Duta-Duta Rumpaka

Pada tahun 2016, ketika Sabak Percisa menyelenggarkan program West Java Leader’s Reading Challenge, saya melibatkan Wanti Susilawati sebagai perintis dan Indra Komara bertanggung jawab dalam wilayah audiovisual. Dalam rentang waktu 2016 – 2017, Wanti dan Indra diasah kemampuannya dalam karya tulis dan audiovisual. Indra Komara sebenarnya sering mengikuti kegiatan Pers Cilik Cisalak sejak 2013, ia dipercaya terlebih dahulu yang ditugaskan sebagai divisi dokumentasi.

Wanti dan Indra dilibatkan dalam kepengurusan Rumpaka Percisa juga. Dalam kepengurusan Rumpaka Percisa, Wanti sebagai sekretaris dan Indra tetap bertanggung jawab dalam wilayah audiovisual. Indra menjadi perwakilan Rumpaka Percisa dalam Magang Literasi ke Tanah Ombak, Padang, Sumatera Barat.

Diskusi dengan para barista hampir terjadi beberapa bulan setelah saya menyelesaikan pengeditan buku, mulai Desember 2016 – April 2017. Mereka menunjukkan ketertarikan terhadap buku, berkarya tulis, dan berniat menerbitkan karya-karyanya. Saya tanggapi dengan serius keinginan mereka yang kemudian dijalin dengan persahabatan yang dipintal tali literasi.

Ujang, Agung Kustriadi, Gege Maulana, dan Inggri Dwi Rahesi adalah keempat pemuda-pemudi Tasikmalaya yang kemudian saya benturkan di Perpustakaan Kemdikbud dalam acara Sarasehan Gerakan Literasi Sekolah, Juni 2017. Mereka merasa berada pada dimensi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rata-rata pendidikan terakhir mereka, yaitu lulusan SMA. Mereka dijadikan sebuah kelompok musikalisasi puisi; Rumpaka Percisa feat Baroedak Tangkal Kopi.

Gravitasi literasi yang terjadi di kedai Tangkal Kopi tidak berhenti sampai di sana. Percakapan sederhana antara saya dengan dua pemuda di atas meja kecil kedai Tangkal Kopi suatu malam, pada bulan Mei 2017, mengundang gagasan berupa kolaborasi yang disepakati saya dengan Firman Maulana (Ochim). Melanjutkan kemerdekaan tidak melulu dimulai dari titik ibu kota, pulau paling timur, atau barat. Mewujudkan harapan-harapan para pendiri bangsa dapat dilakukan mulai dari tanah kelahiran. Diawali dari pijakan pertama anak-anak muda yang kepekaannya terasah. Mereka dapat memberikan kontribusinya dengan sukarela terhadap bangsa dan negara.

Seiring perjalanan dalam memprosesi karya kolaborasi yang digagas saya, nama Cesar Akbar muncul yang kemudian ditugasi sebagai penata musik. Saya, Firman, dan Akbar menjadi tiga serangkai penggarapan sebuah karya multiliterasi; teks, audiovisual, dan musik.

Dari karya kolaborasi ini, energinya memantul ke para pegiat komunitas lainnya. Semacam kunang-kunang yang memberi tanda kedap-kedip ketika memanggil kawan-kawannya. Begitu juga dengan yang terjadi antara anak-anak muda Tasikmalaya dalam mewujudkan karya kolaborasi berikutnya. Meski tidak terlihat, tetapi terasa kuat gelombangnya ketika mereka saling bahu-membahu dengan kesadaran tinggi. Mereka sadar bahwa dengan udunan tenaga, pemikiran, materi, semangat, dan dukungan dapat mendorong suatu kekuatan yang tidak terduga.

Sebuah persembahan dari tiga sudut pandang anak muda yang mengolaborasikan teks, musik, dan audiovisual tentang Tasikmalaya dari segi sosial, geografi, budaya, seni, budaya, gerakan, ekonomi, dan pendidikan.

Mereka berusaha menerjemahkan tanah kelahiran dalam karya multiliterasi sebagai jalan mencintai tanah air. “Sampurasun” – Dari Tasikmalaya untuk Indonesia adalah pengamalan ajaran dalam bersuci untuk membasuh bagian-bagian tubuh sebanyak tiga kali (relijius). Sedang kata tersebut berasal dari “Sampurna Ning Ingsun” dengan makna ‘Sempurnakan Diri Anda’ adalah sebuah nasihat dalam kehidupan sehari-hari (sosial) untuk saling menyempurnakan. Sumber lain mengartikannya sebagai permohonan maaf sebagai laku orang-orang Sunda yang terkenal halus dan penuh kasih sayang. Budi luhur dalam tatakrama ini menggambarkan sebuah bangsa yang saling membebaskan diri dari kebencian; saling memaafkan.

Akhir-akhir ini, kehidupan sosial bangsa Indonesia berada pada atmosfer yang pecah-pecah. Sangat berbahaya jika dampak ultraviolet pihak ketiga, berniat menyelusup ke dalam keriuhan isu yang menyebabkan pada keretakan. Bangsa yang terkenal dengan heterogenitas ini harus bertahan dari gempuran, baik dari dalam dan luar pagar halaman Indonesia.

Oleh sebab itu, karya multiliterasi ini adalah ilustrasi keberagaman bangsa Indonesia dari salah satu sudut tanah airnya, yaitu Tasikmalaya. Sebuah daerah yang dikelilingi pegunungan yang masyarakatnya masih cukup relijius, memiliki sikap sosial tinggi, merawat tradisi, ulet, sabar, silih asah, silih asih, silih asuh, dalam perbedaan yang diciptakan Tuhan Yang Mahasemesta.

Komunitas musik, sketsa, skateboard, hip-hop, film, pegiat literasi, berada pada satu frekuensi dalam mewujudkan acara peluncuran karya multiliterasi; Sampurasun. Gelombang kegelisahan yang sama menyamakan tinggi-rendah kekuatan sebuah gerakan dalam satu bingkai film dan video klip. Saya beserta Firman Maulana dan Cesar Akbar menjadi titik gelombang yang kemudian dilanjutkan oleh gelombang komunitas-komunitas lain hingga acara udunan ini terealisasi.

Saya cukup terkejut, ternyata banyak komunitas yang bersedia terlibat dalam satu frekuensi dengan karya multiliterasi “Sampurasun”. Mereka membagi tugas demi keberhasilan acara dan penggarapan karyanya. Wildan Lesamana dan Wak Nawy adalah kedua sosok penting di balik layar acara. Mereka berkordinasi dengan seluruh pihak yang didatangi untuk ikut urunan dalam acara. Sebuah karya gotong royong Sukapura Project, Rumpaka Percisa, URGTSK, Depot Kamera, dan Tipico Story, akhirnya didukung Route 66, CV Bang Zenk, Baso Gejrot, Pangkas Rambut Sirdon, Muslim Youth, Grip Record, Smith, Warung Ketan Susu, Diamond Victory, Provid, Pop Scenes, Bloods, Saha Numoto, Eight Wardrobe, Quick Corp, Tangkal Kopi, RL Production, Radar TV Tasikmalaya, Taravty Project, dan lainnya.

Paska acara, saya sepakat untuk menindaklanjuti karyanya untuk dijadikan pustaka nasional yang akan diurus oleh Perpustakaan Nasional. Diputar dalam perhelatan Hari Aksara Internasional, Kuningan – Jawa Barat, 2017. Selain itu, penggandaan DVD karya multiliterasi ini akan disebarluaskan untuk donasi dalam penggarapan sebuah kompilasi musik yang diisi oleh 6 band Tasikmalaya. Lirik-liriknya memiliki jembatan-jembatan yang dijadikan satu cerita. Karya multiliterasi selanjutnya ini akan diluncurkan dalam acara bertema “Rampes”. Sebuah acara tindak lanjut dari “Sampurasun” sehingga acara tidak berakhir dalam satu tema. Akan tetapi, sesuai kesepakan antarkomunitas ini dijadikan alasan untuk terus berpegangan tangan dalam menggerakkan dan menyebarluaskan virus literasi melalui karya.

*) Bagian #4 klik di sini