Ketika Bordieu merumuskan teori kapital budaya (cultural capital) pada tahun 1986, sesungguhnya dia ingin menunjukkan betapa sistem pendidikan itu mereproduksi kesenjangan sosial. Ia menggagas bahwa pengetahuan yang mewujud dalam gaya bicara, gestur seseorang, juga buah pikir dalam bentuk buku, musik, karya seni, serta gelar akademik, cenderung dimiliki dan identik dengan kalangan yang terdidik saja. Seseorang perlu terlibat dalam kegiatan pendidikan secara berkesinambungan (habitus, dalam istilah Bordieu) sehingga memiliki kapital budaya itu dan berperilaku seperti kaum terdidik. Proses konversi kapital budaya itu menjadi keuntungan ekonomis dan sosial (dalam bentuk peningkatan taraf hidup, pendapatan dan status sosial) tentu membutuhkan waktu.
Lima belas tahun setelah Bordieu wafat, ternyata masih ada saja kalangan orang yang menganggap buku – yang menurut Bordieu adalah kapital budaya yang terobjektifikasi – tak ubahnya sebagai seonggok kertas yang menghasilkan nilai ekonomis secara instan. Orang-orang ini menilai potensi ekonomi buku pada materialnya – bukan pada kontennya — sehingga mereka menimbang dan menjualnya demi seperiuk nasi, bahkan menjadikannya suluh (pengganti kayu bakar) untuk memantik api. Kita pun terkadang mendengar kisah bagaimana di ruang publik, buku-buku pun diperlakukan sama seperti jajanan kaki-lima; mereka dianggap mencemari keindahan taman kota dan harus ‘membeli’ perlindungan preman yang tak cuma-cuma.
Kata Catherine Prendergast (2003), kelompok orang seperti ini memang ada. Mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak menjadikan buku dan literasi sebagai kapital budaya. Warga keturunan Afrika-Amerika, misalnya, memiliki budaya yang kaya dengan tradisi lisan, dongeng, dan musik. Buku dan literasi adalah properti kalangan berkulit putih. “Properti,” karena dua hal ini menandakan status sosial, gengsi, bahkan kesuksesan ekonomi. Buku adalah “properti” bagi kaum terdidik, karena penghargaan bagi seseorang diletakkan tak hanya pada gelar dan prestasi akademik, namun juga berapa banyak buku telah dibaca, ditulis, atau dikoleksi. Sistem pendidikan melanggengkan kesenjangan ini. Penandanya mudah ditengarai. Karena harga buku mahal, kalangan terdidik terpapar budaya membaca rekreatif melalui buku-buku cerita yang menyenangkan. Di sisi lain, kalangan menengah ke bawah hanya mengakses buku-buku pelajaran yang membosankan.
Di era gerakan literasi ini, kita menyaksikan bagaimana buku masih berpotensi menjadi properti. Banyak perpustakaan sekolah negeri memajang buku-buku dengan bangga; sebagian bahkan masih terbungkus plastik atau tersimpan di lemari kaca. Hal ini sangat dipahami mengingat jumlah buku – yang dibaca, ditulis, dan dikoleksi – menjadi kriteria untuk memenangkan lomba-lomba. Lalu, kita masih sering ragu mendekatkan buku, terutama buku-buku cerita yang cenderung mahal, kepada mereka yang belum berbudaya literat. Ketakutan akan buku kotor, buku rusak, dan buku hilang menjadi paranoia. Ketakutan ini seperti membenarkan mengapa hanya buku-buku yang ‘tidak menarik’ yang dapat diakses oleh anak-anak dari keluarga tak berpunya. Seolah hanya buku-buku seperti itu yang pantas mereka baca.
Namun banyak pegiat buku yang melampaui ketakutan itu. Ibu Elis Ratna Suminar, pegiat Angkot Pustaka di Kabupaten Bandung, mengatakan kepada Andi Noya bahwa dia tak merasa sedih ketika koleksi buku di angkotnya menipis. Pencuri buku-buku itu pasti adalah orang yang menyukai buku-buku tersebut, ujarnya. Demikian juga, Nero Taopik, pendiri Komunitas Ngejah, mengatakan bahwa hilangnya buku-buku adalah proses yang “harus direlakan.” Kehilangan buku, memperbaiki buku yang rusak, adalah harga yang harus dibayar saat membudayakan kegiatan membaca sebagai habitus. Mengutip Nero Taopik, “Hilang atau rusak tak terlalu bermasalah; yang penting ikhtiar kampanye membaca terus digalakkan dan suatu saat benar-benar bisa berhasil.”
Pembudayaan habitus, kata Bordieu, dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan melampaui sekian generasi. Pembudayaan ini memerlukan pegiat literasi yang merawat ketelatenan seperti para orangtua; mereka memberikan buku yang tepat kepada bayi mereka sambil membiarkan sang bayi menggigit, membanting-banting buku layaknya mereka mengeksplorasi sebuah benda. Mereka membacakan buku untuk memberitahu bayi mereka bahwa ada konten yang hidup di sana. Kelak, saat nalar sang bayi berkembang, mereka menghidupkan imajinasinya untuk menjelajahi cerita. Lalu, pemahaman dan sikap kritis terhadap buku terbentuk melalui proses yang dialektik; seorang pembaca menyerap makna sekaligus mengembangkan respons kritis. Proses pembacaan dan penghayatan ini yang kemudian melahirkan pemberdayaan dan membentuk kapital budaya. Proses ini tak mungkin terjadi apabila buku berperan sebagai properti semata.
Kegiatan literasi perlu tumbuh dengan semangat pemberdayaan; menjadikan sebanyak mungkin kalangan masyarakat tumbuh dengan budaya membaca yang menyenangkan. Literasi bukan properti eksklusif kalangan terdidik yang tereproduksi hanya untuk memberdayakan kalangan mereka saja.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In Richardson, J.E. (ed.). Handbook of theory and research for the sociology of education. New York: Greenword.
Prendergast, C. (2003). Literacy and racial justice: The politics of learning after Brown v Board of Education. Southern Illinois University Press.