Oleh ATIH ARDIANSYAH
Dunia hari ini dikejutkan oleh Revolusi Teknologi 4.0. Sebuah era di mana lansekap dunia berubah ke dalam industri digital. Digitalisasi telah membingkai paradigma kita dalam berkehidupan. Pakar manajemen perubahan, Rhenald Kasali lantas mempopulerkan fenomena ini sebagai era disrupsi, shifting atau pindah ke dunia digital. Fenomena tersebut menjadi perhatian kalangan akademik dan para pemangku kebijakan di bidang literasi termasuk para pegiatnya.
Literasi, baik sebagai istilah maupun gerakan, memang sedang menjadi primadona saat ini. Istilah literasi telah mewarnai dunia keseharian kita, dibincangkan melalui diskusi-diskusi, menjadi trending topic di media sosial, didistribusikan melalui pesan instan grup Whatsapp, bahkan turut mewarnai kebijakan di tataran pemerintahan.
Hari ini, di tingkat kementrian sampai ke dinas-dinas yang ada di provinsi dan kabupaten/kota, ramai-ramai mencurahkan perhatian pada gerakan literasi. Lapak-lapak buku gratis menjamur di berbagai kota, diskusi-diskusi, seminar-seminar sampai kawasan literasi dicanangkan. Angka-angka dari berbagai lembaga survey diketengahkan, divisi dan satuan tugas di bidang literasi di institusi pemerintahan dibentuk. Produk-produk dan kategorisasi literasi dicetuskan, mulai dari literasi keluarga, literasi baca tulis, literasi kewargaan, literasi finansial, literasi kebudayaan, literasi sekolah, literasi digital dan sebagainya.
Akan tetapi, meski berbagai program literasi telah dicanangkan, kita masih berkutat pada kurang meratanya sebaran buku. Firman Venayaksa, ketua umum Forum TBM, bahkan pernah mengatakan bahwa minat baca masyarakat kita tergolong tidak ketinggalan, hanya dalam sebaran dan distribusi buku saja yang masih cukup kesulitan. Para pegiat literasi selayaknya bersyukur atas program Free Cargo Literacy, yaitu kirim buku gratis ke berbagai daerah setiap tanggal tujuh belas saban bulannya. Kurang meratanya sebaran dan akses terhadap buku ini melahirkan konsekwensi logis, bahwa pegiat literasi masih berkutat pada pola literasi lama (old literacy). Literasi lama berpusar pada membaca, menulis dan berhitung.
Literasi Baru (New Literacy) dan Industri Kreatif
Literasi lama (old literacy) melahirkan gerakan-gerakan yang sifatnya kolosal nan heroik. Membuka lapak buku di pusat-pusat keramaian, menggendong buku di dalam tas, membawa buku masuk ke pelosok-pelosok kampung dan sebagainya, merupakan ciri utamanya. Semua berorientasi pada bagaimana mendekatkan buku kepada masyarakat, membuat sebaran buku menjadi merata. Sehingga kalau gerakan seperti ini dikaitkan dengan program literasi untuk kesejahteraan, sungguh masih jauh panggang dari api. Literasi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan memerlukan pendekatan baru yang bernama literasi baru (new literacy).
Literasi baru (new literacy) merupakan senjata utama dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Literasi baru meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi SDM. Tentu saja, sebagai sebuah pengembangan, literasi baru tidak dapat dilepaskan dari literasi lama. Sehingga, literasi baru masih mengadopsi tiga pilar literasi lama yakni membaca, menulis dan mengarsipkan.
Dalam konteks literasi baru, keterampilan yang harus dilatihkan dan dikuasai oleh masyarakat bukan hanya membaca dan menulis huruf-huruf, atau bagi pustakawan atau arsiparis bukan hanya tentang mengarsipkan bahan pustaka, akan tetapi kegiatannya terfokus pada bagaimana memperlakukan data. Itu tentang membaca data, menulis data dan mengarsipkan data. Dan data yang perlu dipahami bukan selalu bersifat kuantitatif melainkan juga bersifat kualitatif.
Informasi, dalam era digital, juga disebut data. Maka di era digital seperti ini, kecakapan membaca informasi dan mempergunakannya untuk keperluan dalam kehidupan apalagi digunakan untuk peningkatan taraf hidup, disebut sebagai kecakapan literasi data. Saat ini, di media sosial, ada banyak sekali data. Dan masyarakat yang tidak cakap dalam literasi data akan mudah terseret oleh data-data hoaks. Data-data hoaks membuat emosi terkuras dengan sia-sia dan menjadikan hidup tidak produktif.
Hal penting kedua dalam literasi baru (new literacy) adalah literasi teknologi. Kita tidak bisa lepas dari teknologi. Kehidupan kita benar-benar telah hijrah ke dunia digital. Hampir semua orang sudah mengakses internet. Sebanyak 132,7 juta orang Indonesia merupakan pengakses internet menurut survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jumlah tersebut meningkat pada 2017, yakni sebesar 143,26 juta (dengan kategori usia 13-18 tahun sebanyak 16,68 persen dan usia 13-18 tahun sebesar 49,52 persen, berdasarkan data Kompas 2018). Literasi teknologi merupakan lanjutan dari literasi digital yang titiktekannya adalah bagaimana mengenali media siber dan media sosial. Perlu benar memahami literasi teknologi agar semata-mata tidak hanya terjebak pada hoaks, fake news, cyberbullying dan SARA, melainkan bisa mengoptimalkan teknologi untuk meningkatkan kualitas (peng) hidup (an).
Ketiga, literasi SDM. Ini menjadi muara dari literasi data dan teknologi. Mulusnya proses literasi data dan literasi teknologi akan melahirkan generasi yang literat. Generasi literat yang menguasai data dan teknologi tentu saja berimplikasi pada daya cipta, daya berjejaring. Sehingga hasil akhirnya, dengan menguasai tiga pilar literasi baru (new literacy) ini, masyarakat bisa menciptakan lapangan kerja berbasis teknologi bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Di masa depan, masyarakat kita tidak lagi gamang dan ribut soal lapangan kerja. Karena penguasaan akan data dan teknologi akan melahirkan SDM unggul. Dan SDM unggul, secara kumulatif, akan melahirkan kesejahteraan secara komunal.*
*) Tulisan ini pernah dimuat di website DPK Banten dengan judul “Era Literasi Baru”