(Kisah Nyata dalam Menelisik Gerakan Literasi )
“Indahnya dunia tak dapat dinikmatinya”
“indah bagi orang suram bagi dia”
Kalimat dari sepotong bait lagu H. Rhoma Irama,itulah tengah dirasakan oleh mereka, walau tak ada kata menyesal tuk diucapkanya. Jauh dari sentuhan tangan tangan-lembut, jauh dari pelukan hangatnya malam, jauh dari kata-kata lembut sang Bunda. Mereka adalah Rama dan Eman.
Rama, berusia sepuluh tahun, ia sekarang tinggal bersama neneknya di sebuah desa bernama Nangasia, Dompu, NTB. Sejak usianya 2 tahun Rama ditinggal pergi oleh orang tuanya untuk bekerja di luar negeri menjadi TKI di Malaysia.
Kini Rama, sudah duduk di bangku kelas 3 SD. Sedikit terlihat dari tubuh polosnya tidak terawat, kancingan baju yang dikenakannya selalu atas bawah, rambut pendeknya yang berwarna kemerhan dibiarkan terurai begitu saja.
Ke sekolah, Ia selalu menenteng tas kecil yang sudah usang, di dalamnya berisikan satu buku tulis dan sebatang pensil sisa yang tidak bermata. Rama, selalu ceria saat bermain dengan teman temannya. Rama paling suka main kejar kejaran.
Orang tuanya rela meninggalkan Rama, di usia masih kanak-kanak untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya kelak. Bekerja di luar negeri dengan mengharap banyak rezeki yang didapat dan tetasan keringatnya dinikmati oleh kebanyakan orang melalui peningkatan devisa negara. Ironis, Seusia Rama belum layak dilepas dan dibiarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Rama belum tahu apa-apa, ia hanya mampu melihat apa yang ditatap, ia hanya mampu berucap apa yang didengar.
***
Pulang sekolah, Rama tidak langsung bermain seperti teman seuisianya, ia harus membantu neneknya yang bekerja menjemur ikan tetangga. itu yang dilakannya setiap hari.
Rama, terperangkap, Rama tidak bebas seperti teman-temannya. Rama punya pikiran sendiri dalam menjalani kehidupannya.
Orang tuanya sudah tiga tahun meninggalkannya, tak pernah ada kabar apalagi mengirim uang untuk biaya hidup Rama bersama neneknya. Rama tetap bertahan. Rama, Tetap kuat walau sedikit tidak terurus.
Berbeda dengan teman-temannya yang bercita-cita menjadi Polisi, menjadi guru, dan dokter. Rama berkeinginan untuk memelihara sapi bila sudah besar nanti. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam. pikiran polos bocah ingusan itu. Wallahualam.
Rama bersama neneknya, kini sedang mendulang pasir di pantai samudera Hindia, di istana gelombang laut Lakey. Rama, menjadikan sekolah untuk mencari kawan dan laut adalah kehidupanya, tempat ia belajar dan mungkin sebagai tempat mencurahkan segala keinginannya.
***
Sedangkan Eman, berusia 11 tahun. ia boleh disebut sebagai anak alam pada sebuah desa bernama Mansapa di Kabupaten Nunukan. Kesehariannya ia hidup selalu mengembara dari tempat satu ke tempat lainnya dengan sebatang kara.
Sejak kecil ia tidak pernah tahu siapa yang menjadi orang tuanya. Eman hidup seorang diri tanpa ada yang peduli dengan keberadaannya. Pakaian hanya seadanya saja, ia selalu mengenakan baju terbaiknya satu-satunya bertulisakan garuda di dadaku. celana merah hatinya terlihat koyak di bagian pantat. Eman, terus berjalan dan berjalan dengan luka yang bernanah di kakinya, siapa peduli? Entahlah.
Di usianya kini, seharusnya ia bersekolah dan sudah kelas 4 SD, sebagaimana anak seusianya. Eman tak memiliki teman untuk mencurahkan segala perasaannya, ia mampu memaknai apa yang menjadi keinginan alam sebagai sahabat hari-harinya. ia tidak pernah mengeluh tentang lapar, dingin, panas, ngantuk, capai, sebagaimana anak lain mengeluh pada orang tuanya.
Menurut cerita ke cerita, Eman dilahirkan oleh sorang perempuan yang tidak diketahui siapa laki-laki sebagai ayah bocah itu. Saat ini, ibunya Eman tengah bekerja sebagai TKW, sejak Eman dilahirkan pada 11 tahun silam.
Rama dan Eman, hampir senasib dan sepenanggungan. mereka terlahir dari rahim yang banyak dijuluki sebagai Sang Pahlawan Devisa. Yah… orang tua mereka secara tidak langsung ikut memberikan sumbangan untuk pertumbuhan devisa yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara.
Diakhir pengembaraanya Eman terdampar di Mansapa, sebuah taman baca di Nunukan. di sini ia belajar untuk lebih mengenal dunia.
Di Taman baca ini, ia diajak untuk mengenal angka, huruf dan simbol simbol.
Namun hal itu tak lama dinikmati oleh Eman. Si Bocah petualang ini tewas tenggelam oleh gemuruhnya ombak di Mansapa.
Saat itu Eman, mencari nafkah untuk dirinya sebagai pencuci tali pengikat rumput laut. Beberapa saat ia bekerja, tak ada yang tahu keberadaannya, teman sepekerjanya menganggap Eman sedang buang air. Namun malang nasibnya. Eman terlihat sujud tersungkur di pinggir pantai. Saat di angkat oleh penolongnya ia masih bernapas dalam kondisi lemas lalu dipapah dibawa ke puskesmas terdekat, di tengah perjalanan Eman sudah tidak dirasa denyut nadinya dan akhirnya Eman menghebuskan napas terakhirnya di depan Taman Baca yang ia kelolah.
Dan kini…
kita sedang menikmati Menu Devisa yang sedang disuguhkan oleh orang tua mereka. Kita sedang menyantap kemegahan dari tangisan-tangisan mereka. []