Banyak jalan untuk mengkaderisasi relawan TBM. Bagi Ummi Aam, melahirkan kerelawanan harus melalui pendampingan tiap generasi. Hal ini menjadi penting dalam keorganisasian. Dampaknya dapat memudahkan estafet kepengurusan berikutnya.

Dalam perkembangan gerakan TBM, Ketua Forum TBM Jawa Barat ini menjelaskan bahwa membuka ruang kreativitas seluas-luasnya untuk relawan adalah salah satunya. Agar mereka memiliki kecakapan untuk mengelola organisasi ke depannya. Diharapkan, mereka juga dapat mengembangkan diri sesuai minatnya. TBM adalah ruang bagi siapa pun untuk saling belajar sehingga menguatkan satu sama lain.

“Masyarakat bisa berdaya saat relawan mampu menggerakkannya,” pungkas Ummi.

David Effendi mengamini ihwal kaderisasi relawan bagi keberlangsungan TBM. Ia mengatakan bahwa faktanya ada gap antargenerasi. Dalam hal ini, generasi sebelumnya harus dengan secara cerdas dapat merangkul generasi berikutnya.

Ada tiga alasan dari kemunculan istilah relawan. Di antaranya, kurang keuangan, SDM terbatas, dan tim yang belum solid.

Setiap orang adalah relawan seumur hidup. David juga memaparkan strategi dalam memahami kerelawanan. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan entah mau belajar, rasa ingin tahu yang tinggi, dan kerja keras.

Kemudian, Dosen Universitas Muhammadiyah DIY itu mengutip Gol A Gong, bahwa melahirkan kerelawanan yang baik itu harus menerima siapa pun. Membekali mereka dengan kerja-kerja yang terkait dengan jurnalistik, videografi, pengelolaan buku, dan lain sebagainya.

Pandangan lain soal kerelawanan menurut Ahmad Sofyan yakni pengkaderan TBM tidak dilakukan secara formal. Berbeda hal dengan kampus yang memiliki proses pengkaderan secara resmi.

Membangun kerelawanan harus membentuk ekosistem literasi yang sehat dan baik. Di beberapa tempat, pegiat TBM memberikan pembekalan terhadap calon relawan, membiasakan mereka membaca cerita pendek, menentukan beberapa lokasi untuk menganalisis realitas masyarakat berdasarkan etnis, suku, dan agama.

Gerakan Literasi Membacakan menjadi bagian dari program dalam menerbitkan buku saku yang dintegrasikan dengan program-program sekolah.

Buku saku merupakan kendali keberlanjutan pembiasaan anak-anak untuk terbiasa membaca. Hal ini dapat dipantau oleh pegiat TBM dan guru dengan koordinasi dan kolaborasi.