Categories
Artikel Opini

Kertas Zaman Jepang (1)

Oleh. Atep Kurnia*

 

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942 hingga tahun 1945, upaya pembuatan kertas nampaknya jadi sporadis dan meluas, bukan hanya terbatas pada dua pabrik kertas yang didirikan semasa Belanda, yaitu Pabrik Kertas Padalarang dan Pabrik Kertas Letjes. Bukti-buktinya dapat kita simak dalam pemberitaan koran Tjahaja yang terbit di Bandung antara tahun 1942 hingga 1945, terutama pada penerbitan tahun 1943.

Dalam Tjahaja edisi 25 Itigatu 2603 (25 Januari 1943) ada berita bertajuk “Kertas Karton” yang berisi mengenai R.M. Sastrodarsono, kepala desa Jagalan, Imogiri, Solo, telah berhasil membuat kertas karton. Konon, ia mula-mula hanya membuat 2 lembar per hari, tetapi kemudian dapat meningkatkannya hingga 40-50 per hari.

Dari Pemalang, Mas Koenandar yang usianya baru 14 tahun dan menjadi murid Sekolah Rakjat Pemalang berhasil membuat kertas karbon. Bahan-bahannya antara lain kertas tipis, minyak tanah, dan minyak kelapa. Konon, bila bahannya cukup, ia dapat membuat 1000 lembar per hari (Tjahaja, 15 Nigatu 2603/15 Februari 1943).

Seorang Tionghoa di Sindangsari, Kewedanaan Ciawi, Bogor, dalam sehari dapat membuat kertas karton sebanyak 50 hingga 100 lembar. Bahan-bahan pembuatnya adalah merang dan jerami padi, dengan menggunakan kincir oleh beberapa orang (Tjahaja, 17 Nigatu 2603).

Dalam Tjahaja edisi 18 Nigatu 2603 bahkan dimuat tulisan berjudul “Tjara Memboeat Kertas” dengan jalan sederhana serta bahan-bahan mudah didapatkan di manapun. Bahan-bahannya antara lain kertas bekas, jerami, kapur, dan serbuk areng. Sementara perkakas yang dibutuhkan antara lain lesung batu, alu, tapisan dari bambu, dan air.

Hasil percobaan masyarakat untuk membuat kertas bahkan turut dipamerkan dalam “Pertoendjoekan Barang-barang Boeatan di Djawa” yang diselenggarakan oleh Gunseikanbu, di Balai Pertemoean Asia Raja, Gambir Barat 7, Jakarta, selama seminggu sejak tanggal 11 Februari 1943. Di antara yang turut memamerkan hasil membuat kertas adalah Mas Anwar dari Pati Syu, Slamet dari Banyumas Syuu, dan H.M. Boechori dari Pekalongan Syuu (Tjahaja, 19 Nigatu 2603).

Pada edisi 22 Nigatu 2603, Tjahaja mengabarkan warta menarik, yaitu perihal “Pertjobaan Membikin Kertas Saringan dan Kertas Tik” yang ditunjukkan oleh A. Moehji dari Tegallega di hadapan para tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung. Moehji telah melakukan demonstrasi pembuatan kertas bungkus dari merang di hadapan para tahanan. Di penjara itu juga sedang dilakukan percobaan untuk membuat kertas saringan dan kertas tik.

Ternyata upaya A. Moehji terus berlanjut. Sebagaimana yang diberitakan Tjahaja edisi 13 Gogatu 2063/13 Mei 1943, percobaan di penjara itu ternyata mendapat perhatian. Terbukti dari pesanan-pesanan yang diterima A. Moehji. Namun, ia tidak dapat memenuhinya karena sebab-sebab tertentu. Ia sekarang hanya memproduksi kertas saringan untuk keperluan rumah-rumah sakit, dengan fungsi untuk menyaring obat-obatan. Bahan pembuat kertas saringan itu adalah kertas bekas, dengan jumlah produksi 200 lembar per hari.

Sehari kemudian tersiar kabar, Karso yang merupakan penduduk Cikoneng, Ciamis, berhasil membuat kertas bungkus. Contoh hasil percobaannya sudah diserahkan kepada Dinas Keradjinan di Ciamis, yang setelah diperiksa ternyata hasilnya bagus. Penduduk lainnya dari Desa Panamun, Ciamis, juga sedang melakukan percobaan kertas bungkus (Tjahaja, 14 Gogatu 2063).

Kemudian dalam Tjahaja edisi 20 Gogatu 2063 disebutkan Wie Ek Lien dan Wie Ok Ho, masing-masing penduduk dari Kedungbadak dan Kedunghalang, Bogor, berhasil membuat kertas gintjwa dan soeikim dari jerami. Kertas tersebut umumnya diigunakan untuk upacara kematian di kalangan orang Tionghoa.

Bahkan cara membuat dan hasil membuat kertas saeh, yaitu kertas tradisional Sunda, dipamerkan dalam Pasar Malam di Bandung antara 7-9 Agustus 1943. Dalam berita bertajuk “Berita-berita Pasar Malam” dalam Tjahaja edisi 7 Hatigatu 2603/7 Agustus 1943.

Dalam berita tersebut antara lain dikatakan “Kertas ‘saeh’ itoelah jang sekarang kita lihat dibagian keradjinan di Pasar Malam itoe. Kertas jang sekarang moelai moentjoel kembali ke masjarakat kita, banjak dipergoenakan orang, tidak hanja oentoek kap atau djilid boekoe sadja, akan tetapi – seperti memang dari doeloenja – djoega oentoek ditoelis”.

Konon, fungsi kertas saeh saat itu diperluas untuk keperluan rumah, toko obat, jilid buku, paket, tas, dan lain-lain. Katanya, “Saeh itoe diambil dari nama pohon, jang di daerah Priangan banjak terdapat dibawahan Garoet, dan jang kini oleh pendoedoek disana banjak ditanam. Pohon itoe diambil koelitnja ditoemboek dan disamboeng-samboeng, hingga koelit tadi mendjadi lembaran jang pandjang dan lebar. Sesoedahnja laloe didjemoer dan kemoedian ditoemboek lagi”.

Di Talang, Tegal, Seinendan mencoba membuat kertas dari jerami, merang, dan kertas bekas. Upaya tersebut berhasil membuat antara 20 hingga 30 lembar kertas berukuran 65×44 cm setiap harinya (Tjahaja, 3 Kugatu 2603/3 September 1943).

Dengan keadaan seperti yang tergambar di atas wajar bila pada awal September 1943 di Yogyakarta terdapat delapan perusahaan kertas. Dalam Tjahaja edisi 5 Kugatu 2603 antara lain tertulis begini: “Peroesahaan membikin kertas diseloeroeh Djogja Kooti ada delapan. Enam dari peroesahaan-peroesahaan itoe kepoenjaan bangsa Indonesia. Peroesahaan itoe menghasilkan kertas pemboengkoes dan kertas karton jan dibikin daripada merang. Banjaknja pemboengkoes jang dihasilkan dalam seboelan ditaksir 70.000 lembar, sedang kertas karton 4000 lembar. Harga kertas pemboengkoes selembar dari oekoeran 85×85 cm, 3,5 atau 4 sen. Kertas terseboet dapat ditoelisi.”

Ternyata juga di Yogya ada perusahaan kertas gosok atau ampelas. Konon, perusahaan tersebut menghasilkan 30.000 lembar kertas gosok yang dipasarkan dengan harga 6 sen per lembar. Sebelumnya kertas-kertas semacam itu biasanya didatangkan dari luar negeri.

Selanjutnya ada berita ihwal Pabrik Koa Kozyoo yang berhasil membuat kertas tik, sehingga dengan demikian pabrik tersebut dapat menghasilkan dua macam kertas, setelah sebelumnya membuat kertas bungkus. Cara dan alat membuatnya termasuk sederhana, tetapi hasilnya bisa sampai 1000 lembar dengan ukuran 85×55 cm. Dalam Tjahaja (6 Kugatu 2603) diterangkan antara lain demikian: “Pembikinan dilakoekan didalam seboeah bak jang setiap waktoe ditempatkan saringannja diisi dengan beberapa tjampoeran. Sesoedah itoe laloe dipanaskan. Boeat kertas boengkoes jang dipakai menjaring kain dan boeat kertas tik jang dipakai menjaring kawat.”

Di Sukabumi direncanakan untuk mendirikan sebuah pabrik kertas, di gedung bekas SOG yang berada di Jalan Benteng. Untuk sementara jumlah pekerjanya sebanyak 50 orang. Agar bisa bekerja di sana, mereka mendapatkan pelatihan dalam waktu singkat, tetapi akan disebarkan lagi pengetahuan dan kemampuannya kepada orang lain, terutama kalangan perempuan. Untuk sementara pula kertas yang dihasilkan pabrik tersebut berupa kertas pembungkus (Tjahaja, 13 Kugatu 2603).

Di Bekasi, Tojo Jusan Kai Djakarta Syuu berencana mendirikan pabrik kertas di bekas penggilingan padi. Untuk keperluan tersebut, lembaga itu telah mengirim dua orang bangsa Indonesia ke Jakarta Kota untuk dilatih selama beberapa minggu, dan kini kedua sudah siap menunggu pembukaan pabrik kertasnya (Tjahaja, 25 Kugatu 2603).

Di Cianjur juga direncanakan akan didirikan pabrik kertas. Ini menyusul hasil kunjungan T. Ir. R.M. Iso Reksohadiprodjo, Keizabutyoo Bogor Syuu, ke Cianjur Ken. Menurut kabar dari Tjahaja edisi 27 Zyuitigatu 2603/27 November 1943, pabrik tersebut akan ditempatkan pada bekas penggilingan padi yang tidak lagi digunakan. Agar pabrik tersebut segera terwujud, maka akan dilatih dua orang untuk menjalankan usahanya.

Dengan demikian, nampaknya pada masa pendudukan Jepang, kertas menjadi semacam industri rumah tangga yang terus digalakkan di antara kalangan penduduk Indonesia. Mengenai kenyataan tersebut mendapatkan konfirmasinya dalam Tjahaja edisi 6 Kugatu 2603 yang di dalamnya terdapat berita bertajuk “Dari Lapangan Perindoesterian”.

Dalam berita itu antara lain tertulis bahwa “Pada oemoemnja lapangan perindoesterian di Bandoeng Si berpengharapan baik. Pengoesaha-pengoesaha sedang hiboek membikin barang-barang jang doeloe hanja didatangkan dari loear negeri, misalnja djaroem mesin djahit, obat gosok gigi, kertas kasar, korek api, dll”.

Masalahnya, katanya, adalah “persediaan bahan”, sehingga diputuskan “Oentoek mendjaga soepaja peroesahaan-peroesahaan jang telah ada tidak terganggoe persediaan bahannja, permintaan-permintaan mendirikan peroesahaan baroe, misalnja peroesahaan pembikinan saboen, peroesahaan pembikinan pakaian, tidak diperkenankan oentoek sementara waktoe”.

Lalu, bagaimana nasib N.V. Papierfabriek Padalarang pada masa pendudukan Jepang? Sayang informasi yang dapat ditimba dari koran Tjahaja hanya sedikit. Di antaranya terdapat pada iklan lowongan pekerjaan dalam Tjahaja edisi  22 Nigatu 2603 atau 22 Februari 1943.

Dalam iklan itu tertulis “Ditjari: Seorang Indonesia jang pandai berbitjara bahasa Nippon, oentoek dikerdjakan sebagai Djoeroe Bahasa”, dengan keterangan bahwa pelamarnya bisa datang sendiri ke “a. Toean Kawai, Hotel Homann kamar 131, antara djam 20 sampai 22; b. Toean Kawai, paberik kertas Padalarang, antara djam 10 sampai 15.”

Dengan iklan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa paling tidak sejak Februari 1943, Pabrik Kertas Padalarang sudah dioperasikan oleh bangsa Jepang. Bisa jadi direktur atau administraturnya adalah “Toean Kawai” sebagaimana yang diiklankan di atas, yang dari pagi hingga sore bekerja di Padalarang, dan dari sore hingga malam ada di Hotel Homann.

Bisa jadi, orang bernama Kawai itu adalah wakil dari “het Mitsubishi-concern” atau grup Mitsubishi, salah satu perusahaan Jepang yang dapat mengambil alih sejumlah perusahaan di Hindia Belanda berkat kekuasaan dan pengawasan kalangan militer Jepang. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan Pabrik Kertas Padalarang jadi bagian dari Grup Mitsubishi, sedangkan Letjes tidak tersedia informasi siapa yang kemudian mengakuisisinya (“Geschiedenis van het bedrijf” dalam archivesportaleurope.net, diakses pada 17 Februari 2022).

Pada Agustus 1946 ketika terjadinya kapitulasi Jepang, ternyata stok di Pabrik Kertas Padalarang yang sedianya akan diserahkan oleh manajer bangsa Jepang beserta para staf bangsa Jepang di sana ternyata sudah tidak ada. Konon, kertas-kertasnya telah dijual kepada seorang Tionghoa. Kertas-kertas tersebut berjenis kertas koran, kertas tik, dan kertas bungkus. Kertas koran jumlahnya 1.000 rim, campuran kertas koran dan kertas tik sebanyak masing-masing 100 rim dibungkus dengan berat 13.162 kilogram. Kertas-kertas tersebut dijual dengan harga 72.669 gulden (Arnhemsche Courant, 19 Agustus 1946; Het Dagblad, 20 Agustus 1946).

 

 

Keterangan foto:

 

Surat kabar Tjahaja terbitan Bandung banyak mewartakan upaya pembuatan kertas di kalangan orang Indonesia zaman pendudukan Jepang. Sumber: Tjahaja, 8 Zyunigatu 2602.

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang

Leave a Reply