Oleh. Atep Kurnia*
Di Sukabumi direncanakan untuk mendirikan sebuah pabrik kertas, di gedung bekas SOG yang berada di Jalan Benteng. Untuk sementara jumlah pekerjanya sebanyak 50 orang. Agar bisa bekerja di sana, mereka mendapatkan pelatihan dalam waktu singkat, tetapi akan disebarkan lagi pengetahuan dan kemampuannya kepada orang lain, terutama kalangan perempuan. Untuk sementara pula kertas yang dihasilkan pabrik tersebut berupa kertas pembungkus (Tjahaja, 13 Kugatu 2603).
Di Bekasi, Tojo Jusan Kai Djakarta Syuu berencana mendirikan pabrik kertas di bekas penggilingan padi. Untuk keperluan tersebut, lembaga itu telah mengirim dua orang bangsa Indonesia ke Jakarta Kota untuk dilatih selama beberapa minggu, dan kini kedua sudah siap menunggu pembukaan pabrik kertasnya (Tjahaja, 25 Kugatu 2603).
Di Cianjur juga direncanakan akan didirikan pabrik kertas. Ini menyusul hasil kunjungan T. Ir. R.M. Iso Reksohadiprodjo, Keizabutyoo Bogor Syuu, ke Cianjur Ken. Menurut kabar dari Tjahaja edisi 27 Zyuitigatu 2603/27 November 1943, pabrik tersebut akan ditempatkan pada bekas penggilingan padi yang tidak lagi digunakan. Agar pabrik tersebut segera terwujud, maka akan dilatih dua orang untuk menjalankan usahanya.
Dengan demikian, nampaknya pada masa pendudukan Jepang, kertas menjadi semacam industri rumah tangga yang terus digalakkan di antara kalangan penduduk Indonesia. Mengenai kenyataan tersebut mendapatkan konfirmasinya dalam Tjahaja edisi 6 Kugatu 2603 yang di dalamnya terdapat berita bertajuk “Dari Lapangan Perindoesterian”.
Dalam berita itu antara lain tertulis bahwa “Pada oemoemnja lapangan perindoesterian di Bandoeng Si berpengharapan baik. Pengoesaha-pengoesaha sedang hiboek membikin barang-barang jang doeloe hanja didatangkan dari loear negeri, misalnja djaroem mesin djahit, obat gosok gigi, kertas kasar, korek api, dll”.
Masalahnya, katanya, adalah “persediaan bahan”, sehingga diputuskan “Oentoek mendjaga soepaja peroesahaan-peroesahaan jang telah ada tidak terganggoe persediaan bahannja, permintaan-permintaan mendirikan peroesahaan baroe, misalnja peroesahaan pembikinan saboen, peroesahaan pembikinan pakaian, tidak diperkenankan oentoek sementara waktoe”.
Lalu, bagaimana nasib N.V. Papierfabriek Padalarang pada masa pendudukan Jepang? Sayang informasi yang dapat ditimba dari koran Tjahaja hanya sedikit. Di antaranya terdapat pada iklan lowongan pekerjaan dalam Tjahaja edisi 22 Nigatu 2603 atau 22 Februari 1943.
Dalam iklan itu tertulis “Ditjari: Seorang Indonesia jang pandai berbitjara bahasa Nippon, oentoek dikerdjakan sebagai Djoeroe Bahasa”, dengan keterangan bahwa pelamarnya bisa datang sendiri ke “a. Toean Kawai, Hotel Homann kamar 131, antara djam 20 sampai 22; b. Toean Kawai, paberik kertas Padalarang, antara djam 10 sampai 15.”
Dengan iklan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa paling tidak sejak Februari 1943, Pabrik Kertas Padalarang sudah dioperasikan oleh bangsa Jepang. Bisa jadi direktur atau administraturnya adalah “Toean Kawai” sebagaimana yang diiklankan di atas, yang dari pagi hingga sore bekerja di Padalarang, dan dari sore hingga malam ada di Hotel Homann.
Bisa jadi, orang bernama Kawai itu adalah wakil dari “het Mitsubishi-concern” atau grup Mitsubishi, salah satu perusahaan Jepang yang dapat mengambil alih sejumlah perusahaan di Hindia Belanda berkat kekuasaan dan pengawasan kalangan militer Jepang. Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan Pabrik Kertas Padalarang jadi bagian dari Grup Mitsubishi, sedangkan Letjes tidak tersedia informasi siapa yang kemudian mengakuisisinya (“Geschiedenis van het bedrijf” dalam archivesportaleurope.net, diakses pada 17 Februari 2022).
Pada Agustus 1946 ketika terjadinya kapitulasi Jepang, ternyata stok di Pabrik Kertas Padalarang yang sedianya akan diserahkan oleh manajer bangsa Jepang beserta para staf bangsa Jepang di sana ternyata sudah tidak ada. Konon, kertas-kertasnya telah dijual kepada seorang Tionghoa. Kertas-kertas tersebut berjenis kertas koran, kertas tik, dan kertas bungkus. Kertas koran jumlahnya 1.000 rim, campuran kertas koran dan kertas tik sebanyak masing-masing 100 rim dibungkus dengan berat 13.162 kilogram. Kertas-kertas tersebut dijual dengan harga 72.669 gulden (Arnhemsche Courant, 19 Agustus 1946; Het Dagblad, 20 Agustus 1946).
Keterangan foto:
Pada Agustus 1946, konon Jepang akan menyerahkan stok kertas di Pabrik Kertas Padalarang. Sumber: Arnhemsche Courant, 19 Agustus 1946.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang