Semenjak duduk bangku kuliah kini ketemunya orang-orang yang membaca. Ada yang membaca buku cerpen, buku agama, buku sastra, buku ilmiah dsb. Suasana seperti itu sebenarnya saya kurang menyukainya. Apalagi ketika ada seorang yang menyukai sastra namun dia orangnya penuh lebay dan menggunakannya untuk menggombali perempuan. Terkadang para pembaca buku itu sombong dan tidak mau menyapa. Itu semakin membuat saya menjadi ilfeel pada pembaca buku.
“Bro, sebenarnya kamu membaca tujuannya apa?” tanyaku pada seorang teman kelas.
“Ya biar dapat pengetahuan”. Jawabnya singkat.
Semua orang pasti tahu. Itu jawaban yang lumrah dan biasa. Apakah tidak ada jawaban lain selain mendapatkan pengetahuan. Sampai saat ini saya belum bisa menyadari apa penting membaca yang sebenarnya. Yang saya tahu adalah membaca baru untuk mendapatkan nilai saat ujian.
Ketika itu saya bertemu dengan salah satu dosen di kampus saya. Saya biasa memanggilnya Pak Guru. Dia mengajak saya untuk bergabung menjadi relawan di komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir. Singkat cerita setelah saya masuk di RKWK saya melihat banyak sekali teman-teman saya membaca dan menulis. Saya merasa jadi orang minoritas. Hanya pada diriku yang tidak suka membaca dan menulis.
“Mas, coba baca buku sekali-kali!”. Ajak seorang relawan padaku.
“Mba, saya kan tidak suka membaca buku apalagi menulis. Jadi Tolong JANGAN PAKSA AKU UNTUK MEMBACA”. Jawabku secara tegas.
Amarahku bangkit. Kenapa saya harus diajak membaca. Sudah tahu saya tidak suka membaca. Menyendiri dan merenung di pojok ruang belajar. Sebenarnya apa yang sedang saya cari?. Apakah cuma kesenangan saja yang saya cari?
Ku ambil secarik kertas dan bulpoin yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Kegelisahan saya tuangkan dalam bentuk menulis puisi. Entah apa yang aku tulis dengan mengeluarkan semua isi hati.
Tak berselang lama terlihat buku dalam posisi membuka. Ku baca untuk menghilangkan rasa jenuh saja. Hitung-hitung untuk membuang keisengan. Saya membaca perlahan. Namun hatiku seperti merasa bersalah. Buku tersebut isinya luar biasa yang berbunyi seperti sebagai berikut:
Enstain tidak pernah lulus SMP dan SMA. Dia selalu mengikuti pelajaran yang hanya dia suka saja. Kalau dia tidak suka pelajaran tersebut dia selalu pergi. Namun dia selalu membaca apa yang disukai dalam pengetahuannya. Saat mendaftar perguruan tinggi dia ditolak karena tidak lulus SMA. Namun dia berani untuk menantang untuk menguji pengetahuannya. Akhirnya dia dapat masuk perguruan tinggi tersebut.
Enstain sosok tokoh di dunia pengetahuan saja membaca. Apakah membaca sepnting itukah dalam dunia ini?. Dengan membaca bisa merubah dunia. Dan dengan membaca bisa menjadi sejarah baginya.
“Mas Khotib, ngalamun”. Dosenku mengagetkan aku tiba-tiba.
Saya hanya tersenyum.
“Pak Guru, saya kan sudah terlanjur bilang tidak suka membaca dan menulis. Apalagi saya sangat ilfeel dengan orang-orang membaca. Apakah saya tetap dengan komitmen seperti karena ucapanku yang dulu? Padahal saya baru menyadari akan penting membaca dan menulis?” saya mencoba berkonsultasi dengan Pak Guru.
Saya sudah terlalu percaya pada beliau tentang literasi.
“Begini, Mas. Membaca itu bukan hanya sebuah hobi. Tetapi itu sebuah kebutuhan. Kamu tidak harus meninggalkan seni kamu. Kamu tidak harus meninggalkan kegiatan kamu. Tetapi dengan membaca kamu akan mendapat nilai plus tersendiri. Dengan menulis itu akan membuat sejarah buat kamu. Kelak bahwa namamu ada di dalam sebuah buku menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga kamu mas” Jawaban Pak Guru panjang sangat menarik.
Hatiku sebenarnya ingin menangis. Saya merasa berdosa dulu sering menghina orang-orang yang sedang membaca. Sering memaki. Sering menjauhi. Ku inginkan dipertemukan dengan mereka. Ucap maaf padanya. Andaikan waktu bisa terulang, kuajak mereka bagian dari hidup saya.
Mulai dari hal ini saya menyadari pentingnya membaca. Membaca sudah menjadi kebutuhan. Bukan lagi paksaan dari siapapun. Hatiku mulai terbuka dengan membaca dan menulis. Hingga saat saya sudah mulai merasakan manfaat dari membaca. Dari karya ilmiah, sastra, dsb.
Menulis pun tidak lepas dari keseharian. Buku menjadi sejarah perjalanan hidup. Mengutip kata Pak Guru waktu itu “Tulislah apa yang kamu lakukan dan lakukan apa yang kamu tulis”.
Saat ini kucabut ucapanku “JANGAN PAKSA AKU MEMBACA!”**