Oleh. Atep Kurnia*

 

Orang Sunda mengabadikan hal-hal yang tersisa dari lebaran dengan istilah “kakaren”. Menurut S. Coolsma (Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, 1884: 145), “kakaren” berasal dari bahasa Jawa “kari”, maksudnya sisa dari “kariaan” atau kenduri (“Kakaren, Jav. afleid. v. kari; overschot v. iets; wat overblijft of overgebleven is b. v. v. een karijaan”). Kata R. Satjadibrata (Kamus Basa Sunda, 1954: 163) istilah tersebut memang dari “kakarian” dengan asal “kari” yang berarti sisa. Dengan demikian, kata Satjadibrata “kakaren” atau “kakarian” berarti “sesa kadaharan urut sidekah at. rame-rame” (sisa makanan untuk kenduri atau pesta-pesta).

Bahkan R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006) menyebutkan istilah-istilah Sunda lainnya yang berkaitan dengan sisa makanan untuk kenduri atau pesta-pesta. Di antaranya “balendrang”, “bebecek”, dan “wawarian”. Namun, baik Satjadibrata maupun Danadibrata belum tidak eksplisit mengaitkan antara “kakaren” dengan lebaran.

Haji Hasan Mustapa Bab Adat2 Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta (1913: 49) setali tiga uang. Ujarnya, “Semet ieu noe kaséboet boebaran karia. Tapi sok aja oge noe djadi babasan, boebar karia tiiseun keueung, sieun, asa entas kapapaten, noe matak sok aja bari toenggoe boedak bari nanggap pantoen, atawa nembang, terebang, wajang. Tjeuk babasan: ‘Bari meakkeun kakaren’ (kadaharan pasesaan karia)”.

Artinya, “sampai di sini kenduri sudah bubaran. Terkadang menjadi kata-kata orang setelah bubaran kenduri, menjadi sepi, seperti baru ditinggal mati. Oleh karena itu, supaya tidak kesepian, menyanyikan pantun, tembang, rebana, atau wayang sambil menjaga anak yang baru dikhitan. Menjadi kata-kata orang, menghabiskan makanan sisa kenduri” (terjemahan M. Maryati Sastrawijaya, Adat Istiadat Sunda, 2010: 66).

Tapi dari rekaman Sipatahoenan tahun 1930-an, kata “kakaren” sudah mantap terikat dengan kata lebaran. Dalam edisi 16 Januari 1935 (10 Sawal 1353) ada berita berjudul “Kakaren Lebaran”, tetapi isinya tidak berkaitan dengan makanan sisa lebaran, melainkan peristiwa yang menimpa H.P. di Desa Suci, Distrik Garut, yang danau miliknya dikeringkan orang lain dan ikan-ikan di dalamnya, terutama indukan, dicuri. Artinya, kata “kakaren lebaran” di situ tetap merujuk kepada hal atau peristiwa yang masih ada dalam lingkup lebaran. Karena peristiwanya terjadi pada Minggu, 14 Januari 1935 (8 Sawal 1353).

Demikian pula tulisan “Kakaren Lebaran” karya Mh. K dalam edisi 14 Desember 1937 (10 Sawal 1356) tidak berkaitan dengan makanan. Karena yang dibahasnya perbedaan hari mulai berpuasa dan berlebaran serta larangan menabuh beduk oleh asisten residen Tasikmalaya. Dengan demikian, “kakaren lebaran” di sana maksudnya hal-hal atau peristiwa yang bertalian dengan lebaran.

Ini mirip seperti yang diungkap Entjep dalam rubrik “Pangganggoeran” edisi 28 November 1938 (5 Sawal 1357) yang juga bertajuk “Kakaren Lebaran”. Dalam tulisannya, ia melaporkan tentang salat Idulfitri di Masjid Agung Bandung yang sangat memuaskan, salah satunya khutbah bupati Bandung yang penuh makna. Namun, Entjep mengkritisi orang-orang yang menyulut petasan saat salat dan khutbah berlangsung, sehingga nampak seperti perayaan Capgomeh ke klenteng.

Katanya lagi suara bupati tidak terdengar oleh sebagian jamaah, terutama yang duduk di tengah masjid, yakni antara mikrofon dan tustel. Entjep tidak pula sepakat dengan pembagian tempat bagi para jamaah di masjid, karena pada hakikatnya yang diajarkan oleh Islam adalah demokrasi, tidak pandang atas harkat, pangkat, kaya, miskin, bangswan, atau rakyat kebanyakan. Semuanya harus sama bila memasuki masjid. Orang yang duluan datang maka tempatnya di depan dan orang yang datang belakangan harus berada di belakang.

Pada laporan bertajuk “Kakaren Lebaran” dalam edisi 30 November 1938 (7 Sawal 1357), penulis menggambarkan suasana Idulfitri di kota dan di desa yang termasuk Kota dan Kabupaten Bandung. Di wilayah keduanya konon sedang mengalami kesusahan. Di kota, banyak orang yang tidak punya uang. Orang yang biasanya pelesir bisa dibilang tidak ada. Yang memakai baju baru hanya anak-anak dan pemuda-pemudi. Hidangan lebarannya pun bukan nasi tumpeng, daging, telur sebelah atau kentang, tapi nasi bear bukan nasi uduk dan lauknya telur dadar dipotong kecil-kecil.

Hal yang sama terjadi di perdesaan. Di sana terjadi paceklik, sehingga menyebabkan kesukaran. Yang paling parah menimpa penduduk Kewedanaan Cicalengka dan Ujungberung. Kenduri atau hajat lebarannya di sana hanya nasi dengan tumis kentang, tumis cabai hijau, mie, goreng oncom, dan ikan asin peda. Itu pun tidak semua mampu. Sementara di Kewedanaan Soreang, Ciwidey, Cililin, Sindangkerta, dan Gunung Halu agak lebih baik bila dibandingkan dengan di Cicalengka dan Ujungberung.

Yang berbeda tersaji dalam edisi 17 November 1939 (5 Sawal 1358), karena meskipun sama berjudul “Kakaren Lebaran”, tetapi isinya berkaitan dengan penyelenggaraan sepak bola oleh Persitas di Lapang Dadaha, Tasikmalaya, antara 18-19 November 1939. Sementara pada edisi 24 November 1939 (12 Sawal 1358), yang disebut “Kakaren Lebaran” dalam berita adalah keterkejutan masyarakat Desa Gombong, Tasikmalaya, karena diperintahkan agar membuat lubang persembunyian untuk mengatasi bahaya bom yang nyasar.

Salah satu yang menarik adalah laporan Doelatjis bertajuk “Kakaren Lebaran”, dalam edisi 30 November 1939 (18 Sawal 1358). Isinya mengenai kunjungan ke acara silaturahmi lebaran di Cianjur yang dimeriahkan dengan pagelaran wayang golek. Uniknya, semua nama dalam tulisan merupakan nama samaran, termasuk dalangnya yang dipanggil Oedjang Enggoen. Tambah menarik lagi, suasana yang dibangun semuanya serba lucu, dengan bahasa Sunda yang mengalir plastis.

Konon, Doelatjis adalah salah satu nama samaran sastrawan Sunda (cum kontributor Sipatahoenan sejak tahun 1920-an), M.A. Salmoen. Dugaan ini memang kuat, karena menjelang akhir laporannya disebut-sebut nama Mang Atje, yang kemungkinan kependekan dari Mas Atje Salmoen, nama lengkapnya. Berikut kutipannya, “Djaba ti eta aja Mang Atje ti Tjideng, poerah nalaktak ti boeboedak djadi bangor pakokolot, sagala koedoe bae bari djeung heureuj, optimist bij uitnemendheid, da saha atoeh djalmana noe atjan ngarasa diheureujan atawa diheureujkeun koe andjeunna”.

Alhasil, sejak lama kata “kakaren lebaran” tidak hanya merujuk kepada makanan sisa-sisa lebaran, melainkan maknanya sudah meluas kepada hal-hal lain, meskipun hal-hal lain tersebut tetap berpautan dengan suasana atau saat lebaran.

 

 

Keterangan foto:

 

Kakaren Lebaran” yang ditulis oleh Doelatjis. Sumber: Sipatahoenan, 30 November 1939.

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang