Hampir setiap hari saya selalu disajikan fenomena hidangan khas Rumah Kreatif Wadas Kelir. Fenoma relawan yang duduk melingkar bersama anak-anak di sudut gerobak baca dan teriak kencang anak-anak yang asyik bermain misalnya. Bahkan tidak jarang pula saya melihat para relawan sampai berjingkrak-jingkrak gembira bersama anak hanya sekadar untuk mengabadikan ilmu pengetahuan melalui kegiatan membacakan buku pada anak.
Berawal dari fenomena itu, saya mendadak teringat bahwa mata saya pernah singgah di sebuah buku Human Development Edisi Kesembilan karya Diane E. Papalia yang menyebutkan setidaknya ada tiga gaya membacakan buku pada anak.
Pertama, describer style atau gaya membacakan cerita dengan fokus pada mendeskripsikan apa yang terjadi di dalam gambar dan mengajak anak untuk melakukan hal yang sama. Misalnya, “Apa yang akan dilakukan ayam saat pagi hari? Sekarang coba tirukan suara ayam berokok!” Dengan gaya ini menghasilkan manfaat memperkaya kosa kata, memahami kata yang diucapkan, dan keterampilan menggambar yang amat besar.
Kedua, comprehender style atau gaya membacakan cerita dengan mendorong anak untuk melihat lebih dalam pada mana cerita dan untuk membuat kesimpulan serta prediksi. Misalnya, “Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh ayam setelah itu?”. Dari sini imajinasi anak akan meningkat dan memahami makna ataupun nilai dari sebuah cerita
Ketiga, permformance-oriented style atau gaya membacakan cerita secara langsung, memperkenalkan inti dari cerita tersebut sebelum memulai dan memberikan pertanyaan setelah pembacaan selesai. Gaya ini akan membuat perbendaharaan kata anak dan keterampilan bahasa meningkat sehingga anak bisa mengucapkan kata demi kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat yang baik dan benar.
Dari ketiga gaya membacakan buku tersebut, ternyata tanpa disadari sudah dilakukan oleh kami para relawan setiap harinya. Bahkan jika dihitung ada lebih dari tiga gaya membacakan buku pada anak yang asyik dan menyenangkan yang dilakukan oleh relawan. Salah satunya adalah membacakan buku pada anak dengan basis permainan kreatif, mebacakan buku dengan saling bergantian, bahkan hingga iming-iming hadiah menarik yang akan dibagikan secara cuma-cuma di setiap penghujung membaca cerita. Hasilnya, setiap kami para relawan bertemu dengan anak-anak, mereka selalu menarik baju relawan dan memintanya untuk dibacakan buku. Bahkan terkadang relawan sampai keteteran saat anak-anak mengajukan beribu pertanyaan yang membuat relawan harus berpikir lebih keras. Dengan gaya membacakan buku ala relawan wadas kelir seperti ini, anak-anak menjadi cinta kepada buku, merawat buku, dan sayang kepada buku. .
Sehingga jangan salahkan relawan, jika setiap anak pulang ke rumah selalu meminta dibacakan buku. Janganlah orang tua di rumah marah, jika setiap hendak tidurnya anak meminta dibacakan cerita. Dan, jangan salahkan kami, jika anak-anak kalian menjadi gila buku. Sebab, barangkali jejak cerita di wadas kelir inilah yang paling berkesan bagi hidup anak, yang akan menjadi memori indah dan motivasi bagi anak. Bahkan, mungkin akan menjadi artefak yang selalu membekas hingga akhir hayat.
Namun, hal terpenting yang biasa kami lalukan dan orang tua juga harus lakukan adalah memahami hal-hal yang wajar dan tidak wajar yang terjadi saat proses tumbuh kembang anak. Sebab setiap manusia pasti akan mengalami tahap pertumbuhan dan perkembangan, termasuk anak. Tahap inilah yang nantinya akan menjadi prasyarat untuk menentukan ketercapaian anak menjadi seorang yang berkompeten di sepanjang hidupnya.[]