Categories
Kolom KOLOM SOFIE DEWAYANI

Membaca Pahlawan

Hakim Hasan bukan hanya seorang penjual buku. Dia menyebut dirinya seorang intelektual jalanan. Yang membedakan dirinya dari penjual buku lain di perempatan jalan 8th Street, Greenwich Street, dan Sixth Street – yang terkenal di New York itu – adalah bahwa dia membaca dan gemar mendiskusikan buku-buku yang dijualnya. Sebagai seorang laki-laki berkulit hitam, tidak berpendidikan tinggi, miskin, tinggal berpindah-pindah, dan pernah menjadi seorang Muslim taat, Hakim bukanlah potret tipikal sosok intelektual di Amerika.
Hakim hanya pernah mengenyam beberapa tahun pendidikan sarjana di Rutgers University, sebelum akhirnya dropout karena menunggak biaya kuliah terlalu banyak. Sempat bergiat di American Muslim Mission ketika dia berkuliah di Rutgers, ia terkesan dengan perintah Iqra’ dalam Al Quran yang menekankan pentingnya membaca. Sembari melamar pekerjaan, dia membaca banyak buku, dan menjadi ketagihan. Saat tawaran pekerjaan datang dari beberapa firma hukum dan perusahaan, dia memutuskan untuk menolak semuanya. Dia tidak mau menukar kebebasan yang didapatnya dari membaca buku dengan menjadi karyawan perusahaan. Dia menolak penjara kemapanan. Membaca buku baginya lebih membebaskan.
Hakim berjualan buku di emperan kota New York karena ingin mengubah kehidupan orang ‘jalanan’ sepertinya (lelaki berkulit hitam, yang digambarkan oleh statistik sebagai populasi yang cenderung mengisi penjara-penjara ketimbang universitas) melalui buku. Maka di balik mejanya yang penuh sesak oleh buku-buku bekas, majalah, dan beberapa buku-buku baru, Hakim menawarkan ulasan buku kepada calon pembeli. Terkadang dia mengisi harinya hanya dengan berdiskusi tentang buku tanpa ada satu pun bukunya yang terbeli. Namun dia tak peduli. Hakim lebih peduli kepada bagaimana menggunakan buku-buku untuk memotivasi orang untuk keluar dari belenggu kemiskinan, dan mempengaruhi cara pandang mereka tentang kehidupan. Diskusi jalanan ini terjadi di pinggiran kebijakan pendidikan berskala masif seperti No Child Left Behind yang diluncurkan untuk menekan tingkat dropout populasi remaja laki-laki berkulit hitam. Meskipun keberhasilannya tak terukur oleh data statistik, Hakim berhasil menyentuh kehidupan banyak orang.
Bukan suatu kebetulan apabila sosok Hakim Hasan, tokoh utama dalam studi etnografik Mitchell Duneier di bukunya yang berjudul Sidewalk, memikat saya di Hari Pahlawan ini. Ada benang merah yang menghubungkan pejuang kemerdekaan dengan pahlawan di era kebangkitan literasi. Pahlawan adalah seseorang yang enggan menukar kemapanan – dalam bentuk gaji bulanan, jabatan, atau mungkin proyek yang didikte anggaran – dengan kebebasan. Kemerdekaan ini mewujud dalam kebebasan untuk menentukan aksi dan kontribusi; apa yang dianggap baik dan paling dibutuhkan oleh bangsa saat ini? Seorang pahlawan adalah ia yang berani menyatakan kontribusi terbaiknya dan berupaya sendiri (maupun bersistem) untuk mewujudkannya. Seorang pahlawan adalah ia yang tak memaksakan diri untuk menjadi inspirasi; ia hanya bekerja untuk hati nurani.
Pahlawan modern ini, antara lain mewujud dalam sosok yang disebut Deborah Brandt (1998) sebagai ‘sponsor literasi;’ yaitu seorang, sekelompok orang, baik terlembaga atau tidak, yang membantu orang lain untuk mencapai kecakapan literasi (gaining literacy). Lebih jauh, sponsor literasi mempromosikan kegiatan membaca, menulis, dan berpikir untuk memberdayakan masyarakat. Dalam penelitian Brandt, sponsor literasi dalam sosok pendeta, pendidik, kerabat, pustakawan, penulis dan pegiat literasi ternyata berperan signifikan dalam kemajuan ekonomi, politik, dan sosiokultural di Amerika Serikat pada era tahun 1990-an. Istilah ‘sponsor’ digunakan Brandt untuk menandai inisiatif dan power. Seorang sponsor adalah mereka yang menyadari potensi intelektual dalam dirinya dan menggunakannya secara sadar untuk mempengaruhi dan mengupayakan kemajuan orang lain. Kapasitas sponsor tidak terkait dengan status sosial ekonomi, bahkan pendidikan formal. Seorang Hakim Hassan, juga ribuan pegiat literasi di Indonesia, berasal dari pengalaman pendidikan formal dan profesi yang beragam. Yang menghubungkan mereka adalah satu hal: kegelisahan untuk segera menciptakan perubahan melalui pendidikan.
Bangsa ini merdeka karena upaya banyak pejuang dan pengabdi masyarakat. Mereka mengusahakan agar kemajuan tak hanya dinikmati oleh anak dan cucu mereka semata, namun juga seluruh bangsa. Bagi kita, upaya ini mungkin suatu pengorbanan. Bagi para pahlawan, bisa jadi itu semua bermakna kerja untuk kemerdekaan jiwa semata. Mari bekerja dengan merdeka.

Selamat Hari Pahlawan! []

Leave a Reply