Pendidikan Yang Berkebudayaan
424 Halaman
Yudi Latif
Gramedia Pustaka Utama
Terbit Oktober 2020
Membincang pendidikan hari-hari ini akan berhadapan dengan isu perkembangan industri 4.0. Hampir semua bergempita dengan revolusi industri ini. Rumusan visi dan misi lembaga sekolah pun diarahkan kepada kesiapan menghadapi konsekuensi revolusi tersebut. Padahal, ungkap Yudi Latif, “fenomena perluasan industri 4.0 memang harus diantisipasi dan disiapkan kerangka tanggapannya, namun tidaklah berarti bahwa prinsip-prinsip pendidikan selama ini otomatis kedaluwarsa dan harus ditinggalkan.”
Betapa pendidikan tidak otomatis berkorelasi dengan penyiapan tenaga siap pakai. Betapa pendidikan tidak semestinya berbasis tantangan dan ancaman. Namun, sedianya sebagai pemasok gagasan besar dan luhur. Pendidikan adalah harapan kelahiran pribadi berkualitas yang bersesuaian dengan kodrat insani. Pendidikan itu menggali karakter pembelajar generalis yang mampu berpikir merdeka dan inovatif. Sanggup berpikir strategis dengan pemikiran holistik. Singkat kata, Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana tulis Yudi Latif, merumuskan prinsip pendidikan sebagai “proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup.”
Nah, bicara “manusia seutuhnya” berarti mendiskusikan kualitas manusiawi. Kualitas manusiawi adalah kapabilitas. Dan, kapabilitas dasar yang harus disemai dalam proses pendidikan adalah kelenturan menyesuaikan diri dengan angin perubahan, sekaligus kepemilikan akar kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin. Yang pertama adalah daya kreatif-inovatif. Yang kedua ialah daya karakter.
Dan, setidaknya, mengikuti Peter H. Diamandis, ada lima karakteristik untuk menumbuhkan daya kreatif-inovatif. Pertama, jiwa sungguh mencintai terhadap apa yang dirasa sebagai bakat, minat, pilihan, dan impian. Kedua, rasa ingin tahu dengan memfasilitasi proses eksperimen dan penemuan. Keterampilan bertanya, mendesain eksperimentasi, mengumpulkan data, dan merumuskan kesimpulan. Ketiga, keliaran imajinasi. Keempat, pikiran kritis. Dan, kelima, keteguhan hati.
Perihal daya karakter, Yudi Latif merangkum sembilan nilai inti karakter yaitu: keberanian, keadilan, kebaikan hati, rasa terima kasih, kebijaksanaan, mawas diri, rasa hormat, tanggung jawab, dan pengendalian diri.
Berlandas dua kapabilitas tersebut, daya kreativitas-inovatif dan daya karakter, niscaya pembenahan mendasar atas silang sengkarut kurikulum pendidikan semenjak orde Soeharto berkuasa hingga belakangan ini bisa dipenuhi. Pertama, pembenahan di tingkat menengah pertama, bahwa seyogianya rumpun ilmu baru mulai diperkenalkan, untuk persiapan menghadapi pelajaran sesungguhnya di menengah atas. Karena sekolah yang sebenarnya, dalam arti mendalami keilmuan dimulai pada tingkat sekolah menengah atas.
Kedua, di tingkat perguruan tinggi, orientasi pendidikan sebagai pilar dalam mendukung pembangunan nasional. Sehingga kurikulum diarahkan ke sana. Ketiga, untuk pendidikan dasar, cukup dengan pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan keutuhan kemanusiaan. Bahwa pendidikan adalah proses belajar memanusiawikan manusia tatkala pikir, rasa, karsa, dan raga, berkembang.
Sehingga, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, menulis.
Budaya baca itu penting, mengingat terpaan media digital yang kian darurat, yang mendangkalkan, serba ringkas, dan instan. Sehingga, sekolah harus menyediakan bahan-bahan bacaan bermutu sastrawi, dan siswa bebas membaca atas pilihannya sendiri. Kemudian, siswa dilatih untuk menuturkan apa yang ditangkap dari bacaan.
Jadwal pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis ini menjadi subjek pelajaran tersendiri, yang tidak sekadar diletakkan atau jadi bagian dari pelajaran bahasa, tetapi terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.
Selain itu belajar menghitung dasar: penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Itu saja, tidak lebih. Pelajaran matematika resminya mulai dikenalkan pasca-SD.
Kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan wahana olah rasa untuk mengasah solidaritas, ketajaman rasa keadilan, kepekaan estetik, dan kehalusan perasaan. Oleh karenanya, selain materi olah pikir—membaca, menulis, menghitung, dan menutur—perlu diberikan pelajaran kesenian, kesejarahan, kepahlawanan, moral keagamaan, budi pekerti (karakter personal), dan pendidikan kewargaan (karakter bangsa).
Kurikulum juga merambah wahana olah raga guna mengembangkan ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan jasmani. Serta, kurikulum harus menumbuhkan olah karsa, yakni kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas inovatif dan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasi potensi kecerdasan masing-masing anak, berdasar multiple intelligences.
Dengan demikian, Yudi Latif hendak meneguhkan haluan pendidikan sebagaimana yang diangankan dan direalisasikan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar mendirikan Taman Siwa sebagai perpaduan sistem persekolahan modern ala Belanda dan konsep pesantren-madrasah yang dikembangkan para inteligensia muslim.
Kemudian Yudi meringkasnya sebagai pendidikan yang berkebudayaan. Bahwa pendidikan sedianya menuntun kodrat-kodrat bawaan dengan mengaktifkan budi-pekerti. “Budi” mengandung arti “pikiran, perasaan, dan kemauan”; “pekerti” artinya “daya”. Sehingga, “budi-pekerti” sama dengan “budi-daya” (ditulis “budaya”). Dengan begitu, pendidikan budi pekerti adalah pendidikan berkebudayaan yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad-kemauan yang melahirkan penciptaan dan perbuatan yang benar, baik, dan indah.
Namun, cita pendidikan yang berkebudayaan tersebut terkendala oleh tingkat keberaksaraan rendah dan kecupetan erudisi. Hal itu karena, pertama masih mengakarnya vokasionalisme, yakni suatu konsep utilitarian dari lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan stok tenaga kerja siap pakai. Kedua, terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya media sosial. Penggunaan media sosial dapat dikatakan sebagai literasi semu. Meskipun aktivitasnya memerlukan kemampuan baca-tulis, tetapi hakikat penggunaannya merupakan perpanjangan dari tradisi lisan. Banjir media digital memang sedikit menolong pengembangan olah karsa, tapi selebihnya merupakan racun buat olah pikir, olah rasa, dan olah raga.
Padahal untuk bisa mengambil manfaat dari kemajuan peradaban yang mengalir deras lewat arus globalisasi, pendidikan harus mampu merawat dan menyuburkan kapabilitas kreativitas-inovatif dan karakter pembelajar seperti literasi, numerasi, melek sains dan teknologi, dan penalaran praktis. Pendidikan mesti sanggup mendayakembangkan nalar etis, nalar literasi, dan nalar ilmiah yang kuat.
Sekira tidak, transformasi pendidikan yang berkebudayaan itu benar-benar sekadar angan kosong. Pendidikan yang berkebudayaan akan menguap tertelan kelam tatkala rasa saling percaya di tengah lingkungan masyarakat lemah lantaran minus etis, daya baca cetek, tradisi ilmiah dangkal, hoaks merajalela dan ujaran kebencian merebak.
Maka, tidak bisa tidak cakupan pendidikan yang berkebudayaan adalah menangkal tendensi budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap tuntutan-tuntutan praktis. Pendidikan yang berkebudayaan adalah memupuk ajaran welas asih Tuhan yang Maha Tak Terhingga. Pendidikan yang berkebudayaan ialah menginsafi segala makhluk sebagai ciptaan Tuhan. Bahwa semua manusia dipandang setara dan bersaudara. Kemudian cita rasa kemanusiaan itu akan bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks keindonesiaan. Ya, suatu pendidikan yang meniscayakan kesediaan pembelajar untuk menjaga harmoni keberagaman etnis, ras, dan bahasa dalam kebersamaan, dalam persatuan.
Pendidikan yang berkebudayaan juga berarti respek terhadap otoritas kerakyatan, otoritas permusyawaratan, dan otoritas pemangku kebijakan yang penuh hikmat, penuh bijaksana. Pendidikan yang berkebudayaan adalah pemuliaan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kepantasan.
Alhasil, pendidikan yang berkebudayaan tak lain tidak bukan sebagai upaya transformasi nilai-nilai Pancasila. Dan, Yudi Latif konsisten mengusung gagasan ini, setidaknya begitulah yang terukir dalam Pendidikan yang Berkebudayaan.