Oleh. Atep Kurnia*
Dua penganan manis yang kerap tersaji untuk takjil adalah kolek (kolak) dan candil. Namun, entah mulai kapan menikmati kolek dan candil ini menjadi tradisi sebagai makanan pembuka puasa Ramadan di kalangan orang Sunda. Tapi, yang pasti, gambarannya ada yang telah lama sekali.
Gambaran paling lama mengenai kolek saya temukan dalam kamus karya Jonathan Rigg, A Dictionary of Soenda Language of Java (1862: 226). Di dalamnya disebutkan bahwa kolek adalah “to boil Walu, or any fruit with sugar and so make an agreeable dish” (merebus labu atau buah-buahan lainnya dengan gula dan membuat penganan yang enak). Ini mengandung arti bagi orang Sunda, membuat kolak sudah dilakukan sejak lama, paling tidak hingga pertengahan abad ke-19 sudah menjadi tradisi.
Tentang buah-buahan yang dapat dijadikan kolak oleh orang Sunda dapat kita telusuri dari kamus-kamus Sunda. Di antaranya dari R.R. Hardjadibrata (Sundanese English Dictionary, 2003: 436) yang menyebutkan bahwa kolak adalah penganan manis yang dimasak dengan pisang, labu, talas, dengan santan dan gula (“sweet delicacy of cooked banana/pumpkin/taro etc. in coconut milk with
sugar”).
Selain pisang, labu, talas, bahannya menurut R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006) adalah singkong dan kacang (“bukur kolek aya sampeu, waluh, kacang, jll”, 2006: 110), kolang-kaling (“cangkaléng didaharna dikolek at. jadi bukur sirop”, 2006: 127), pepaya mentah (“gedang atah sok dikolek, dikalua dijieun tangkuéh at. dikukur dipaké nyampuran rujak”, 2006: 216), bahkan ada durian yang dibuatkan kolak bersama dengan ketan atau wajik ketan diberi durian dan disebut sebagai doblang (“kolek kadu campur kctan, wajit ketan dikaduan”, 2006: 172).
Dalam berita-berita lama pun, saya mendapatkan konfirmasi bahwa kolek sudah dijadikan sebagai santapan pembuka puasa. Dalam rubrik “Panganggoeran” (Sipatahoenan, 22 September 1941) berjudul “Poeasa”, Entjep sang penjaga rubrik menulis, “Aja noe ngamimitian powe ieu, aja noe isoek poeasa teh. Koe kitoe, koe kieu oge, rek ti ajeuna rek ti isoek, keur Entjep mah saroea bae njanghareupan saboelan noe beda ti biasa. Lain ngan beda oesoemna dahar bae, teu meunang katingali koe Sang Soerja, lain ngan sok sarakah hajang pepek batoer sangoe djeung amis-amis bae, kolek mah kolek sababaraha roepa kolek, korma djeung sarikaja enz., lain ngan kitoe bae, tapi aja anehna saboelan Poeasa mah geura, pangpangna pasosore, naaa…. aja sono kitoe ka … lalaj! Ari kangen ka … mariem, kawas euweuh deui sora ngeunah leuwih ti kitoe”.
Artinya, ada yang puasa hari ini, ada yang mulai besok. Bagaimanapun, mau hari ini atau esok, buat Entjep sama saja menghadapi satu bulan yang beda dari yang biasa. Bukan hanya beda saat makan saja, tidak boleh terlihat oleh matahari, bukan hanya kerap serakah maunya lauk pauk lengkap dengan penganan manis belaka, seperti kolak, berbagai macam kolak, kurma dan sarikaya dan lain-lain, bukan hanya itu saja, melainkan anehnya satu bulan Puasa itu, kita terutama sore hari … akan merasa rindu kepada … kelelawar! Kita merasa rindu kepada … meriam, seperti tiada lagi suara yang lebih merdu dari pada itu”.
Demikian pula yang saya temukan pada cerita bersambung “Djodo Kaselang” karya ATS dalam Sipatahoenan edisi 17 November 1941. Di situ ada gambaran kolek sebagai santapan buka. Demikianlah ATS menggambarkannya, “Ke, Toj, boeka teh bareng djeung mama, ambeh ngarioeng sarerea,” tjek indoeongna noe harita keur mindahkeun kolek tjaoe ka tengah imah” (“Sebentar, Toy, kita berbuka bersama dengan ayah, supaya berkumpul bersama,” kata ibunya yang saat itu sedang memindahkan kolak pisang ke ruang tengah).
Bagaimana dengan candil? Saya bahkan menemukan lemanya dalam Ensiklopedi Sunda (2000: 143-144) suntingan Ajip Rosidi. Penulis lema memberi pengertian candil sebagai “sejenis penganan berkuah, bahan pokoknya terbuat dari tepung beras, tepung ketan, atau ubi jalar.”
Selanjutnya diterangkan bagaimana cara membuatnya, berdasarkan bahan pembuatnya. Konon, “jika bahannya terbuat dari tepung beras harus dicampur dengan tepung kanji. Tepung diberi air secukupnya, agar dapat dibentuk seperti kelereng. Dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah terapung
ke permukaan, diangkat dan ditiriskan. Kemudian menggodog gula merah dan adonan tadi dimasukkan ke dalamnya, dengan dibubuhi paneli atau pandan.”
Sementara bila bahannya ubi jalar, maka “terlebih dahulu ubi direbus, setelah masak dikupas kulitnya lalu dilumatkan. Ubi yang terlalu halus dicampur tepung kanji dan sedikit air. Bentuk candil ubi jalar lonjong dan biasa disebut biji salak. Memasaknya dengan memasukkannya ke dalam air mendidih hingga terapung ke permukaan, sebagai tanda adonan itu telah matang. Selanjutnya ditiriskan, dimasukkan ke dalam godogan gula merah.”
Menurut penulis lema, saat dihidangkan candil disiram dengan santan kental, sehingga tampak putih diselingi bulatan atau lonjong. Candil, katanya, “lazimnya dimakan sebagai pengantar berbuka puasa (tajil), walaupun kini banyak juga dijual di pasar-pasar atau dijajakan dengan gerobak kecil yang didorong pedagangnya.”
Sama seperti kolek, dalam pustaka Sunda, saya juga mendapatkan gambarannya. Dalam Dongeng Enteng ti Pasantren (1959) atau 40 Dongeng Enteng ti Pasantren (1998: 96) karya Rachmatullah Ading Affandie ada ungkapan begini, “Geura eta aden”, cek ibu ajengan, “Candil, cing raosan. Beunang uchtuka (dulur anjeun; maksudna Nyi Halimah) ti asar mula ngeprek. Napsu, nyieun candil mani sapanci” (“Ayolah Raden,” Kata istri kiai, “Cicipi candil bikinan Ukhtuka [Saudarimu, Maksudnya Nyi Halimah] sejak tadi asar. Ia bernafsu, membuat candil hingga satu panci).
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang