Oleh: Atih Ardiansyah

Bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan saat lembaga riset digital marketing, Emarketer, menyebut bahwa terdapat 60 juta penduduk Indonesia yang memiliki ponsel pintar. Tak pula menggemparkan ketika lembaga tersebut meramalkan bahwa pada tahun 2018 ini, pengguna smartphone di Indonesia akan mencapai angka 100 juta orang. Data tersebut bukan sesuatu yang mencengangkan untuk negara dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta ini. Akan tetapi, data tersebut akan seketika berubah menjadi begitu mengerikan, saat survey tingkat literatif yang dilakukan World’s Most Literate menempatkan Indonesia pada peringkat ke 60 dari 61 negara, diapit Botswana (peringkat 61) dan Thailand (posisi 59). Survey UNESCO pun menjadi hantu berikutnya, saat mereka menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, yang artinya dari 1000 orang hanya terdapat 1 orang yang memiliki minat baca!

Sementara itu, beberapa fakta lain serupa kavaleri yang tengah berduyun-duyun hendak menggulung negeri ini. Ada 3000 status Facebook yang diperbaharui setiap harinya di dunia, pun terdapat 50.000 jam unggahan video di Youtube setiap harinya. Dan Indonesia merupakan negara dengan populasi sangat besar, yang artinya, sebagian besar fakta tersebut telah terjadi di Indonesia. Tengok saja data yang menyebut bahwa terdapat 1,4 milyar cuitan pengguna Twitter, khusus di Indonesia saja. Sementara kebutuhan akan ponsel pintar seolah-olah tak ada hentinya. Produsen Xiaomi asal Tiongkok saja, per hari ini, telah berhasil memproduksi 1 unit smartphone setiap menitnya!

Dua paragraf pembuka tulisan ini sengaja saya akhiri dengan tanda seru (“!”), karena bayangkanlah satu hal yang sederhana saja: bagaimana kualitas berkomunikasi orang-orang yang tingkat literatifnya rendah di rimba media sosial yang juga tanpa sekat norma dan etika?

Di internet, menurut data Kominfo RI, terdapat 800 ribu situs penyebar hoaks. Lalu karena masih rendah tingkat literatifnya, masyarakat kita senang sekali menyebarkan berita hoaks tersebut. Bukan hanya senang, masyarakat kita bahkan merasa bangga karena telah menjadi orang pertama yang membagikan/shared berita yang belum jelas asal usul dan derajat kebenarannya. Septiaji Eko Nugroho, ketua Masyarakat Antihoaks menyatakan bahwa kegemaran menyebarkan berita bohong yang berisi ujaran-ujaran provokatif bernuansa SARA dan fitnah itu, penyebabnya tak lain karena penggunaan teknologi tidak dibarengi dengan budaya kritis dalam memandang persoalan.

 

Membaca = Merenung

Inilah pekerjaan rumah kita hari ini. Pilihannya tersisa satu setelah menjauhkan smartphone dan teknologi sebagai bagian dari globalisasi tak mungkin terjadi, yakni perbanyak membaca buku. Mengapa membaca buku?

Secara awam, orang membaca buku lantaran ingin menambah pengetahuan atau sebagai sarana rekreasi. Padahal, lebih jauh daripada itu, membaca buku merupakan sarana berkontemplasi. Dan kontemplasi memberi kesempatan kepada kita untuk melipatgandakan kekuatan dalam mengoptimalkan peran pikiran dan hati. Pikiran dan hati yang terbuka akan membuat kita memiliki banyak pilihan ketika sebuah informasi datang menghampiri.

Sekurang-kurangnya, orang dengan pikiran dan hati yang terbuka akan melakukan dua hal tatkala sebuah informasi datang kepadanya. Pertama, dia akan memastikan kebenaran informasi tersebut. Dia akan melakukan konfirmasi, tabayyun. Kedua, jikapun informasi itu seolah-olah mendekati kebenaran namun sukar ditelusuri sumbernya, dia akan menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi tersebut kepada orang lain. Dia akan menjadi tujuan terakhir dari informasi yang telah secara berantai dibagikan orang lain.

Banten Pos (19/3)

Riuhnya lini masa media sosial kita hari ini, setidak-tidaknya merupakan bukti bahwa tugas kita untuk menggalakan kegemaran membaca masihlah panjang jalannya. Obor minat baca mesti terus dijaga nyalanya. Karena jika minat baca sampai menurun, apalagi sampai padam, maka kita akan menjumpai ujaran Zen RS (2015) sebagai kenyataan: “Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatknya minat berkomentar”. Atau ungkapan Maman Suherman (2017) yang menyatakan bahwa generasi yang malas baca potensial menjiplak dan asal jeplak—mungkin juga asal keplak! []