Categories
Kolom KOLOM FATIH ZAM

Manusia Mbeling

Dengan penuh kesadaran, saya pernah melakukan cocoklogi antara kata ‘mata’ dengan fenomena yang melekat pada presiden Indonesia. Hasilnya begini: SBY presiden ‘mata panda’ karena besarnya perawakan dan kantung mata yang dia punya. Megawati presiden ‘mata pedang’ karena pada masanya masyarakat dihebohkan dengan fenomena kolor ijo dan ninja. Gus Dur presiden ‘sebelah mata’ sebab hanya dia yang berani mengatakan bahwa DPR tak berbeda dengan Taman Kanak-kanak. Habibie presiden ‘mata pena’, manusia paling jenius yang dimiliki Indonesia. Soeharto presiden ‘mata duitan’ karena pada masanya korupsi terjadi besar-besaran tanpa ketahuan. Sukarno: ‘Mata keranjang’ (Fatih Zam, Mata Presiden, Tribun Jabar, 2 Mei 2014).

Saya tidak betul-betul mengenal Sukarno. Sejarang memiliki rupiah yang bergambar dirinya. Saya hanya mampu mensketsanya sebagai seorang flamboyan—untuk tak menyebutnya sebagai penjahat kelamin. Saya juga mengenalnya sebagai Bapak Proklamator. Sejak di bangku Sekolah Dasar, saya telah diberitahu guru bahwa dialah manusia Indonesia pertama yang merekahkan fajar kemerdekaan dengan lidahnya yang fasih—lidah serupa yang dia pakai untuk merayu wanita tentunya.

Manusia semacam inilah yang dipilih semesta untuk menjadi tokoh utama Indonesia. Dialah pemilik sihir yang sanggup membuat saya mengambil jeda agak lama ketika menyebutnya ‘mantan presiden’. Ganjil rasanya, sebutan itu tak seluwes ke presiden selain dirinya. Meski dalam konteks apapun, kata ‘mantan’ memang kerap membuat saya baper.

Walau bagaimanapun saya harus siap menghadapi kenyataan bahwa manusia dengan pikiran begitu rupa (mungkin mesum salah satunya) adalah wasilah Tuhan sehingga saya bisa sekolah, bisa menikah dan bisa bicara dengan enak dalam tulisan ini. Mengingat hal itu, rasa-rasanya saya harus sedikit objektif memandang Sukarno. Karena saya percaya tidak ada satu pun kebaikan yang hilang lantaran sebuah keburukan, begitu pula sebaliknya.

Sebagai manusia pertama Indonesia, sulit bagi saya untuk menyandingkan Sukarno dengan tokoh-tokoh lain di dunia. Seseorang yang dengan enteng bilang, “Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!” namun di sisi yang lain menyetrika dan melinggis (hati) banyak wanita, ah, siapakah yang mampu menyepadani reputasinya?

Hanya satu orang, menurut saya, yang memiliki kemiripan dengan Sukarno. Dia adalah Nabi Adam—semoga ini bukan sesuatu yang tergolong lancang.

Setidak-tidaknya ada tiga karakter utama yang mirip. Satu di antaranya sama-sama berpredikat manusia pertama: Nabi Adam dalam konteks umat manusia seluruhnya, Sukarno untuk Indonesia.

 

Ekualitas Nabi Adam dan Sukarno 

Di dalam semua kitab suci agama samawi, akar dan jalinan cerita Nabi Adam serupa belaka. Adam adalah manusia pertama yang tinggal di surga, berjenis kelamin lelaki dan terusir ke dunia lantaran mendekati pohon terlarang dan memakan buahnya. Manusia pertama yang membuat Malaikat bersujud dan Iblis tertendang itu mengawali kiprahnya sebagai khalifah fil ardh lewat keterlibatan wanita. Ini kesamaan kedua antara Nabi Adam dan Sukarno. Hanya, Sukarno dengan banyak wanita, sementara Nabi Adam setia kepada Hawa semata—harap dicatat, waktu itu populasi wanita ada satu saja.

Keserupaan ketiga tidak berkait dengan kehidupan pribadi namun kehidupan sosial dan politik, yakni karakter kepemimpinan. Nabi Adam dan Sukarno adalah tipe manusia dengan karakter berani—berkonfrontasi, berperang dan menumpahkan darah.

Terus terang, saya agak kesulitan menemukan kepingan kisah yang menceritakan olah strategi sekaligus peperangan fisik yang dialami Nabi Adam. Namun, “diskusi” antara Tuhan dengan malaikat yang berlangsung entah kapan, Allahua’lam bisshawab, menunjukkan karakter tersebut.

Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata,“Akankah Engkau jadikan di sana (makhluk) yang merusak dan menumpahkan darah? Padahal kami mensucikan dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu.” (Q.S. 2:30)

Ditinjau dari sudut tafsir tematik, Bambang Pranggono (2006) menerangkan bahwa ayat ini berbicara tentang petunjuk Tuhan soal pemilihan pemimpin. Menurutnya, malaikat bukanlah makhluk “penurut”, tak seperti yang diajarkan guru ngaji saya sewaktu kecil dahulu. Malaikat ternyata berani menyampaikan pendapatnya kepada Tuhan. Pendapat itu bahkan bernada miring. Ada semacam black campaign yang dilakukan malaikat terhadap Nabi Adam. Komentar yang memojokkan Nabi Adam bisa dijumpai dalam kalimat: akankah Engkau jadikan di sana (makhluk) yang merusak dan menumpahkan darah? Kemudian, malaikat menutup argumentasinya dengan menjunjung tinggi kelebihannya: padahal kami mensucikan dengan memuji-Mu dan mengkuduskan-Mu. Malaikat sedang melakukan lobi politik agar Allah memilih dirinya sebagai khalifah di bumi, bukan Nabi Adam.

Manuver politik malaikat yang telah mengeluarkan komentar bernada miring tentang Nabi Adam rupanya tidak dibantah oleh Tuhan. Saya tidak menemukan satu ayat pun dalam Al Quran yang menerangkan bahwa Tuhan mendamprat malaikat lantaran itu. Tuhan justru mengamini keresahan malaikat. Meski begitu, Tuhan telah berketetapan: Aku mengetahui apa-apa yang tidak kamu ketahui, begitu firman-Nya (Q.S. 2:30).

Secara tidak langsung, Tuhan mengakui sekaligus memberikan pengertian kepada malaikat—juga kepada kita—bahwa Nabi Adam memang memiliki karakter merusak dan menumpahkan darah (berkonfrontasi, berkonflik dan berperang). Namun, Tuhan tetap memilih Nabi Adam sebagai khalifah dan bukannya memilih malaikat mengindikasikan bahwa karakter tersebut bukan halangan berarti untuk menjadi pemimpin. Karakter demikian malah lebih efektif daripada yang ragu-ragu karena tersandera citra. Atau bahkan karakter tersebut lebih baik daripada karakter lembut dan lurus (kerap bertasbih dan bertahmid) seperti yang dimiliki oleh malaikat.

Nah, kepada karakter yang tidak lurus-lurus amat itulah bumi dititipkan untuk dikelola dan dimakmurkan. Demikan pula dengan bumi pertiwi ini. Di antara sekian banyak tokoh pergerakan di masa-masa menjelang kemerdekaan, Tuhan justru mewariskan Indonesia kepada Sukarno dengan karakter mbeling-nya.

Apakah tidak ada tokoh lain yang lebih baik daripada Sukarno? Tentu saja ada. Hanya saja, definisi “lebih baik” yang saya pakai jangan-jangan serupa dengan logika malaikat waktu mempersoalkan penunjukkan Nabi Adam sebagai khalifah. Saya melupakan, atau pura-pura lupa dengan logika Tuhan.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (Q.S. 2:216).

Bagaimanapun, jarang ada manusia pelopor yang lurus-lurus saja. Pelopor adalah dia yang selalu resah dan berani mengambil risiko. Risiko tersegara bagi pelopor dan yang selalu terdepan adalah duluan kena damprat atau bahkan yang lebih sadis daripada itu. Sementara manusia belakangan, para pengekor, adalah mereka yang memiliki keuntungan karena bisa mengambil pelajaran. Tetapi nasib hakiki ekor itu begini: posisinya di dekat pantat, dikentuti melulu.

1 reply on “Manusia Mbeling”

Comments are closed.