Oleh. Heri Maja Kelana
Membaca naskah dongeng selalu membuat saya merasa ingin terus bertualang dan menyelami lebih dalam tentang dongeng tesebut. Entah karena saya senang dengan dongeng, atau karena dongeng yang dibaca memang asik.
Kecintaan terhadap dongeng, membuka saya untuk terus mencari referensi-referensi dongeng, baik dongeng nusantara maupun dongeng yang berasal dari luar nusantara. Hal ini tidak lain untuk memperkaya khasanah dongeng pada diri saya.
Inkubator Dongeng Anak Indonesia ini sangat menarik. Bagaimana dongeng yang tadinya bersifat lisan, dapat ditransformasikan pada bentuk teks. Selain itu ada pula yang merevitalisasi dari cerita dongeng tersebut. Hal ini sah, selama tidak mengubah esensi dari dongeng itu sendiri.
Konteks Masyarakat
Pada buku Slavoy Zizek yang berjudul The Sublime Object of Ideology dijelaskan mengenai keberadaan subjek dalam konteks masyarakat. Bagaimana subjek menjadi tidak dapat melakukan apa-apa ketika dihadapkan dengan ranah sosial (konteks masyarakat). Dalam hal ini dikatakan bahwa subjek telah mati, seperti yang dilakukan oleh Jacques Lacan. Subjek sendiri adalah suatu entitas individu atau manusia yang mengguakan akal budi atau rasio dalam bertindak.
Perbincangan subjek dari mulai dulu (saya namakan era filsafat) hingga sekarang banyak perubahan. Rene Descartes mengatakan bahwa subjek adalah seseorang yang menggunakan akal dan rasionya untuk bertindak. Oleh karena itu, Descartes mensimulasikan Cogito Ergo Sum atau Aku Berpikir, Maka Aku Ada.
Subjek Rene Descartes ini yang menjadi landasan berpikir subjek dalam konteks sosial, di mana pada waktu itu (zaman sebelum pencerahan) subjek dikontrol penuh oleh peraturan budaya, adat istiadat, juga agama.
Pembahasan subjek tidak hanya berhenti pada pada ranah filsafat, melainkan meluas pada sisi sosiologis.
Pada ranah sosiologis, subjek lebih mengarah pada suatu entitas yang merupakan suatu bentukan atau rekayasa dari kehidupan sosial (struktur sosial). Ranah lain adalah ranah postmodern – poststuktural di mana subjek adalah hasil dari struktur sosial, simbol, dan bahasa.
Slavoy Zizek, lebih memilih mengedepankan subjek dari Kant (Immanuel Kant). Subjek Kant lebih mengedepankan empirisme, daripada akal dan rasio.
Dari sini Zizek membuat satu subjek yang komperhensif, bahwa subjek terbentuk dari suatu pengalaman empiris. Lalu Zizek membuat subjeknya sendiri melalui negativitas dan dialektika.
Pada hal ini subjek dijauhkan dari dirinya dengan diri yang dulu menggunakan konsep dialektika. Subjek-subjek ini menurut Zizek terus memperbaiki dirinya dan dianggap suatu kekosongan yang beraupaya untuk memperkuat posisinya di masyarakat. Subjek selalu berupaya untuk melihat peluang-peluang yang mampu ia pengaruhi dalam struktur sosial.
Hal lain yang dapat dikaitkan pada dongeng dalam konteks subjek Zizek adalah pada teori yang dikembangkan oleh Jaques Lacan. Kita tahu bahwa Lacan mengembangkan psikoanalisis, dan kenapa psikoanalisis dapat mempengaruhi subjek?
Harus dilihat dulu, bahwa Lacan adalah pemikir postmodern/poststrukturalis, Zizek menggunakan triad Lacanian yaitu Symbolic, Real, dan Imaginary. Tahapan Imajiner, subjek mengidentifikasi lingkungan sekitar (Perilaku dan Peristiwa) seperti orang-orang yang ada di dalam atau struktur sosial yang ada di dalamnya (masyarakat). Subjek belajar bagaimana masyarakat berperilaku lalu belajar dari suatu peristiwa yang kemudian dapat dicontoh oleh subjek,
Dari Imajiner kemudian berkembang pada tahap simbolik. Pada tahap ini, subjek mengaktualisasikan hasil identifikasi dan memainkan peran di lingkungan sosialnya. Lalu berkembang pada tahap selanjutnya, yaitu tahap Yang Nyata.
Tahap Yang Nyata, seorang subjek berupaya memberikan kontribusi di ranah sosialnya, akan tetapi subjek selalu mengalami masalah kegagalan dalam mencapai fungsi dan tujuan dirinya. Zizek melihat kekosongan ini menjadi peluang di mana seorang subjek dapat mengoptimalkan atau mengupayakan potensi tindakan radikal dalam mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Definisi subjek terus berkembang, hingga Zizek meredefinisi kembali apa itu subjek. Hingga ia kemudian menyatakan bahwa subjek tidak mati dalam ranah sosialnya. Atau dapat dikatakan bahwa ketika pemikir sosial kontemporer menganggap subjek telah mati, Zizek memiliki pandangan yang berbeda dengan melihat subjek yang dihidupkan kembali untuk menciptakan subtansi.
Apa Kaitannya Subjek dengan Konteks Dongeng?
Bagaimana apabila kita kembali melihat ke belakang, ada kisah Aurora atau kita kenal dengan “Sleeping Beauty” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Putri Tidur”. Aku (Subjek) pada karakter-karakter tokoh cerita tersebut bertransformasi sesuai dengan konteks masyarakatnya. Sehingga bahkan mungkin pembaca tidak tahu cerita yang sebenarnya dari “Sleeping Beauty” sendiri.
Dalam konteks ini memungkinkan bahwa subjek empiris yang dikatakan oleh Zizek berperan. Subjek tidak mati, subjek akan menciptakan subtansi-subtansi baru sesuai dengan apa yang dialaminya dalam suatu peristiwa.
Contoh lain adalah folklor (cerita rakyat) yang ditranformasikan pada cerita anak, kebahasaan, pemikiran tokoh, serta alur cerita akan disesuaikan pada konteks tersebut. Sehingga cerita rakyat mengalami transformasi yang dapat dikatakan (radikal). Akan tetapi tetap pada sebuah simulakrum subtansi yang sama.
Pergeseran-pergeseran ini sah apabila kita berpegang pada apa yang dikatakan Zizek mengenai subjek. Selain itu, realitas sosial terus berkembang, peristiwa tentu berbeda dengan peristiwa pada konteks yang dulu. Sehingga melahirkan pemikiran serta simbol (bahasa) yang berbeda pula.
Hemat saya, 17 peserta terpilih Inkubator Dongeng Anak Indonesia ini dapat mentranformasikan teks cerita rakyat dari daerahnya masing-masing pada konteks kekinian. Konteks yang ramah dapat pula dibaca oleh semua kalangan
Saya akan berikan beberapa contoh dari 17 naskah terpilih dalam inkubator ini
Cerita Manik Angkeran dan Naga Besukih (Cerita Asal Usul Selat Bali) penulis Debby Lukito Goeyardi.
“Baiklah! Aku memiliki apa yang kamu inginkan. Tapi, jawab dulu teka-tekiku ini. Jika kamu bisa menjawab tiga dari empat teka-tekiku, maka kamu bisa mengambil harta sebanyak yang kamu butuhkan dari gua perlindunganku. Tapi, jika kamu tidak bisa menjawab teka-teki yang aku berikan, kamu harus menjadi muridku dan aku akan mendidikmu menjadi anak yang baik lagi seperti dulu.” Naga Besukih memberikan penawaran pada Manik Angkeran.
“Deal!” Manik Angkeran yakin dirinya akan menang dan akan berhasil mendapatkan harta dari Naga Besukih.
“Kita mulai,” lanjut Naga Besukih,”Teka-teki pertama!” teriak Naga Besukih.
Hujan di pagi hari,
Membuat hati penuh kenangan.
Cobalah tebak teka-teki ini,
Makin diisi makin ringan.
“Ah! Mudah sekali, Naga Besukih! Jawabannya adalah Balon!” Manik Angkeran berjoged kegirangan.
Keberadaan dan kemunculan teks tebak-tebakan ini sangat terbuka dan dapat dikontekstualkan dengan kondisi kekinian. Sehingga dapat dinikmati oleh banyak kalangan.
Atau pada cerita Memorat Cisanggarung yang ditulis oleh Amran Halim. Penulis mengadaptasi Cerita Rakyat Tepian Sungai Cisanggarung, yang dikontekstualkan dengan realitas kekinian. Pada ceritanya, memainkan alur maju dan alur mundur.
“Hati-hati, nanti jatuh lagi!” Sanjaya masih merasa bersalah atas kelengahannya tadi. Liong terjatuh karna tidak dipapahnya.
Tak lama mereka telah sampai di sungai. Liong tak ragu menceburkan diri ke sungai.
“Kak, sekarang banyak ikannya,” melambaikan tangan. Memanggil Sanjaya yang masih berdiri di tanggul. Liong menyelam. Benam.
“Liong, jangan terlalu tengah. Bahaya!” Liong tak menyahut. Sanjaya mulai resah. Turun ke sungai. Menghampiri Liong yang sedang menyelam. Benam. Hilang.
Matanya kembali lembab. Isaknya makin dalam. Ternyata hari itu, adalah hari terakhir ia bersama tawa, tangis dan tingkah adiknya yang menghidupkan hari. Ia kembali ditusuki penyesalan.
Contoh lain pada cerita Pangeran yang Tersesat karya I Ratih. Pada ceritanya yang mengadaptasi cerita rakyat sekitar, asal usul nama Klaten. I Ratih membuat satu cerita yang dikontekstualkan pada realitas kekinian dalam segi bahasa.
Sang pangeran memandang berkeliling. Dia memutuskan untuk melangkah keluar dari taman itu. Baru satu langkah dari taman ….
Ckiittt!
“Awas, Paaakk!”
Tahu-tahu Pangeran Mlati terkapar lagi!
“Pak, Pak! Sadar, Pak! Ya ampun omigod! Bagaimana ini? Pak, sadar, Pak!”
Suara panik membuat Pangeran Mlati membuka mata. Dilihatnya seorang anak lelaki, memakai baju yang aneh. Baju anak itu beraneka warna. Lutut anak itu tidak tertutup kain jarik, lengan baju hanya sampai di atas siku, dan … astaga! Benda apa itu yang bertengger di kepalanya? Sang pangeran sangat penasaran.
Selain ketiga contoh yang saya tulis di atas, 14 naskah lainnya telah menempatkan subjek (tokoh) pada cerita sesuai dengan kontek yang dibangun pada cerita. Memang tidak semua tokoh dapat menentukan nilai-nilai subtansinya sendiri, melainkan masih menggunakan subjek yang terjebak pada konteks leluhurnya (berpegang teguh pada cerita rakyat sekitar).
Seperti Asal Mula Sungai Yahmet, yang ditulis oleh Sri Kurnawati dan Legenda Sungai Janiah yang ditulis oleh Sry Eka Handayani. Masih berpegang teguh pada konteks leluhurnya.
Subjek dapat berkembang sendiri. Dari 17 cerita terpilih, diharapkan memiliki otentisitas yang dibangun oleh penulisnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pemikirian yang penulis masukan pada subjek (tokoh) dalam ceritanya. Perlu juga diperhatikan, selain merevitalisasi subjek, ada pula konteks pembaca. Sehingga penulis diharapkan mampu membuat bahasa universal, bahasa yang mampu dinikmati oleh semua kalangan.
Semoga dengan adanya pendampingan, kita dapat membuat satu karya yang holistik, sesuai dengan apa yang ingin dicapai oleh negara Indonesia, mengenai karakter yang kuat dan tangguh. Supaya menjadi insan yang mandiri. Melalui Inkubator Dongeng Anak Indonesia ini kita dapat memberikan sumbang saran juga sambung spirit untuk masyarakat. Terutama untuk anak-anak Indonesia.
Semangat dan salam.