Oleh. Amaliah Nurfajrianti

“Saya sangat bangga dan bahagia, karena akhirnya di kampung kita ada Taman Bacaan, semoga ini menjadi tempat untuk menumbuhkan minat baca anak-anak kita”. Demikan sebagian isi dari sambutan Bapak Kades saat meresmikan Taman Bacaan Masyarakat Tintaku* tepat satu tahun yang lalu. Taman bacaan masyarakat merupakan jantung pendidikan masyarakat, dengan bahan bacaan yang disediakan diharapkan mampu memotivasi dan menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca bagi aksarawan baru, warga belajar, dan masyarakat. Kita semua pasti sepakat bahwa membaca merupakan suatu kebiasaan yang mesti dilakukan tiap hari sebagaimana memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Sejenak saya flashback pada masa perintisan TBM Tintaku. Berawal dari kegemaran saya membaca buku hingga mengoleksi buku dengan genre atau penulis tertentu, hingga kegundahan menyaksikan fenomena anak-anak yang lebih menggandrungi memainkan handphone dibandingkan membaca buku. Hal tersebut diperparah dengan masuknya masa pandemi Covid-19 pada pertengahan Maret 2020 silam, yang mengharuskan anak-anak untuk belajar di rumah (BDR) dan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang pada umumnya berpola daring. Kondisi tersebut tentu lebih mengintenskan mereka berinteraksi dengan gawai yang dimilikinya. Beranjak dari kondisi tersebut, kami merasa inilah momen yang tepat menyediakan tempat membaca yang kondusif bagi anak-anak di lingkungan tempat tinggal kami. Kami selalu yakin bahwa minat baca anak-anak pasti akan terbangun; budaya literasi pasti akan terbentuk bila difasilitasi dengan baik disertai dengan pembiasaan membaca secara kontinu. Bukankah perilaku yang ajeg akan terbentuk melalui pembiasaan-pembiasaan yang rutin dilakukan?.

Kami menyadari pengelolaan TBM di lingkungan kami ini adalah ‘sisa waktu’ yang sudah barang tentu hanya sedikit porsinya, di awal peresmian antusiasme pengunjung TBM masih cukup tinggi, selang empat bulan berjalan hingga satu tahun ini, nyaris sepi. Sesekali, kami berupaya melakukan TBM_mobile; yaitu pengelola TBM membawa sejumlah buku kemudian menyambangi suatu tempat terbuka umum (misalnya lapang) dan anak-anak diundang datang ke tempat tersebut untuk membaca buku Bersama. Namun lagi-lagi jadwal tersebut tidak bisa dibuat tetap, mengingat kesibukan dari pengelola TBM itu sendiri. Saya menduga kondisi ini bukan hanya berlaku di TBM kami saja, mungkin di TBM lain pun mengalami kondisi yang sama.

Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di
sekolah-sekolah saat ini yang timbul tenggelam. GLS sebagai turunan dari Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016 memiliki visi dan misi hebat, yaitu sebagai upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah baik guru, peserta didik, orang tua/wali murid, dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca senyap selama 15 menit yang disisipkan di sela-sela jam pelajaran di kelas (misalnya 15 menit sebelum istirahat pertama). Tidak hanya itu, kegiatan lain dalam GLS adalah Readhaton; yaitu kegiatan membaca yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah biasanya dilakukan di luar kelas ataupun di ruangan lain yang memiliki kapasitas besar. Readhaton biasanya dilakukan sebulan sekali, dan pada event tersebut dilakukan presentasi review buku oleh siswa maupun guru.

Saya menilai kegiatan GLS ini erat hubungannya dengan kebijakan pimpinan di suatu sekolah, komitmen, tanggung jawab, dan partisipasi dari semua warga sekolah, terutama para guru yang menjadi ujung tobak pembiasaan membaca di setiap kelas. Kepala sekolah yang concern dengan GLS cenderung akan berupaya memastikan kegiatan ini berlangsung dengan kontinu. Bahkan boleh jadi kepala sekolah tersebut akan memberikan apresiasi khusus (reward) kepada guru atau siswa yang mampu melampaui target review buku dalam kurun waktu tertentu. Apalagi bila kegiatan refleksi dan evaluasi secara rutin dilakukan oleh guru dan kepala sekolah tersebut, maka sudah dapat dipastikan GLS akan berlangsung efektif dan sukses tentunya.

Esensi dari GLS adalah menumbuhkan budi pekerti siswa yang bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat. Kegiatan rutin ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca. Efek penyerta (nurturant effects) dari keberhasilan GLS adalah terbentuknya kecintaan siswa terhadap kegiatan membaca dan lahirnya kompetensi-kompetensi yang diharapkan eksis di abad 21 ini (21st century life skills). 21st century skills atau kemampuan abad 21 merupakan serangkaian soft skills yang hadir untuk menjawab tantangan yang ada di abad ini, yang meliputi kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, kolaborasi, komunikasi, dan berpikir komputasi (computational thinking).

Jadi keberhasilan TBM maupun GLS bisa ditakar dari keberpihakan kebijakan serta komitmen dari seluruh warga dalam ekosistem tersebut. Membiasakan suatu hal baik namun dianggap tidak menarik bagi sebagian orang (membaca) adalah tantangan tersendiri bagi penggerak literasi. Menciptakan atmosfer ‘gemar membaca’ hingga akhirnya tercipta ‘budaya membaca’ tidak seperti membuat mie instan, namun ada proses panjang dibalik itu. Mari mulai menginisiasi dari hal-hal kecil disekitar kita, agar geliat literasi menjadi nyata adanya, sehingga cita-cita untuk membentuk masyarakat literat menuju bangsa yang bermartabat dapat terwujud, salam literasi.

*Penulis adalah seorang guru IPA di SMPN 1 Gegerbitung Kabupaten Sukabumi yang juga pegiat literasi, pendiri/pengelola TBM Tintaku [Tempat Inspirasi Pecinta Buku]