Akhirnya, setelah 6 enam bulan, materi mengenai keterampilan dasar kebahasaan telah kami selesaikan. Dalam diskusi yang kami lakukan mengenai evaluasi pembelajaran tersebut, para siswa tertantang untuk lebih tegas dalam mengambil peranannya. Mereka berinisiatif untuk mengkampanyekan budaya literasi dilingkungan sekitar mereka, dalam hal ini keluarga dan sekolah.

Inisiatif yang diusulkan para siswa adalah satu langkah yang tegas, berani, sekaligus merupakan tanggung jawab yang besar. Untuk itu, kami selanjutnya memprogramkan pembelajaran studi kasus. Supaya keterampilan bahasa mereka lebih tereksplorasi lagi, kami tampilkan materi pembelajaran tematik.

Dalam pembelajaran tersebut kami menayangkan film yang bertema transformasi. Kemudian, kami akan melatih ketajaman analisa kami melalui metoda brainstroming dan diskusi. Sebagai kesimpulan dari kegiatan tersebut, kami semua akan menulis esai mengenai pendapat kami mengenai tema itu.

Minggu ini, sebagai pemicu pembelajaran, kami menayangkan film berjudul Freedom Writers. Film yang diangkat dari catatan harian para siswa ruang 203 di Sekolah Menengah Woodrow Wilson. Film tersebut dimulai dengan adegan yang menggambarkan kerusuhan rasial dan kekerasan geng yang terjadi di Amerika Serikat.

Pertanyaan pertama, kenapa kerusuhan dan kekerasan bisa terjadi? Jawaban mudahnya karena adanya perbedaan. Apakah perbedaan akan selalu menimbulkan pertikaian? Tentu saja tidak, kita bisa melihat banyak contoh perbedaan yang menyatukan. Lalu, kenapa perbedaan selalu diidentikan sebagai penyebab timbulnya pertikaian? Tentu saja jika kita lihat lebih jauh, permasalahannya bukan terletak pada perbedaan itu sendiri. Pada dasarnya, setiap pertikaian dan perselisihan dikarenakan adanya komunikasi yang tersumbat. Oleh karena kebekuan komunikasi tersebut, akhirnya masing-masing pihak dalam menyampaikan pesannya kepada pihak lain dengan menonjolkan identitas mereka. Maka, yang nampak kepermukaan adalah perbedaan itu sendiri.

Sebenarnya, manusia sebagai mahluk sosial sangat memerlukan ruang untuk berekspresi dan mendapatkan apresiasi agar dapat menunjukan eksistensinya. Meskipun, menurut Rhenald Kasali, telah terjadi pergeseran dari I think, therefore I am-nya Descrates menjadi I selfie, therefore I am-nya Sherry Turkle. Dikarenakan menurut Sherry Turkle, selfie merupakan cara seseorang merekam momen untuk diperlihatkan kepada orang lain. Selfie menjadi sarana seseorang dalam berekspresi dan mendapatkan apresiasi agar dapat menunjukan eksistensinya.

Dalam hal ini, elemen tersulit dalam keterampilan berbahasa adalah menyimak. Banyak yang belum menyadari jika menyimak, dalam konteks ini adalah mengapresiasi, karya orang lain merupakan wujud kongkrit seseorang dalam berekspresi. Dengan menyimak, kita akan mendapatkan gambaran yang jelas dan utuh mengenai orang tersebut.

Komunikasi yang tersumbat banyak dikarenakan adanya salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak yang merasa kurang mendapatkan ruang untuk berekspresi dan diapresiasi. Kemungkinan lainnya, salah satu pihak atau keduanya tidak dapat menyimak dengan jelas dan utuh ekspresi dari pihak yang lainnya.

Sumbatan yang terjadi dalam komunikasi bisa disebabkan karena seseorang menggunakan saluran yang salah sehingga disalah artikan oleh pihak lain atau tidak adanya akses untuk dapat menggunakan saluran yang tepat. Setidaknya hal tersebut yang tertangkap dalam film ini. Digambarkan sekolah yang seharusnya menjadi institusi yang mentransformasikan seseorang, malah tampil sebagai sistem yang mekanis, kaku, defensif dan tidak peduli. Sekolah tersebut hanya peduli pada kepeda eksistensinya yang sempit, dia tidak peduli pada hal lainnya. Jelas disini kita mendapat gambaran mengenai sekolah yang telah kehilangan tujuan mulianya.

Film ini berhasil memantik kesadaran para siswa di kelas literasi Matahari Pagi. Mereka tergugah terhadap isu-isu perubahan, bahwa isu-isu yang mendasar sebenarnya berada disekeliling kita. Hal tersebut menjadi besar oleh karena telah ide perubahan telah bekerja dan memperlihatkan hasilnya, kemudian mendapatkan perhatian yang luas. Untuk mendapatkannya, kita hanya perlu lebih peduli.

Sepertihalnya Miss G, tokoh utama dalam cerita Freedom Writers, terinspirasi oleh ayahnya seorang aktivis pembela hak-hak sipil. Oleh karena di sekolah menengah Woodrow Wilson menyelenggarakan program integrasi, maka dia tertarik untuk menjadi pengajar disana. Program integrasi sendiri merupakan program yang mengharuskan sekolah terbuka untuk seluruh kalangan.

Kami ingin menggaris bawahi mengenai peran seorang ayah disini. Seorang ayah, setidaknya bagi Miss G, menjelma sebagai sahabat tempat berbagi gagasan, pengalaman, sekaligus berkeluh kesah. Ayah yang menjadi suri tauladan bagi anaknya, ayah yang ing ngarso sung tulodo. Dalam menyikapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Miss G, sang ayah dengan pengalaman dan kedewasaannya berhasil memberikan saran-saran dan motivasi yang menggugah sehingga Miss G mendapatkan kembali semangatnya. Sang ayah tidak memberikan jarak terhadap permasalahan anaknya, melainkan dia menempatkan diri sebagai bagian dari anaknya tersebut. Miss G tidak merasa digurui dan dihakimi oleh ayahnya, sebaliknya dia merasa mendapatkan seseorang yang dapat menguatkannya. Disini ayahnya memfungsikan peran ing madyo mangun karso. Dengan kata lain, ayahnya menjadi seorang pendorong utama dalam langkah-langkah Miss G tanpa mereduksi originalitas ide dan gagasan anaknya tersebut, yakni mengamalkan prinsip tut wuri handayani. Sepertinya, saya melihat sosok Ki Hajar Dewantara pada tokoh ayah Miss G ini. Itulah peran orangtua (baik orangtua kandung, guru maupun kita generasi yang lebih senior) sebagai pendidik sejati bagi anak-anaknya.

Akhirnya, setelah melewati semua rintangan dengan kegigihan, Miss G dengan para siswanya berhasil meyakinkan para pengambil kebijakan mengenai semangat perubahan yang diusungnya. Mereka berhasil berdamai dengan masa lalunya, merobohkan apriori akan perbedaan yang awalnya seolah tembok yang tebal menjadi modal keberagaman dalam kesatuan mimpi, dan yang paling penting bahwa mimpi-mimpi yang telah terampas berhasil direbut kembali dalam pelukan mereka.

Memang tidak mudah untuk melakukan perubahan. Banyak dimensi yang harus bersinergi disana. Namun, kita tidak bisa menunggu didalam badai dan ditenggelamkannya. Satu-satunya jalan adalah menerobosnya. Akan ada kehangatan matahari pagi disana. Matahari pagi yang akan bersinar bersama semangat perubahan dan menyinari kebersamaan itu sendiri.

Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.

*) Tulisan pernah dimuat di www.mataharipagi.tk.

Referensi :

  • Lagravenese, Richard. (2007). Freedom Writers. Produksi : Double Feature Films, MTV Films, Paramount Pictures. Durasi 02:02:56.
  • Kasali, Rhenald. (2017). Strawberry Generation : Anak-Anak Kita Berhak Keluar dari Perangkap yang Bisa Membuat Mereka Rapuh. Penerbit : Mizan.
  • Munandar, Aris. (2016). TDW Program : Sebuah Kurikulum Transformasi. Tidak diterbitkan.