Akhir-akhir ini saya merasakan belajar sangat menjenuhkan. Tak ada yang bisa saya kerjakan kecuali belajar dari anak-anak. Setiap belajar kita kumpul melingkar membahas satu topik dan mendengarkan. Rasa malas pun menyerang dengan cepat tanpa hambatan sama sekali.

Malam Minggu yang seharusnya saya isi dengan nongkrong di warung kopi kali ini harus absen. Saya pulang lebih awal dari biasanya karena sudah ditunggu anak-anak. Kami pun lagi-lagi duduk melingkar memegang selembar kertas dan mendengarkan ceramah. Aaahhh, mulutku menguap datangnya kantuk begitu cepat.

Selembar kertas pun hanya seperti menutup mukaku saja. Begitu dengan anak-anak ternyata tak ada bedanya dengan saya. Ada yang asyik memegang HP, ngobrol sendiri, bercanda sendiri dan lain-lain. Bahkan salah satu dari mereka ada yang sudah tak sabar ingin pulang. Dan yang hanya fokus cuma pemateri.

15 menit telah berlalu tapi rasa begitu lama. Diskusi pun selesai. Seperti ada yang aneh belajar kayak formalitas. Kejenuhan berakhir semua. Rasa merdeka pada genggaman tangan. Kami pun masih duduk tanpa merubah posisi.

Saya pun berinisitif untuk menghilangkan rasa kantuk yang sudah begitu berat. Apalagi saya tak ingin mengecewakan anak-anak yang sudah berniat datang untuk belajar. Mereka sudah datang dengan niat belajar malah ngantuk dan bosan yang didapat.

Saya akan melatih anak-anak untuk bisa berargumentasi. Mungkin ini akan menarik untuk mereka. Apalagi yang aktif bukan guru saja tetapi juga pada anak-anak. Saya akan mengambil satu topik untuk dijadikan kasus dan anak-anak untuk memecahkan permasalahan.

Saat ini banyak sekali anak-anak kecil yang sudah berperan aktif dalam perkembangan teknologi seperti HP sehingga banyak sekali anak-anak yang bermalas-malasan dan juga kesosialan menjadi berkurang. Sebenarnya siapakah yang perlu disalahkan dengan kasus tersebut? Apakah orangtua, atau teknologinya atau lingkungannya?

Anak-anak pun mulai berfikir dan ada juga yang begitu cepat tunjuk tangan sudah mempersiapkan jawabannya. Ngantuk saya hilang seketika seperti terbawa angin malam. Rasanya seperti berbeda sekali. Tadi cuma dengerin sekarang harus berfikir. Saya pun ambil posisi sebagai moderator agar anak-anak aktif dalam argumentasi.

Kata Rafli yang perlu disalahkan adalah orangtua. Rafli mengatakan anak-anak begitu dimanjakan oleh orangtua untuk memenuhi permintaan. Dan juga orangtua belum siap dengan dampak teknologi ketika dipegang oleh anak-anak. Dengan minimnya pengawasan dan orangtua terlalu sibuk menjadikan anak-anak tidak tahu untuk memilih dan memilah hal-hal yang terkandung dalam teknologi.

Berbeda dengan Aisah. Menurut Aisah yang perlu disalahkan adalah sekolah. Sekolah menuntut anak didiknya untuk mempunyai HP karena tugas pelajaran selalu di share dengan memanfaat HP. Hal ini akan merugikan anak bilamana anak tersebut dalam kategori anak yang tidak mampu dan menjadikan kalah informasi dengan teman yang lainnya. Di samping itu, dengan adanya HP membuat guru menjadi malas untuk menyampaikan materi. Materi seperti hal instan yang hanya menyruruh anak untuk mencari materi di internet dan ujung-ujungnya langsung ulangan tanpa adanya penjelasan dari guru. Menurut Aisah bila seperti ini terus sekolah itu bukan tempat belajar tetapi tempat mencari teman. Karena tanpa sekolah bisa mencari materi bilamana hanya mengandalkan internet.

Sedangkan menurut Mughni yang perlu disalahkan adalah negaranya. Perdagangan bebas dalam di Indonesia begitu pesat. HP tersebut bisa memasuki wilayah Indonesia seperti tidak ada batasannya. Dan perkembangan teknologi di dunia begitu cepat. Dan anak-anak Indonesia selalu mengikuti perkembangan yang baru hanya sekedar untuk gaya-gaya semata.

Melihat perdebatan diantara mereka begitu menarik mempertahankan masing-masing diargumentasi untuk dipertanggungjawabkan. Mereka sangat menikmati pembelajaran malam yang tak terasa. Ternyata mereka berargumentasi sampai 1 jam setengah. Dan sebenarnya belum mau dicukupkan karena terlalu asyik untuk diskusi. Saya juga bisa belajar dari mereka dengan argumen-argumennya.

Melihat diri saya ketika diusia mereka belum pernah mencicipi yang namanya argumentasi. Yang saya seorang guru itu selalu merasa benar sendiri. Dan itulah dulu saya tak pernah menikmati sekolah kecuali hanya main. Surga sekolah bagi saya ialah ketika jam kosong. Lebih indah dari hari liburan.

Pembelajaran malam minggu ini saya menyadari bahwa suara anak perlu didengar. Seringkali dijumpai anak itu selalu pasif dalam belajar. Sebenarnya mereka bukannya tak mau belajar tetapi kondisi belajar yang hanya itu-itu saja dan membosankan. Kalau guru ingin diperhatikan oleh anak-anak maka guru juga harus bisa mendengarkan suara anak-anak. Entah itu dari keluhan maupun pendapat.

“Ka Khotib, malam minggu kita belajar argumentasi lagi yah?” kata salah satu anak.

Yah untuk waktu dekat ini mungkin mereka sedang asyik dengan hal baru ini. Dan tentunya saya harus mempersiapkan inovasi lagi yang akan melihat kejenuhan datang lagi.[]