Oleh : Heris Sandra*
Di tengah hamparan laut biru dan pelabuhan yang riuh ramai, terhampar sebuah kerajaan bijaksana yang dulu menjadi pusat perdagangan dan kepemimpinan bumi melayu. Secercah cahaya ilmu yang melintasi gemerlap bintang dan menjejakkan langkah di bumi itu.
Dalam remang-remang waktu yang tak terhingga, terjalinlah kisah-kisah keagungan aktivitas membaca dan menulis, seperti alunan melodi sastra Melayu yang memukau.
Dalam lorong waktu itu, terdapat Anbiya terkemuka yang merangkai kebesaran tak hanya dalam Kalamullah, tetapi juga dalam tulisan-tulisan mereka yang penuh makna. Mereka, para utusan Ilahi, adalah contoh gemilang betapa membaca dan menulis adalah perjalanan spritual yang mengangkat derajat manusia.
Kerajaan Riau-Lingga, sebagaimana arsip sejarah menyampaikannya, bukan hanya lautan perdagangan dan kekayaan, tetapi juga lautan kata-kata dan kebijaksanaan. Para pahlawan dalam kisah ini tak hanya prajurit yang gagah berani di medan perang, melainkan mereka yang dengan pena dan buku membentuk cerita kebesaran.
Di antara gemerlap bendera dan aroma rempah-rempah, para pemimpin dan cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga memandang membaca dan menulis sebagai senjata paling tajam dalam merajut takdir bangsanya.
“Kemuliaan seorang pahlawan bukan hanya terukir dalam panji-panji perang, tetapi dalam jejak kata-kata yang ia tinggalkan,” begitulah pemikiran yang diwariskan dari satu generasi ke generasi.
Hang Tuah, seorang Laksamana yang tersohor. Ia tidak hanya mahir dalam seni bela diri, tetapi juga memiliki kecintaan mendalam pada sastra. Dalam surat-suratnya kepada raja, Hang Tuah membuktikan bahwa keberanian dan kearifan dapat bersatu dalam genggaman pena. Pahlawan yang mencurahkan hidupnya untuk kegemilangan ilmu dan pengetahuan.
Raja Ali Haji, seorang ulama dan cendekiawan besar dari Kesultanan Riau-Lingga, menyumbangkan karya-karya ternama dengan sastra Melayu yang menjadi warisan budaya yang tak ternilai. Khatib sastra Melayu ini menjadikan aktivitas menulis sebagai panggung spiritual yang memancarkan secercah cahaya ilmu yang melintasi gemerlap bintang dan menjejakkan langkah di bumi Melayu. Melalui karyanya, ia menjadi pencerminan kemuliaan sastra Melayu.
Di tengah keriuhan pasar-pasar di Lingga, seorang cendekiawan terkemuka bernama Abdul Samad Al-Palembani. Ia dikenal sebagai penulis Hikayat Abdullah, sebuah karya monumental yang menggambarkan realitas sosial dan politik Melayu pada zamannya. Dengan pena merahnya, Abdul Samad Al-Palembani merajut kata-kata menjadi semangat perubahan, membimbing masyarakat untuk mengangkat derajatnya melalui pendidikan.
Dari Singkep, lahir seorang ulama besar yang dikenal sebagai Syeikh Abdul Rauf Al-Singkeli. Ia tidak hanya memuliakan ilmu agama tetapi juga mengamalkan dan mempromosikan ilmu pengetahuan umum. Karyanya mencakup pemikiran filsafat, astronomi, dan kedokteran. Dengan tekunnya, Syeikh Abdul Rauf membuktikan bahwa agama dan ilmu pengetahuan dapat hidup berdampingan.
Dari tanah Riau yang subur, muncullah seorang maestro sastra bernama Shahnon Ahmad Al-Riau. Karya-karyanya yang indah merayakan keindahan alam Melayu dan menyuarakan keadilan sosial. Dengan kata-katanya, ia membentuk sebuah jendela menuju kekayaan budaya dan moral masyarakat Melayu.
Dari Tanah Hitam Riau, muncul seorang pemikir ulung, Hamka. Ia tidak hanya seorang ulama besar tetapi juga seorang penulis produktif. Dengan karyanya yang mendalam, seperti “Di Bawah Lindungan Ka’bah,” ia mengajarkan nilai-nilai keimanan dan kehidupan yang bermartabat.
Serta Datuk Amar diRaja Abdul Samad Ismail adalah sosok cendekiawan yang melampaui batas-batas disiplin ilmu. Selain sebagai seorang dokter terkemuka, ia juga seorang penulis dan sastrawan ulung. Ia membuktikan bahwa membaca dan menulis bukan hanya sebagai hobi, tetapi sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan diri dan melayani umat.
Aktivitas membaca dan menulis di Kerajaan Riau-Lingga bukan hanya sekadar upaya pribadi, melainkan investasi terhadap masa depan bangsa. Para Anbiya terdahulu telah mencontohkan aktivitas mulia ini mengajarkan bahwa setiap kata yang terukir, setiap halaman yang dilalui, adalah langkah ke arah kebijaksanaan dan kejayaan Serta Kemaslahatan.
Melalui kisah-kisah ini, kita dapat menyadari bahwa pena lebih tajam daripada pedang, dan buku lebih kuat daripada benteng. Sebuah kerajaan yang menghargai ilmu dan pengetahuan adalah kerajaan yang kokoh dan abadi. Dalam gemerlap sastra Melayu, kita menemukan bahwa membaca dan menulis bukan hanya kegiatan sehari-hari, tetapi bentuk dari kebesaran hati dan pikiran para pahlawan.
Dari perjalanan mereka, kita dapat menyelami hikmah betapa membaca dan menulis adalah sarana untuk menggali kebijaksanaan dan keilmuan. Sebuah narasi yang mengilhami, seakan membawa kita mengarungi lautan kata-kata yang penuh makna dan keindahan. Seiring dengan mereka, mari kita terus mengangkat pena dan membuka lembaran baru dalam aktivitas membaca dan menulis, menjadikannya jembatan menuju pengetahuan dan pencerahan jiwa.
Allahu Akbar✊
*PW Forum TBM Kepri