Oleh. Atep Kurnia*
Sumber paling relevan untuk membahas kehadiran kertas di Nusantara adalah buku karya Henk Voorn, yang berjudul Het Papier in Voormalig Nederlands Oost-lndië (1978). Sayang sekali, saya tidak dapat mengaksesnya. Namun, saya dapat memperoleh gantinya sekaligus melingkupi karya Henk itu melalui tulisan karya Russell Jones (“European and Asian Papers in Malay Manuscripts. A Provisional Assessment”, 1993: 474-502). Oleh karena itu, pembahasan mengenai kehadiran dan sejarah perkembangan kertas di Nusantara dalam hal ini akan didasarkan pada keterangan Jones.
Jones menerangkan ihwal asal mula kertas secara umum di Kepulauan Nusantara. Di antaranya Jones menyebutkan Tiongkok, Eropa dan India. Rekaman paling tua mengenai impor kertas dari Tiongkok adalah I-Tsing, biksu Budhis yang berada di Sumatra dari tahun 685 hingga 689, meskipun hanya untuk penggunaan pribadi. Pencatat Tionghoa sendiri menyatakan sekitar tahun 1200 bahwa di luar Tiongkok, kertas dibuat di Korea dan Jawa.
Menurut Tomé Pires (1515), kertas diperdagangkan di Malaka dari Kepulauan Ryukyu, Jepang, yang kemungkinan besar dari Tiongkok. Sementara kelana Belanda pada 1596 melaporkan penggunaan kertas Tionghoa di Bali, di samping penggunaan lontar. Pada 1658, VOC melaporkan datangnya dua kapal kargo dari Amoy ke Hindia Belanda dan di antaranya berisi kertas. Kapal kecil Portugis yang berlayar pada 1686 dari Makau ke Batavia membawa antara lain kertas Tionghoa. Pada 1694, VOC sendiri berbisnis kertas Tionghoa, tetapi kebanyakannya berupa kertas korban dan kertas berwarna bagi masyarakat Tionghoa.
Pada 1809, Daendels memerintahkan para pegawai rendah untuk menggunakan kertas Tionghoa untuk amplop dan bungkus, demikian juga dengan kertas Jawa. Di Jawa, kertas Tionghoa (kertas dhedhak) dibuat dari sekam padi yang dibuburkan. Kertas-kertas semacam itu digunakan selama masa pendudukan Inggris di Pulau Jawa (1811-1816).
Sementara penggunaan kertas Eropa, menurut Jones, untuk menulis dalam bahasa Melayu yang paling tua ada dalam koleksi Arquivo Nacional da Torre do Tombo, di Lisabon, Portugal. Isinya berupa surat-surat bertitimangsa tahun 1521 dan 1522. Kertas tersebut sudah tersebar di Asia, yang kemungkinan sebagai barang niaga. Apalagi dalam lembaga yang sama ada acuan mengenai perdagangannya. Pada 23 Januari 1515, dari Goa, India, Alfonse D’Albuquerque meminta Francisco Curvinel untuk menyediakan cadangan 30 maos kertas bagi Gaspar Corrlia untuk dipasarkan di Persia. Kemungkinan di Goa ada gudang kertas milik bangsa Portugis.
Bukti lain yang disodorkan Jones adalah rombongan Pigafetta yang tiba di Brunei pada awal 1521. Di antara yang dihadiahkan kepada raja setempat adalah paket kertas. Pigafetta sendiri mendapati adanya penggunaan kertas di Nusantara saat itu, salah satunya ia menemukan kata cartas di antara kata-kata Melayu yang dikumpulkannya. Tinggalan literasi seperti Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu juga mengindikasikan kertas sudah lebih dulu dikenal di Kepulauan Nusantara. Pada tahun sekitar 1600, kertas menjadi komoditas yang diperdagangkan di Aceh.
Adapun kertas India paling awal yang dilihat Jones ada pada risalah mengenai Maluku sekitar tahun 1544 yang ditulis seorang Portugis. Pada pertengan abad ke-17, Aceh secara teratur mengimpor kertas Islam, yang menurut Jones kemungkinan besar dari India. Kertas dari India itu dikenal sebagai kertas Surat (di pantai barat India), berupa kertas bersepuh. Ketika VOC sudah menaklukkan Kesultanan Banten pada 1682, gubernur dan dewan VOC berkorespondensi dengan penguasa lama dan penguasa baru Banten menggunakan kertas Surat, sebagai bentuk penghormatan. Demikian pula, pada 1721, VOC mengirimkan kertas Surat kepada pangeran Banten.
Selain kertas Surat, dari India ada kertas Serampore, yaitu kertas kuning, kekuning-kuingan, atau tidak putuh. Di Batavia, pada 1681, Gubernur Jenderal Speelman menerima sepucuk surat dari seorang tuan Muslim yang ditulis di atas kertas kuning yang halus dan dihiasi dengan bebungaan merah. Kertas itu mengingatkan Jones kepada penggunaan kitab kuning di Indonesia. Ia bertanya-tanya apakah kertas-kertasnya juga berasal dari India?
Lepas dari itu semua, bagi VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda, peredaran kertas adalah urusan ekonomi. Sejak awal VOC memang bergantung pada pasokan kertas dari Eropa. Jones memberikan banyak buktinya. Pada 1622, pejabat VOC mengeluhkan kebutuhan kertas, buku, pena, dan tinta. Tahun berikutnya, Batavia meminta dikirimi 20 rim kertas setiap tahunnya. Pada 1632, VOC mengabarkan kebutuhan akan 100 rim kertas untuk dijual di Banten dan Jambi. Selanjutnya, pada 1667, VOC mendirikan rumah percetakan di Batavia yang bahan-bahannya diminta dari Belanda.
Namun, pada 1696 dikatakan VOC menderita kekurangan kertas untuk juru tulis mereka. Bahkan pada 1708, VOC hendak mencetak Injil. Untuk keperluan tersebut mereka membutuhkan kertas cetak paling putih dan paling halus serta penyusun yang mampu menangani aksara Arab dan Melayu. Percetakan VOC saat itu dipimpin bekas pendeta bernama Andreas Lambertus Loderus yang pernah mencetak kamus bahasa Melayu di Batavia pada 1707 dan 1708.
Soal kualitas pula yang menyebabkan impor kertas ke Hindia Belanda pada 1898 bukan terutama berasal dari Belanda. Alasannya dapat dilihat lagi dari uraian Bram Bouwens dan Dick Van Lente. Oleh karena itu, sejak awal memang ada upaya untuk mendirikan pabrik kertas di Batavia. Bahkan itu sudah dirintis sejak tahun 1660-an. Dalam laporan VOC tahun 1663 dikatakan lebih mudah membuat kertas biru ketimbang kertas putih.
Percobaan-percobaan lain untuk mendirikan pabrik kertas di Hindia Belanda pernah dilakukan pada tahun 1882, 1886, 1894, 1905, 1908, 1912, 1914, 1920, 1935 dan 1938. Dengan bersandar pada keterangan Voorn, Jones mengatakan bahwa tidak ada pabrik kertas yang berfungsi di Indonesia hingga dibukanya pabrik kertas Padalarang pada tahun 1923. Dengan pernyataan tersebut, saya pikir, eksistensi pabrik kertas Padalarang memang memiliki nilai sejarah sangat penting mengingat sebagai tonggak pertama pendirian pabrik kertas di Indonesia.***
Keterangan foto:
Naskah BL MSS Jav 28 (Selarasa) yang ditulis pada 1804 koleksi British Library sebagai contoh kertas yang digunakan di Nusantara pada awal abad ke-19. Sumber: bl.uk.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang