KEMARIN, Selasa (10 Oktober 2017), saya mengisi acara di rumah sendiri, (Kriminologi) FISIP – UI bersama dosen Kriminologi, Mas Ferdinand T Andi Lolo, dan Mas Wuryono Prakoso dari Komisi Pemberantasan Korupsi (saya juga sempat berdiskusi tatap muka dengan Mas Agung dari KPK) dan Mbak Meutia Ganie (dosen Sosiologi FISIP-UI).
Beberapa poin pengamatan dan studi kepustakaan yang coba saya bagikan, antara lain:
– Bolos kerja atau meninggalkan ruangan, urung kerja sebelum jam aktif kerja selesai, menjadi persoalan yang kian dianggap sepele, padahal memiliki konsekuensi yang sangat berat. Di negara-negara berkembang, fenomena ini nyaris menjelma sebagai budaya yang diakui atau tidak, masih sangat mengakar.
Tak cuma di Indonesia, rendahnya kedisiplinan oknum PNS ataupun karyawan swasta di Mesir, mendapat perhatian serius dari Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta). Menurut lembaga ini, Islam menegaskan pekerjaan adalah salah satu bentuk amanat yang wajib ditunaikan si penanggungjawab. Jika amanat yang dimaksud itu tak ditunaikan, ia dinyatakan telah berkhianat.
Bolos kerja dengan sengaja dan tanpa alasan yang kuat adalah bentuk pengkhianatan terhadap pekerjaan itu. Termasuk beranjak meninggalkan pekerjaan sebelum jadwal resmi yang ditetapkan.
Sejumlah lembaga fatwa resmi negara-negara Timur Tengah sepakat dan mengadopsi fatwa yang dikeluarkan Dar al-Ifta. Di antaranya, Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab, Lembaga Fatwa Kuwait, dan Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi. Lembaga Fatwa Arab Saudi menambahkan, tidak diperbolehkan pula memanipulasi data kehadiran. ((Ayo ngaku, siapa yang masih suka titip absen?))
MARI sedikit bersimulasi, kira-kira berapa persen PNS di negeri ini yang “korupsi waktu” 1 jam setiap hari. Telat datang, izin dengan alasan ini-itu, memperpanjang waktu istirahat, lebih sibuk main games atau buka internet pada jam kerja daripada melayani publik, memperpanjang waktu rehat, dll.?
Ada peserta yang menjawab, “Ya, 25%!”
Okelah, kita simulasi — meski angka ini mungkin BERLEBIHAN. PNS sekarang kan makin disiplin.
Jumlah PNS 2016 dengan rasio 1,77 PNS /100 warga, mencapai 4,5 juta orang. Belanja pegawai di APBN 33,8% atau setara dengan Rp. 707 Triliun.
Rp. 707 T/4.500.000 = 157.111.111/PNS/th = Rp. 13.092.592 per bulan/ 22 hari kerja= Rp 595.11,845/8 jam = (nilai belanja pegawai perjam ): Rp. 74.389,7.
Kalau setiap hari ada 1000.000 PNS korupsi waktu 1 jam, berarti korupsinya: Rp. 74.389,7306 x 1 jt = 74.389.730. 639, 73 x 22 hari x 12 bln = 19. 638. 888. 888.888/th kerugian negara.
Artinya, setiap tahun ada sekitar Rp 19,64 T kerugian negara karena korupsi waktu.
Belum terhitung “efek dominonya”, kerugian warga yang terlambat dilayani, yang membuat mereka juga telat masuk kantor, dan akhirnya melakukan korupsi waktu dari tempatnya bekerja.
Sayang, korupsi waktu tidak termasuk dalam satu dari 7 jenis korupsi menurut KPK (KORUPSI YG TERKAIT DENGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA; SUAP-MENYUAP; PENGGELAPAN DALAM JABATAN; PERBUATAN PEMERASAN; PERBUATAN CURANG; BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN; GRATIFIKASI).
Siapa bilang TIME bukan MONEY dan tidak bisa dikorupsi?
Terbayang, jika semua izin dan keterlambatan sekian menit pun dihitung sebagai cuti setengah hari, sebagaimana yang diterapkan di sejumlah perusahaan di Jepang, berapa uang negara/perusahaan ya, yang bisa diselamatkan? Apalagi, kalau cuti yang berlebih itu dikonversi ke dalam nilai “penghasilan”/ “belanja pegawai”, dan kemudian penghasilan pegawai tersebut dipotong dengan nilai rupiah dari jumlah cuti yang diambilnya?
Dan, mungkin sahabat-sahabat #relawanliterasi bisa membantu negeri ini untuk mensosialisasikan sedari dini kepada pemustaka-pemustaka cilik, yang kerap hadir di TBM tentang pentingnya “waktu” dan “tepat waktu”. Karena membaca dan memaknai waktu adalah bagian dari keliterasian, yang mengabadikan masa lalu, membaca masa kini dan merumuskan masa depan.
Tabik.**