
Membaca itu penting. Penting karena dianggap butuh. Butuh karena dianggap darurat. Maka dari itu, membaca itu penting karena dianggap butuh dan darurat.
Penting, butuh dan darurat di sini bukanlah soal angka dan peringkat seperti yang selalu digaungkan oleh lembaga negara maupun pegiat-pegiat literasi di setiap mimbar workshop maupun seminar melainkan soal petunjuk.
Petunjuk, betapa setiap manusia pasti butuh akan hal itu. Ketika lahir, seorang bayi diberikan petunjuk dari orang tuanya melalui bahasa dan simbol agar si bayi bisa tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Contohnya, bagaimana ayah, ibu gemar bercakap dengan si bayi bahkan mengisi suaranya supaya kelihatan berdialog. Ketika sehat, setiap orang disarankan untuk gemar berolahraga secara teratur, gemar mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi agar tubuh selalu bugar. Ketika sakit, setiap orang butuh obat agar sembuh. Ketika ingin kaya, setiap orang butuh cara untuk bisa ke sana. Ketika membeli kompor gas, seseorang membuka kemasan dan mendapati kertas berisi informasi hal ihwal cara penggunaan. Orang beragama, butuh pedoman hidup. Ketika tersesat di jalan, seseorang butuh bertanya atau mencari tanda-tanda. Semuanya butuh petunjuk.
Sayangnya setiap petunjuk keberadaannya hanya di tempat-tempat tertentu. Tidak semua petunjuk ditampilkan secara tertulis. Ada pun ditampilkan, hanya di tempat-tempat tertentu. Posyandu, rumah, sakit, puskesmas, kemasan, kitab suci, rumah ibadah, buku gedung-gedung pusat kebugaran, jalanan, dan uang ruang diskusi. Semuanya dapat diakses, hanya ketika ada perlu.
Lewat internet? Memang bisa, tetapi bagaimana dengan yang tidak punya layanan jaringan?
Petunjuk ini sangatlah penting. Saya sangat meyakini dalam setiap keingintahuan, seseorang akan didorong oleh hasrat untuk menempuhnya dengan cara, metode agar sampai ke taraf berikutnya yakni mengetahui dan memahami sesuatu. Cara dan metode itulah yang disebut petunjuk. Kecuali prinsipnya tidak mau tahu, barangkali ia buta.
Bila dikaitkan dengan membaca, daruratnya yang sering ramai dibicarakan bersumber dari pemberitaan-pemberitaan dunia literasi kita bahwa minat baca di Indonesia berada di peringkat dua terbawah yakni 60 dari 61 negara. Artinya minat baca Indonesia amatlah rendah.
Reaksi pun bermunculan. Ada yang menuduh warga Indonesia malas baca buku, ada yang menuduh pemerintah tidak serius terhadap sarana dan fasilitas penunjang membaca. Ada yang menuduh warga Indonesia malas baca karena lebih tertarik berkomentar.
Tetapi ada yang menarik dalam pernyataan Panji Yogi Pragiwaksono di kanal youtube miliknya yang bertajuk “MIKIR: Bagaimana cara menumbuhkan minat baca?” (9 Oktober 2017) mempersoalkan minat baca dengan mengubah pertanyaan menjadi, “Bagaimana cara menumbuhkan minat? Sebab dengan itu, apa pun yang ditekuni seseorang terhadap minatnya, ia akan menggali dan menempuh perjalanan kesukaannya meskipun minat itu tersimpan dalam buku.
Artinya, menumbuhkan minat baca dengan sendirinya tumbuh jika ada minat (kesukaan) yang tumbuh dalam dirinya. Ini memang benar. Tapi, seseorang pasti punya alasan mengapa ia menekuni bidang atau minat tertentu. Alasan itulah mengandung petunjuk.
Yogi ingin menumbuhkan minat baca yang bertumpu pada minat. Saya pikir ini berorientasi pada individu dan bakat. Tidak masalah. Saya hanya mempersoalkan manakah yang lebih dulu dilakukan dalam membangun minat baca? Saya lebih mengutamakan agar orang-orang sering membaca petunjuk. Sebab membaca petunjuk adalah medium paling dekat. Bukankah minat dan bakat muncul juga dirangsang oleh petunjuk lebih dulu?
Belakangan ini juga saya sering mendengar berita yang berisi kejadian-kejadian yang memilukan. Khususnya bencana. Entah bencana alam atau bencana buatan. Misalnya kebakaran rumah.Ini sering terjadi di tempat tinggal saya. Terutama kawasan pesisir. Rumah-rumah yang padat dan terbuat dari kayu memang rentan dengan api. Kebakaran itu pernah manghanguskan satuan bahkan lebih dari seribu rumah. Akibatnya bermacam-macam. Korsleting listrik, kompor meleduk, Tangki minyak. kebakaran ini menjadi langganan wilayah saya dan tak luput dari pemberitaan. Kalimat-kalimat yang muncul tidak jauh dari pernyataan-pernyataan mengenai sebab kebakaran, di mana kejadiannya, kapan kejadiannya, berapa kerugiannya, berapa korban jiwa. Agar terkesan estetik, judulnya dibubuhi dengan kata-kata ungkapan “Si Jago Merah Mengamuk”.
Setelah kebakaran, orang-orang tinggal di pengungsian. Sembako silih berganti datang. Relawan berkeliling, menghibur agar memutus trauma.
Saya sebagai pembaca tentu bertanya bagaimana nasib pemilik rumah itu. Ia telah kehilangan rumah. Lalu, dimanakah ia akan tinggal? Saya juga salut dengan segala bantuan, berikut kehadiran relawan. Lalu, apakah relawan juga menyampaikan ihwal kita-kiat sebelum dan saat menghadapi bencana tersebut? Saya belum tahu.
Saya berpikir bagaimana kejadian itu tidak terulang, setidaknya untuk waktu yang cukup lama, kalau boleh tidak terulang lagi. Maka, tidaklah cukup berita itu hanya untuk empati kepada korban melainkan empati kepada diri sendiri bahwa bencana setiap saat mengintai di sekitar kita.
Hikmahnya, saya harus membekali diri dengan petunjuk. Meski saya gemar membaca tetapi kepada hal-hal membaca sebuah petunjuk, terkadang pun saya alpa. Selama ini minat membaca saya mungkin terfokus hanya topik tertentu. Mengkonsumsi bacaan-bacaan yang tinggi seperti sastra, politik, kebudayan. Mungkin tidak hanya saya, bencana itu pun terjadi karena kelalaian penghuninya. Kurang mendapat petunjuk. Jika dibiarkan terus-menerus saya khawatir kita hanya jadi penonton dengan mental pasrahan.