Terakhir Kupluk melihat dirinya sendiri. Orang lain menikmatinya. Sebenarnya Kupluk juga menikmatinya. Seharian Kupluk mencari kunang-kunang tapi ia tidak memperolehnya juga. Dengan sedikit putus asa Kupluk mengasingkan diri menuju sebuah sungai. Mula-mula ia mendekati sungai yang jernih itu. Wajah dan tubuhnya terlihat memantul di dalam air sungai. Ternyata Kupluk baru sadar, ada banyak kunang di sekujur tubuhnya. berwarna-warni dan berseri-seri. Tidak seperti dulu yang pernah ditemukannya. Kunang yang menyala putih, kali ini Kupluk di kelilingi kunang berwarna-warni.

Sebenarnya Kupluk sadar. Sungai adalah cermin dan kunang yang hinggap di tubuhnya bukanlah kunang biasa. Banyak misteri yang tersimpan pada setiap kunang-kunang itu. Ada kunang yang bercerita tentang seorang remaja. Ia hidup dengan masa lalu yang mengecewakan. Remaja perempuan berusia 15 tahun yang hilang masa keremajaannya. Ada pula kunang yang bercerita tentang kakek yang tidak pernah belajar bahkan mengenal aksara. Hidupnya hanyalah dengan sebuah nyanyian.
“Aku ingin pulang” Kata kakek tua sambil bernyanyi.

Kupluk yang gerah dengan kunang-kunang yang menyebalkan itu mencoba memahami persoalan setiap kunang. Kupluk lantas pergi dan menemui remaja perempuan itu.

“Bagaimana aku dapat membantumu, aku tidak memiliki apa-apa. Aku hanyalah seorang pria bodoh pemburu kunang.” Kupluk memelas.

“Nikahi Aku, biarkan Aku mendampingimu memburu kunang”

Mulanya Kupluk menghitung usianya. Usia Kupluk memang sudah sepantasnya menikah. Tapi hati kecilnya belum siap. Ia masih ingin mengembara mencari cahaya. Namun, ia tidak tega melihat perempuan yang sudah tidak berdaya ini. Di dalam pesantren diajarkan bahwa perempuan sangat dijunjung tinggi kehormatannya. Bahkan, Tuhan meletakkan surga di telapak kakinya. Keputusan yang akan diambil ini adalah hal yang rumit bagi Kupluk. Mula-mula Kupluk merundingkannya dengan hati kecilnya.

“Bagaimana nanti aku memberinya nafkah? Aku sendiri makan seadanya.” Pikir Kupluk.

“Apakah kau mau hidup denganku? Apakah kau mau tidak makan bersamaku?.”

“Maka nikmat manakah yang kamu dustakan” Kalimat keramat itu terdengar dari remaja perempuan bernama Anjani ini.

Kupluk baru memutuskan hal yang ia anggap rumit ini. Kupluk senang dan lega. Sedikit membantu beban orang lain.

Kupluk melanjutkan perjalanannya. Ia berusaha menemui Kakek tua. Ia ingin menemukan kunang lagi. Kupluk berpikir mengembara mencari kunang selalu mendapatkan keberkahan. Misteri kunang sekarang menjadi menyenangkan bagi Kupluk.

“Kupluk, apa kau senang mencari kunang seperti ini. Setiap pagi dan malam menangkap kunang yang terbang ke sana kemari.” Ucap Anjani.

Pada akhirnya Kupluk bertemu Kakek tua. Ia tengah duduk di tepian sungai. Kakek tua terlihat memandangi dirinya yang memantul di air sungai.

“Kek, kunang apa yang Kakek miliki. Hingga air sungai ini bisa memantulkan bayangan Kakek?” tanya Kupluk penasaran.

Sungai yang mengalir di depan Kupluk ini berwarna coklat. Hal inilah yang membuat bayangan Kupluk tidak terlihat. Berbeda dengan Kakek tua yang terlihat jelas bayangannya jernih memantul di air sungai.

“Kupluk”

“Iya Kek”

“Apa alasanmu mencari kunang?”

“Kupluk tidak mencari kunang Kek,”

“Kupluk!”

“Bayanganmu tidak akan memantul di air sungai ini”

“Kenapa Kek?”

“Kau hanyalah mencari kunang untuk dirimu sendiri”

“Kunangmu hanyalah untukmu, tanpa kau berikan cahayanya pada orang lain”

Kupluk menunduk diam. Sepi dan sunyi mengantarnya kembali menuju pesantrennya dulu. Malam itu gelap dan hening. Kupluk baru terbangun dari mimpinya.