Ini bukan jenis setan atau demit baru. Juga bukan saingan dari program komputer yang berjalan di latar belakang yang melakukan beberapa tugas tanpa intervensi dari pengguna, yang pada umumnya dimulai pada saat proses booting, sebagaimana perangkat lunak lainnya. Pokoknya, bukan teman atau lawan dari telnet daemon, yang terus berjalan di latar belakang, dan menunggu permintaan koneksi dari pengguna klien telnet.

Lalu, apa dong juriqra itu?

Sabar, aku ingin bercerita terlebih dahulu tentang pengalaman luar biasa (ingat: luar biasa, bukan liar biasa apalagi biasa liar) yang kualami sebagai seorang lulusan Kriminologi tapi “tercebur” dan “diceburkan” sebagai salah satu juri pemilihan pustakawan berprestasi di lingkungan Kementerian Kesehatan, termasuk di dalamnya pustakawan-pustakawan di politeknik kesehatan/poltekkes, balai pelatihan kesehatan, dan juga litbang kesehatan di berbagai daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

 

Begitu rapat penjurian dimulai 6 Juni 2017, nyaliku langsung mengkeret seciut-ciutnya. Gimana nggak ciut, anggota dewan juri lainnya semua berstatus “Pustakawan Utama” yang nama-namanya sudah lama kudengar, tapi sosoknya hanya sesekali melintas di hadapanku di sejumlah event kepustakaan, atau acara di Universitas Indonesia, tempatku dulu belajar tentang penjahat, kejahatan dan sebab-musabab yang melingkupinya. Bukan belajar tentang ilmu pustaka.

Siapa tak kenal Pak Blasius Sudarsono di dunia kepustakaan Indonesia? Juga, Pak Abdul Rahman Saleh yang logat Maduranya sekental bapak mertuaku yang sama-sama asal Bangkalan, Pak Supriyanto atau Ibu Fatmi? (Menyebut nama Pak Blasius Sudarsono, aku jadi teringat nama besar lainnya yang lebih “senior”, almarhumah Mastini Hardjoprakoso, yang oleh Pak Blasius Sudarsono disebut sebagai “The First Lady of Indonesian Librarians”).

Tapi, karena sudah telanjur tercebur — sebagaimana aku yang dulu sangat takut jurik, tapi akhirnya jadi akrab dengan mayat, kamar mayat dengan cerita-cerita juriknya akibat kuliah Kedokteran Forensik, visum et repertum, di Kriminologi — aku pun “menguat-nguatkan diri” di tengah mpu-mpu perpustakaan Indonesia ini.

Alhamdulillah, sebagaimana aku akhirnya sangat cinta ilmu forensik, aku kembali jatuh cinta yang kedua kalinya, di keilmuwan yang lain. Itu karena sosok-sosok juri yang namanya kusebut itu “sangat welcome”, murah hati membagi ilmunya, tanpa sedikit pun meremehkanku. Menjadi tempat bertanya yang mengasyikkan, teman menggodok kriteria penilaian, daftar pertanyaan yang bersifat kognitif, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan proses penjurian.

Dan, selama proses penjurian, tak cuma mereka dan jajaran juri — pustakawan kemenkes — yang telah menjadi guruku. Tetapi semua peserta yang mengirimkan karya tulisnya, yang membuatku makin terdorong untuk belajar banyak hal.  Termasuk soal sistem klasifikasi yang digunakan di perpustakaan, agar pemustaka dapat dengan mudah memperoleh bahan yang diperlukannya. Dari mulai UDC, LCC, CC, hingga yang paling banyak digunakan, Deway Decimal Classification.

Jadilah aku “Juriqra”, seperti yang aku sebutkan di awal tadi. Juri yang dituntut untuk terus iqra, iqra, iqra. Membaca, membaca, membaca! Belasan buku, puluhan artikel yang berkaitan dengan kepustakaan dan keliterasian, akhirnya kubaca dan kukulik-kukulik sampai rambutku rontok semuanya, dan susah tumbuh lagi, heheheheehehe….

Dan, dengan menjadi juri yang pembelajar, terus kutemukan kelebihan buku yang kertasnya bisa kubaui, halamannya bisa kubolak-balik, kulipat-lipat, kucoret-coret, dibanding informasi superriuh dan tergopoh-tergopoh yang ada di “medium digital”, yang “ujung lidah” warganya adalah jempolnya. Kedalaman informasi, keutuhan informasi dan pemikiran kritis, itulah kelebihan buku yang bisa kita usap-usap sampul dan halamannya, dan bisa kita tiup dan hembus debu yang melengket di tubuhnya, di samping kelebihan lain: menawarkan “ruang dialog” antara pengarang dengan pembacanya.

Menjadi juriqra, juri yang pembelajar, lagi-lagi mengingatkanku, bahwa betapa mulianya sosok-sosok pegiat literasi yang mau bersusah payah menyediakan buku, menjemput pembaca, menjodohkan buku dengan pembacanya, memaparkan sinopsis dan isi buku, menghidupkan aksara, kata dan kalimat yang tertuang di dalam buku-buku itu, dengan sepenuh keikhlasan dan kebahagiaan.

Dan yang pasti, mengajak orang berpikir dan tidak hampa budi. Dengan mengajak orang berpikir maka orang tersebut akan mendapatkan empat unsur keutamaan berpikir.  Yakni, LOGIS, MEMILIKI KEHENDAK BAIK (GOODWILL), melakukan keutamaan berpikir dalam rangka kebaikan bersama (COMMON GOOD) dan INTEGRITAS.

Kaum berpikir, insya Allah, tak bakal menjadi kaum sumbu pendek, mudah meledak, menjadi penebar ujaran kebecian dan bahasa tuduh yang teramat hampa pekerti.

Sahabat-sahabatku, relawan literasi, teruslah…. teruslah #tebarvirusliterasi . Jangan bosan mengajak orang-orang “mabuk BIR” – Baca, Iqra, Read.

***

Sekadar info, mulai hari ini, 24 Oktober hingga 26 Oktober, semua juri ikut “dikarantina” di satu hotel dengan para “finalis” pustakawan berprestasi, sebagai bagian dari proses final penjurian, yang akan berisi tahapan paparan makalah/karya tulis dan tanya jawab tatap muka antara para pustakawan dan dewan juri.

Itu artinya, aku kembali mendapatkan kesempatan besar untuk iqra, iqra, iqra dan belajar dari semua anggota juri, dan para finalis pustakawan berprestasi di lingkungan Kementerian Kesehatan.

Saat tulisan selesai kutulis siang ini, aku pun langsung berkesempatan berbagi cerita dengan Pak Abdul Rahman Saleh dan Pak Supriyanto, sambil menunggu kunci untuk masuk kamar masing-masing. Lagi-lagi, kami berbagi cerita tentang kemuliaan budi Ibu Mastini, The First Lady of Indonesian Librarians” .

Orang baik, abadi namanya. Tersimpan dalam di pustaka hati siapa pun yang mengenalnya.

Tabik.[]