Categories
Artikel

Kuda Putih: Obituari Umbu Landu Paranggi

Oleh Heri Maja Kelana

 

KUDA PUTIH

kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku

merasuki basabisik kantung peluh rahasia

diamdiam kupacu terus ini binatang cinta

dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku

 

Umbu Landu Paranggi yang memiliki nama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Waikabubak, Sumba Barat, NTT, 10 Agustus 1943, memandang kuda sebagi representasi tubuh. Kuda dihidupkan oleh gaya personifikasi sehingga menimbulkan efek semangat. Hal ini juga terlihat bagaimana isokronisme subjektif muncul dalam tiap larik puisi Kuda Putih.

“kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku” Larik pertama pada sajak Kuda Putih, terdapat pengulangan diksi sajak. Pengulangan ini tidak memiliki arti signifikan seperti pada diksi sayur-mayur. Namun, apabila disandingkan dengan kalimat sebelumnya akan memiliki arti yang kuat, bahwa “kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku” sesuatu yang dicintai (berharga) terus berbicara pada sajak.

Kemudian pada larik selanjutnya ”merasuki basabisik kantung peluh rahasia”, larik ini terdapat kemajemukan basa dengan bisik. Basa adalah zat kimia yang mengikat hidrogen, lawan dari asam. Sedangkan bisik adalah suara desis perlahan yang apabila disandingkan menjadi basabisik akan memiliki arti yang berlainan. Apabila menengok pada bahasa lokal, basa itu adalah bahasa. Penulis lebih melihat diksi basa dari bahasa lokal, sehingga kalau diartikan basabisik adalah bahasa suara yang mendesis perlahan. Larik yang utuh dapat diartikan menjadi bahasa yang mendesis perlahan masuk lewat embrio keringat pada sesuatu yang disembunyikan.

Larik ketiga pada puisi “Kuda Putih” terdapat pengulangan yaitu diamdiam. Diksi diam mempunyai arti tidak bersuara, tidak bergerak dan tidak berbuat. Namun, apabila diulang menjadi diamdiam akan mengandung arti mengendap-endap atau bergerak secara perlahan. Pada larik ”diamdiam kupacu terus ini binatang cinta”, diksi pacu mengandung arti benda tajam atau roda bergigi yang dipasang pada tumit sepatu (dipakai oleh penunggang kuda), untuk menggertak kuda supaya berlari kencang. Secara keseluruhan larik mengandung makna kerja, bahwa secara mengendap-endap akan kusuruh terus berlari binatang cinta ini (kuda).

Larik terakhir pada puisi “Kuda Putih” terdapat pengulangan diksi padang menjadi padangpadangku. Padang secara harfiah adalah tanah yang luas dan tidak memiliki pohon-pohon yang besar. Ketika diksi padang menjadi padangpadangku terkesan ingin menunjukkan bahwa lahan dalam diri aku lirik luas atau banyak.

“dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku” Larik terakhir kemudian dapat diartikan menggunakan cambuk tali impian dari lahan yang ada pada diri aku lirik. Apabila diartikan keseluruhan, puisi “Kuda Putih” bercerita tentang kecintaan aku lirik terhadap binatang kesayangannya, yaitu kuda yang kemudian menjadi inspirasi untuk puisi-puisinya. Untuk aku lirik sendiri, puisi serta kuda adalah darah pada tubuhnya. Puisi dan kuda adalah dua hal yang selalu dicintainya.

Puisi “Kuda Putih” secara eksplisit menceritakan aku lirik yang mencintai binatang kesayangannya, yaitu kuda. Namun, kuda yang diceritakan oleh aku lirik kemudian dikaitkan dengan sajak dan tubuh. Tubuh yang terdapat pada puisi ini merupakan subjek sekaligus objek. Begitu pula dengan sajak. Pada puisi ini tidak ada orang kedua atau ketiga.

Kuda merupakan energi aku lirik untuk sajak-sajaknya. Kuda dan sajak sama-sama memiliki persamaan yaitu menyimpan misteri, dalam bahasa aku lirik dikatakan dengan rahasia. Fenomena ini kemudian menjadi menarik kerena bersinggungan dengan tubuh. Kuda, sajak dan tubuh kemudian menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kuda menginspirasi aku lirik, sedangkan sajak adalah kuda yang terus berontak pada tubuh.

Lesapnya subjek dan objek pada puisi ini mengakibatkan misteri jarak antara benda di luar tubuh terhadap tubuh. Jarak ini menjadi samar, bisa dikatakan lebur karena otoritas yang berada di luar tubuh adalah visual yang sudah disistematiskan. Seperti ketika melihat pemandangan yang indah, atau melihat perempuan cantik, semua itu sudah diset dalam pikiran manusia yang sudah menerima masukan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Fenomena ini tidak dapat lepas dari wawasan aku lirik.

Secara garis besar puisi “Kuda Putih” menceritakan kecintaan aku lirik terhadap sesuatu yang dapat membangkitkan inspirasinya, dalam hal ini yaitu kuda putih. Kecintaan terhadap kuda sama dengan kecintaan terhadap puisi. Dua hal tersebut tidak dapat terpisahkan dari tubuh aku lirik.

Tubuh adalah potensi yang luar biasa. Tubuh juga bisa berada di titik realis dan di titik lain (imaji atau gaib). Dengan demikian, tubuh juga bisa dikatakan berada di ruang antara atau dengan kata lain ada potensi imaji dalam tubuh yang akan mengajak ke alam lain di luar realitas.

Inspirasi kuda adalah semangat karena kuda adalah binatang yang tangguh dan pekerja keras. Sedangkan puisi adalah buah intelektual dan padang-padangku adalah metafora dari tubuh.

Selamat Jalan Umbu

Di Jogja Umbu berproses dan tumbuh. Di Jogja pula Umbu banyak melahirkan karya-karya puisi serta banyak melahirkan penyair besar seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Iman Budhi Santosa lewat Persada Studi Klub (PSK). Umbu waktu itu menjadi redaktur puisi di Pelopor Yogya

Umbu yang tidak pernah habis energinya, mendedikasikan hidupnya untuk puisi, berpindah ke Tanah Dewata, Bali. Seperti di Jogja, ia kembali melahirkan banyak penyair hebat seperti Wayan Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Nur Wahida Idris, Muda Wijaya, dll. Bali Umbu menjadi redaktur puisi di Bali Post. Bali juga sebagai tempat persinggahan yang kedua dan terakhir.

Saya mendapat kabar dari seorang kawan di Bali, bahwa Umbu wafat pukul 03.55 Wita, di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur. Sosok Umbu telah pergi selama-lamanya, namun karya Umbu abadi. Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh Umbu terhadap sastra Indonesia akan selalu diingat. Umbu adalah sosok yang bersahaja, selamat jalan Maha Guru Umbu Landu Paranggi.

 

Leave a Reply