Oleh. Heri Maja Kelana

“Batouala, kepala desa itu, sedang bangun di dalam gubuknya, dibangunkan oleh udara dingin pagi hari dan remah-remah tanah di bawah tubuhnya tempat semut-semut membuat terowongan sarang. Ia meniup bara api mati hingga menyala lagi, dan duduk, membungkuk, menghangatkan tubuh dinginnya dan bertanya-tanya dalam hati apakah harus kembali tidur atau segera bangun”. Pembukaan novel yang berjudul “Batouala” karya Rene Maran ini pada masanya dapat dikatakan mengguncang pemerintahan Prancis serta mendapatkan penghargaan Goncourt Academy Prize kategori novel terbaik.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan kota lainnya dikatakan sebagai tempat yang nyaman untuk mengasah ide untuk kemudian dijadikan sebuah karya. Karya tersebut dapat musik, sastra, rupa, film, dan lain sebagainya. Namun kota-kota tersebut juga selalu berubah, tergantung siapa yang berkuasa dan siapa yang menjalankan.

Berbicara Politik di Kafe

Apabila saya bertanya bagaimana politik hari ini? Maka anda tidak dapat menemukan keadaan politik hari ini dari layar televisi maupun berita-berita koran. Obrolan politik hari ini ada di kafe-kafe.

Menjamurnya kafe, terutama di kota-kota besar telah memberikan satu efek signifikan terhadap dunia kebudayaan. Kafe menjadi ruang dalam mengemukakan ide lewat program-program seperti diskusi literasi, apresiasi sastra, film, musik, serta rupa. Adapun program-program itu biasanya ada di tempat-tempat kebudayaan seperti gedung kesenian, galeri, padepokan, hingga kampus-kampus.

Kafe secara ruang memang tidak begitu besar, namun di sana diskusi dapat dilaksanakan secara santai, sambil minum kopi, merokok, juga melakukan aktivitas lainnya. Selain itu, kafe tempat banyak orang dengan berbagai macam latar belakang berbeda. Artinya, ketika sedang diskusi literasi, orang yang tidak berminat atau yang tidak menyenangi literasi, ikut mendengarkan. Begitu juga ketika diskusi sastra, musik, film, dan seni rupa. Secara tidak langsung ada kolaborasi dalam proses kebudayaan di sini.

Setelah selesai diskusi, di mana peserta masih larut dalam suasana diskusi, biasanya membuka obrolan-obrolan santai. Bahan pembicaraan yang mereka bicarakan mulai dari mengulang apa yang sudah disampaikan dalam diskusi yang telah dilaksanakan tadi hingga obrolan politik.

Obrolan politik lahir ketika sudah habis bahan pembicaraan yang akan dibicarakan, sementara kopi masih ada dan rokok masih setengah bungkus.

Berbicara politik di kafe memang bukan sebagai prioritas utama yang dibicarakan, namun obrolan politik di kafe adalah obrolan politik yang jujur lahir dari mulut seseorang yang bukan sebagai pengamat politik atau politikus. Pada hal ini, posisi yang berbicara dapat dikatakan sebagai masyarakat. Meski hanya sepersekian persen masyarakat yang bersentuhan aktif dengan kafe. Namun dari sepersekian persen itu, saya dapat mengatakan bahwa mereka sedang membuat pusat-pusat kebudayaan baru.

Fenomena kafe ini menarik untuk kemudian saya bahas pada wilayah kreativitas serta karya, di mana kafe sekarang menjadi pusat kebudayaan baru. Banyaknya kafe yang menjamur terutama di kota-kota besar sejalan dengan banyaknya karya-karya yang lahir.

Desentralisasi ruang kebudayaan yang tadi saya sampaikan di atas lewat kafe-kafe, telah menjadikan ruang-ruang budaya yang tegang menjadi tidak tegang atau sakral menjadi tidak sakral. Karya berjalan bersama zaman, literasi bukan seperti obrolan politik di kafe yang setelah habis bahan pembicaraan baru berbicara politik. Literasi adalah obrolan pertama.
Literasi ditempatkan pada obrolan partama, di sana terdapat pergulatan ide atau gagasan mengenai aktivitas literasi serta praktik baik literasi yang telah dijalankan oleh pegiat literasi. Atau bahkan membicarakan karya-karya yang lahir hingga manifesto karya berupa buku.

Pembukaan novel yang berjudul “Batouala” pada pembuka tulisan saya di atas, memberikan satu gambaran tentang keintiman Rene Maran dalam mengolah ide menjadi teks yang dasyat. Kafe sebagai ruang kebudayaan baru, belum pada bagaimana orang-orang di sana dengan ide yang kemudian melahirkan badai dari karya-karya mereka. Paling tidak saya ingin mengatakan bahwa, literasi sebagai obrolan pertama menjadi artefak berupa buku-buku dasyat. Daripada hanya obroran semata, kemudian lenyap begitu saja. Artinya tidak sebatas pada oral.