiri dengan JNE. Setiap bulan saya mengirimkan buku-buku untuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di pelosok-pelosok Indonesia. Tidak sampai empat hari, buku-buku yang dikirim sudah sampai di TBM yang dituju. Saya mengetahuinya dari laporan TBM yang mengirimkan pesan lewat whatsapp ke ponsel.
Suatu ketika, saya mengirimkan paket ke wilayah Indonesia timur, lebih tepatnya ke Provinsi Maluku. Seperti biasa ada pesan pemberitahuan ke ponsel bahwa buku telah sampai. Namun kali ini ada yang berbeda, setelah pemberitahuan lewat whatsapp penerima buku telepon melalui aplikasi whatsapp.
Tidak berpikir panjang, diangkat telepon tersebut dan orang yang telepon tersebut menangis terharu. Bahwa buku-buku yang dikirim telah sampai di TBM dan mengatakan selama membuka TBM baru kali ini ada yang mengirimkan buku dari luar Provinsi Maluku dengan paket JNE.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa TBMnya sangat jauh dari Ambon, kurir JNE sempat kebingungan untuk mencari alamat yang dituju. Kurir pun menanyakan ke kecamatan dan desa, akhirnya menemukan alamat TBM yang dituju.
Mendengar pengakuat tersebut saya jadi terharu. Pertama terharu karena dapat membantu pengadaan buku di TBM untuk kemajuan literasi di Indonesia. Kedua terharu oleh perjuangan kurir JNE yang bersusah payah menemukan alamat tujuan.
Saya membayangkan dalam pikiran kurir tersebut, bahwa yang dikirimnya adalah buku, maka dia harus menemukan alamat, supaya buku ini sampai dan dapat dimanfaatkan oleh penerima. Saya sangat menghargai kerja keras yang dilakukan oleh kurir JNE, mengantarkan paket-paket buku yang saya kirim ke pelosok-pelosok Indonesia.
Dalam komunikasi pun JNE sangat baik, terutama kurir yang mengantarkan paket. Mereka selalu laporan apabila ada TBM yang sudah pindah alamat dan tidak ditemukan. Kemudian saya komunikasi ulang dengan TBM yang dikirim buku untuk meminta alamat yang baru atau no kontak yang dapat dihubungi.
JNE telah menemukan makna dari “jalan”. Bagi JNE, jalan adalah penyambung kebahagiaan dari generasi ke generasi yang kemudian dibuat moto oleh JNE “Menyambung Kebahagian dari Generasi ke Generasi”. Dan untuk kurir JNE, jalan adalah perjalanan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan (Sein), seperti yang dikatakan pada buku Being and Time karya Martin Heidegger.
Pengalaman-pengalaman kurir JNE terkait jalan saya kira sangat banyak dan beragam. Pengalaman mereka satu sama lain akan sangat berbeda. Hal ini menjadi kekayaan terhadap pengalaman empirik, psikologi, dan sosial dari kurir JNE tersebut. Apabila pengalaman-pengalaman ini dibukukan, ini menjadi portofolio yang sangat bagus untuk JNE.
Kembali pada novel The Famished Road, saya membayangkan bahwa sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh JNE terkait pengiriman paket menembus batas-batas realis. Seperti yang dilakukan oleh Azaro seorang tokoh dalam novel The Famished Road.
Menembus batas realis yang saya maksudkan adalah bagaimana paket tersebut berpindah dari satu moda ke moda yang lain, karena Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, tidak menutup kemungkinan bahwa kurir JNE menaiki sepeda motor atau mobil menyebrangi lautan atau sungai setiap hari untuk mengirimkan paket. Ini menjadi suatu trans di luar nalar. Dan menjadi suatu keberhasilan JNE dalam membangun jaringan yang begitu luar biasa. Terutama adalah kepercayaan terhadap pelanggan setia.
JNE tidak lantas berpuas diri dengan capaian yang telah dicapai selama ini dalam mengantarkan paket ke pelosok-pelosok Indonesia. Hingga banyak penghargaan yang diraih olehnya. JNE terus melakukan inovasi dan kreativitas. Dan tentu saja yang terpenting adalah tetap bahagia di jalan.
Kurir menjadi ujung tombak penyalur kebahagiaan dari pengirim ke penerima di seluruh Indonesia. Kurir juga tidak pernah lelah, berada di jalanan yang kadang hujan, panas, berbatu, lumpur, menyebrangi sungai dan lautan. Namun dengan spirit berbagi kebahagiaan, rintangan di jalan dapat teratasi.
Saya memiliki pengalaman empirik dengan kurir dan penerima paket buku yang dikirim oleh JNE ke Indonesia timur. Pengalaman ini tidak akan terlupakan. Bravo JNE. Seperti apa yang dikatakan oleh Friedrich Nietzsche “jalan ke atas” sebagai perjalanan menuju pengembangan diri dan transformasi menjadi “Übermensch” (manusia unggul). Jalan ini penuh dengan tantangan dan penderitaan, tetapi penting untuk mencapai potensi penuh sebagai individu. Dan sebuah mimpi bisa menjadi titik tertinggi kehidupan.
Bravo JNE!
Salam.