Oleh. Atep Kurnia*

 

Dari pengalaman masa kecil saya di kampung, dulu ketika hendak lebaran, biasanya banyak yang membobol atau mengeringkan kolam-kolam untuk memanen ikan (ngabedahkeun). Ikan yang sering dipelihara pada kolam-kolam itu adalah ikan mujair hitam, yang enak sekali bila dibuat menjadi dendeng, dipadukan dengan tumis kering dan nasi panas atau ketan bakar.

Tradisi memanen ikan menjelang lebaran ternyata punya jejak yang lama pula. Dalam tulisan “Dang Engkos Putra Camat” (Dongeng Enteng ti Pasantren, 1982: 73; 40 Dongeng Enteng ti Pasantren, 1998: 88) karya Rachmatullah Ading Affandie (RAF), saya mendapatkan gambarannya yang agak rinci. Mulanya, ia mengatakan, “Mun geus lilikuran biasana mah Ajengan ngabedahkeun keur kikintunan ka menak-menak. Kitu umumna ari lebaran teh kapan” (Bila sudah tanggal 21 hingga 29 [Ramadan] biasanya Kiai membobol kolam [yang ikannya] akan dikirimkan kepada para bangswan. Kan biasa demikian bila lebaran).

RAF membedakan jenis kiriman itu. Bila dari bangsa asing, bisanya Tionghoa disebut sebagai “panganter”, sementara dari sesama bangsa bumiputra tidak disebut begitu, hanya disebut “kikiriman” (“Mun kikiriman ti bangsa asing [ti Cina umumna mah] disebutna panganter, ari ti bangsa urang keneh mah teu umum disebut panganter. Kikiriman biasa bae”).

Yang termasuk kalangan bangsawan itu adalah wedana, camat, lurah, mantri klinik, juru tulis camat, juru tulis wedana, dan guru. Biasanya besaran “kikiriman” ditentukan oleh derajat kebangsawanannya, yaitu yang lebih bangsawan bisa jadi lebih banyak mendapatkan “kikiriman” (“Demi lobana kikiriman, gumantung kana ‘kamenakanana’. Hartina ka nu diangggap leuwih menak, nya meureun leuwih loba kikiriman teh”).

Tah mun keur nyanghareupan Lebaran kitu, tingalabrul santri-santri teh ngajingjing lauk nu dibungkus ku gebog cau. Ku upih malah lamun keur ka Juragan Camat atawa Wadana mah” (Nah bila menghadapi lebaran seperti begitu, santri-santri banyak yang menjinjing ikan dibungkus gedebok pisang. Bahkan ikannya dibungkus dengan pelepah daun enau bila akan dikirimkan kepada camat atau wedana). Demikian RAF memberi keterangan lebih lanjut ihwal “kikiriman” kepada bangsawan.

Contoh lainnya yang termasuk “kikiriman” dan ada kaitannya dengan kebangsawanan disajikan dalam Sipatahoenan edisi 24 November 1938. Di situ ada laporan dari Majalengka bertajuk “Dina Mangsana Lebaran”. Konon, beberapa hari sebelum Lebaran, para lurah dari daerah pelosok-pelosok sengaja datang ke Majalengka, seraya membawa banyak bawaan, seperti beras, domba, kayu bakar, dan lain-lain, untuk persembahan kepada bupati, yang nantinya setelah takbiran akan digunakan untuk kenduri makan (“Pisawatara-poweeun deui kana mangsana Lebaran, koewoe2 ti djaoehna ngahadja daratang ka Madjalengka, bari rebo koe babawaaan, kajaning beas, domba, soeloeh, enz; geusan sembahkeuneun ka Pagoesten, anoe engkena dina sabadana walilat dipake hadjat rioengan toeang”).

Barangkali inilah yang disebut oleh R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006: 243) sebagai “hajat lebaran”, yaitu “kikiriman ka tatangga at. ka babarayaan dina isuk-isuk poe Lebaran” (kiriman kepada tetangga atau kepada kerabat pada pagi hari lebaran) sebagai kebalikan dari “sidekah munggah” (Danadibrata, 2006: 636) yaitu “sidekah kikiriman ka tatangga piisukaneun bulan Puasa” (sedekah kiriman kepada tetangga sehari sebelum masuknya bulan Puasa).

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang