Bertempat di Le Meridien Hotel Jakarta, pada hari Senin 23 Maret 2024, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga, Kemenko PMK, menggelar Rapat Koordinasi Peningkatan Budaya Literasi di Desa.
Plt. Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga, Aris Darmansyah memberikan sambutan sekaliguus membuka kegiatan.
Dalam sambutannya menyatakan bahwa literasi memiliki peranan penting dalam pembangunan manusia dan kebudayaan. Literasi mampu meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan wawasan seseorang. Meningkatnya literasi masyarakat secara langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan kualitas suatu bangsa. Berbagai macam permasalahan bangsa seperti kemiskinan ekstrim, stunting, rendahnya keadaban digital, kurangnya inovasi dan kreativitas, serta masih rendahnya karakter bangsa (Etos Kerja, Gotong Royong, dan Integritas) salah satunya disebabkan oleh rendahnya literasi di masyarakat.
Seain itu, Aris Darmansyah juga menyinggung soal capaian Nilai Budaya Literasi pada Tahun 2022 baru mencapai 57,40 poin (selisih 13,64 poin dari target 2024). Selisih tersebut menjadi tantangan tersendiri dan memerlukan kerja keras serta upaya kolektif antar pemangku kepentingan untuk mengejar momentum dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun sejak pertemuan ini dilaksanakan.
Rapat koordinasi ini dihadiri oleh tiga narasumber yang terdiri dari Maman Suherman selaku Pegiat Literasi Nasional, Opik sebagai Ketua Forum TBM, dan Faiz Ahsoul dari Pustaka Bergerak Indonesia.
Maman Suherman sebagai narasumber pertama menyatakan salah satu poin penting yang harus dilakukan dalam penguatan literasi yakni dengan menhadirkan pustakawan di perpustakaan sekolah. Lebih lanjut, ia menegaskan urgensi sinkronisasi data anatara TBM dan lembaga sejenis dengan Perpustakaan Desa yang hadir di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Menurut pengamatannya, sejauh ini kehadiran TBM dan lembaga sejenis serta Perpustakaan Desa tidak lebih dari 10% dari jumlah desa/kelurahan. Lebih lanjut, Kang Maman merekomendasikan definisi operasional dan ruang lingkup TBM dapat diturunkan dari peraturan yang sudah ada, yakni pada Pasal 49, UU Nomor 43/2007 tentang Perpustakaan. “Sejatinya TBM bukan ‘tempat taruh dan pajang buku semata’. Ia harus menjadi ruang interaktif pembelajaran sepanjang hayat warga masyarakat yang sifatnya to enlighten, to enrich dan to empower [mencerahkan, memperkaya wawasan, memberdayakan]. Ada unsur inklusi dan inkubasi di dalamnya”. Sambung Kang Maman seraya menutup paparannya.
(Opik, Ketua Forum TBM sedang menyampaikan materi)
Paparan materi dilanjutkan oleh Opik dari Forum TBM. Pada kesempatan tersebut, ia mendedahkan ihwal Peran Taman Bacaan Masyarakat dan Kiprahnya dalam upaya peningkatan budaya literasi di desa. Menurutnya, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dalam kacamata pegiat Forum TBM adalah istilah, bukan nama. Di lapangan, TBM dapat ditemukan dalam beragam nama, seperti Taman Baca, Rumah Baca, Rumah Kreatif, Rumah Literasi, bahkan banyak yang menggunakan nama yang diambil dari bahasa daerah.
Dari 2740 TBM yang bergabung di Forum TBM, semuanya memiliki layanan membaca dan peminjaman buku, serta memiliki program pengembangan berbasis enam kemampun literasi dasar dan turunannya. Selain itu Opik, menyampaikan bahwa karakteristik gerakan TBM setidaknya berpijak pada tiga hal, kerelawanan, berbasis pemberdayaan, dan berfokus pada konteks dan kebutuhan lokal.
Melihat data keanggotaan, ditemukan bahwa lebih dari 30% TBM hanya memiliki koleksi kurang dari 100. Oleh sebab itu, salah satu upaya yang terus dilakukan adalah mengirimkan bantuan buku melalui Sejuta Bahan Pustaka untuk TBM bersama JNE. Adapun bukunya dikumpulkan dari berbagai pihak. Program lain yang juga bertujuan untuk menambah bahan pustaka di TBM yakni melalui kerjasama dengan McD dengan menyediakan kotak donasi buku di 180 gerai yang tersebar di Indonesia. Selain itu PW dan PD Forum TBM memiliki program serupa dalam rangka menambah bahan pustaka di TBM. Lebih lanjut, Dalam rangka meningkatkan kapasitas pegiat TBM, Forum TBM menyelenggarakan berbagai pelatihan baik yang diselenggarakan secara internal, maupun eksternal bersama mitra. Beberapa contoh pendampingan yang dilakukan bersama mitra yang disampaikan oleh Opik dalam paparannya antara lain; Pendampingan TBM di SKB bersama Dit. PMPK Kemdikbudristek; Pendampingan Penulisan buku bersama Perpusnas Press; Optimalisasi pemanfaatan buku digital bersama The Asia Foundation; Pendampingan perpustakaan sekolah ramah anak bersama Room to Read; Pendampingan membaca nyaring bersama Dit. SD Kemdikbudristek dan Provisi; Pendampingan residensi seniman di TBM bersama Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek; Pendampingan pegiat TBM sebagai trainer literasi digital bersama ICT Wacth, dll. Sebagai penutup paparan, Opik menjelaskan bawah praktik gerakan literasi TBM di desa secara umum meliputi upaya mendekatkan akses bahan pustaka pada masyarakat, peningkatan kecakapan literasi baca tulis, peningkatan kualitas dan partisipasi pendidikan masyarakat, pendidikan anak, pendidikan keluarga, pemberdayaan keluarga, pemberdayaan pemuda, pemberdayaan ekonomi, kewirausahaan dan pengentasan kemiskinan, kesehatan, gizi dan kualitas hidup masyarakat, inklusi sosial, literasi digital dan teknologi informasi, lingkungan, serta pelestarian seni dan budaya daerah.
Paparan terakhir disampaikan oleh Faiz Ahsoul selaku Plt. Ketua Pustaka Bergerak Indonesia. Pada paparannya, mula-mula ia menjelaskan pemilihan nama Pustaka Bergerak, bukan Perpustakaan Bergerak. Menurutnya Pustaka berarti sumber informasi atau sistem pengetahuan. Sementara perpustakaan merupakan fisik bangunan dengan berbagai sarana prasarana serta manajemen pengelolaannya di bawah lembaga baik pemerintah, swasta, pun komunitas.
Untuk konteks Pustaka Bergerak sendiri, jejaring komunitasnya menggunakan istilah Simpul Pustaka. Simpul di sini adalah komunitas yang mengelola perpustakaan. Lebih lanjut, Faiz menjelaskan bahwa peran PBI dalam penguatan literasi di desa menyasar tiga poin utama yakni simpul pustaka sebagai sumber belajar, sumber informasi dan ruang rekreasi edukatif. Adapun salah satu praktik yang dilakukan PBI dalam penguatan literasi di desa yakni melalui kegiatan belajar bersama menulis sejarah kampung. Pada akhir paparan, Faiz juga menyampaikan keterlibatan PBI pada gelaran Kongres Budaya Desa sebagai ikhtiar kemandirian masyarakat desa.
Setelah paparan dari tiga narasumber selesai, lanjut diskusi dengan para penanggap yang terdiri dari Setkab; Bappenas; Kemendikbudristek; KemendesPDTT; Kemenkominfo; Perpusnas; dan Kemenko PMK. Para penanggap menyampaikan tanggapannya terkait pembahasan dalam diskusi.
Tanggapan pertama datang dari Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, beliau menyampaikan tentang definisi konsep literasi, sumber daya perpustakaan dan standar perpustakaan serta Peta Jalan Pembudayaan Literasi menjawab hasil rekomendasi dari Panja Peningkatan Literasi dan Tenaga Perpustakaan (PLTP) Komisi X DPR RI. Telah disepakati Surat Edaran yang melibatkan Kemendikbudristek, Perpusnas, dan Kemendes PDTT.
Tanggapan lain datang dari Deputi Bidang Pengembangan SDM Perpustakaan, Perpusnas, menyampaikan tentang pentingnya memikirkan mengenai masalah regulasi UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, keselarasan antara RPJMN dengan RPJMD dan terkait penganggaran.
Senada dengan tanggapan dari Deputi Bidang Pengembangan SDM Perpustakaan, Perpusnas, Sekretaris Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kemendes PDTT menyampaikan dukungannya tentang penganggaran dana desa yang digunakan untuk mengakomodir aktivitas TBM.
Tanggapan lain datang dari Asisten Deputi Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Sekreriat Kabinet menyampaikan tentang perlunya pertimbangan yang lebih mendalam terkait dorongan TBM menjadi LKD dikarenakan TBM tersebut muncul dari masyarakat.
Selain tanggapan dari berbagai pihak, pada akhir kegiatan disepakati juga perlu diskusi lebih lanjut apakah kesepakatan antara Kemendikbudristek, Kemendes, PDTT dan Perpusnas menggunakan istilah Surat Edaran Bersama (SEB) atau Surat Keputusan Bersama (SKBB). Selain itu, diharapkan nantinya dapat disaksikan oleh Menko PMK. Selain itu, pembahasan lebih lanjut mengenai relevansi indikator dimensi budaya literasi di dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK). Juga kiranya supaya Peta Jalan Pembudayaan Literasi (PJPL) yang telah diinisiasi oleh Kemenko PMK dapat segera ditindaklanjuti.
Diskusi mengenai “Peningkatan Budaya Literasi di Desa” berjalan sangat baik dan terarah dengan durasi waktu cukup lama, lebih dari 3 jam. Hal ini juga tidak lepas peran dari moderator yang sangat baik memimpin diskusi, yaitu Molly Prabawaty dari Kemenko PMK.
*Redaksi Forum TBM