Oleh: Sofie Dewayani
Saat saya menjejakkan kaki di Imam Khomeini International Airport, malam tengah merayap. Akan tetapi, geliat kota Tehran terasa hidup. Jejak kemajuan di negara yang diembargo Amerika ini tampak pada bentang jalan yang mulus dan kokoh, jembatan dan lorong bawah tanah yang bersilangan, menggiring mobil-mobil yang sebagian besar berupa sedan tua berwarna putih buatan Eropa dan Jepang.
Sejak dulu Iran konon dikenal cantik tanpa harus bersolek kemayu. Bangsa Parthia di Iran yang dulu menguasai jalur perdagangan sutera dari Cina berhasil mengusir tentara Romawi dengan mengibarkan bendera-bendera sutera mereka di bawah terik matahari sehingga berkilau-kilau menakutkan. Tak hanya sutera, bangsa Parthia juga membarter mutiara dari saudagar Cina dengan rempah-rempah dan buah-buahan yang menjadi komoditi unggulan Iran. Ruas jalanan di Mashhad, di utara Iran, pun sejak dulu dikenal mulus sehingga melejitkan peran Iran sebagai penentu strategis perdagangan di jalur sutera.
Kemolekan ini pun lalu rapuh di penghujung kekuasaan Shah Iran di era tahun 1970an. Inflasi sangat tinggi, korupsi merajalela, pembangunan hanya terjadi di perkotaan sehingga arus migrasi ke kota sangat tinggi. Produksi pertanian menurun drastis sehingga negara harus mengimpor buah-buahan yang biasa mereka produksi sendiri. Ketika banyak media melaporkan situasi politik dan ekonomi yang melatari pergantian pemerintahan Iran yang ditandai Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, Brian Street, seorang antropolog Inggris, justru memilih untuk tinggal di Mashhad di penghujung tahun 1980 itu. Ia merekam bahwa desa Cheshmeh, penghasil buah-buahan di pinggiran Mashhad, memiliki strategi bertahan yang menarik.
Street mencatat fakta unik bahwa para petani buah dan gandum di Chashmeh tidak lulus pendidikan dasar di sekolah formal, dan karenanya tidak “literat” dalam definisi yang ditetapkan UNESCO ketika itu. Menariknya, petani-petani ini cukup berhasil mencukupi kebutuhan pangan untuk Mashhad dan kota lain di sekitarnya dengan mengembangkan gandum dan buah di lahan milik mereka. Hal ini bertentangan dengan asumsi ekonomi yang berlaku umum ketika itu bahwa produktivitas pertanian akan lebih mudah dipacu dengan kepemilikan lahan kolektif–atau tuan tanah yang mampu membeli peralatan modern–dan mekanisasi pertanian. Meskipun tidak menggunakan peralatan modern, para petani ini bekerja secara komunal. Mereka mengkordinir sistem kerja, sistem dan giliran irigasi, juga pengangkutan hasil pertanian mereka ke kota. Dalam situasi politik dan ekonomi nasional yang bergejolak, mereka tak hanya bertahan, namun memperoleh keuntungan yang sangat besar. Beberapa figur petani menjadi kaya-raya dan aktif membangun Cheshmeh dan sekitarnya.
Brian Street membagi kegiatan literasi di Iran ketika itu ke dalam tiga kategori; (1) literasi sekolah (schooled literacy) yang lebih sistematis, berorientasi ke paradigma keilmuan Barat dan sekuler, (2) literasi maktab – kegiatan mengkaji Quran, Hadits, dan literatur keagamaan lain, serta (3) literasi komersial yang mencakup kecakapan dan pengetahuan yang dikembangkan petani dalam mencari nafkah. Menariknya, Street menemukan bahwa literasi komersial terkait erat dengan literasi maktab, dan tidak dengan literasi sekolah. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Meskipun petani-petani Cheshmeh tidak mengenyam pendidikan formal, mereka secara aktif mengkaji literatur keagamaan dibimbing oleh para mullah dan ulama. Pengkajian teks relijius ini, menurut Street, ternyata jauh dari asumsi akademisi Barat ketika itu bahwa pengkajian Al Quran merupakan bagian dari tradisi lisan yang menitikberatkan pada hafalan ayat dan pemaknaan harfiah semata. Di Cheshmeh, dan di banyak tempat lain di Iran, praktik pengkajian Al Quran dilakukan secara kontekstual, dengan perangkat ilmu logika dan hikmah. Mullah dan ulama bahkan memberikan panduan dan fatwa terhadap permasalahan sehari-hari, termasuk yang terkait dengan kegiatan bertani. Para petani meningkatkan pengetahuan agrarianya dalam literasi maktab dan merundingkan cara untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka. Menurut Street, keloyalan para petani dengan literasi maktab menjadi simbol resistensi mereka terhadap hegemoni Barat yang identik dengan Shah Reza Pahlevi saat itu.
Paska Revolusi Islam, literasi pada pendidikan dasar tidak lagi terbelah antara pendekatan maktab dan sekuler. Muatan Islam terintegrasi dalam pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan tinggi, literasi maktab dalam bentuk hauzah dan universitas umum menjadi dua metode yang berkembang berdampingan. Hauzah yang dikelola oleh para mullah dan ulama menjadi wahana tumbuhnya tradisi pemikiran yang mengkritisi, bahkan mengembangkan wacana keilmuan kontemporer. Pola keterbukaan dan sistem pengembangan kurikulum yang dinamis dimungkinkan dengan dukungan dana umat dalam bentuk khumus, semacam zakat atau cukai pendapatan yang dikelola langsung oleh mullah dan ulama. “Dana crowdfunding umat ini” (Toutounchian, 2011) tidak hanya memapankan sistem literasi maktab, namun juga memulihkan kondisi keuangan negara saat resesi ekonomi terjadi. Saat ini, meskipun kecakapan literasi masyarakat Iran tidak terukur oleh tes PISA (Programme for International Student Assessment), UNDP (United Nation for Development Programme) mencatat Iran termasuk negara yang memiliki Human Development Index (HDI) yang tinggi, yaitu peringkat 69 (sementara itu, Indonesia berada di urutan 113 dari 188 negara).
Praktik literasi kontekstual ini lalu melatari lahirnya ide “literasi ideologis’ yang dipertentangkan dengan ‘literasi otonom (autonomous)’ yaitu praktik literasi yang mengabaikan konteks sosial- budaya – agama yang mengasumsikan bahwa semua orang, di manapun mereka berada, belajar dan memperoleh pengetahuan dengan cara dan proses kognitif yang seragam. Tahun 1990an ditandai dengan maraknya penelitian etnografi yang mendokumentasikan beragam cara masyarakat di berbagai belahan dunia mempraktikkan literasi. Dihimpun dalam Kajian Literasi Baru (New Literacy Studies – NLS), studi-studi di Bangladesh, Ghana, India, Namibia, dan Eritria (sebagaimana dihimpun dalam Literacy and Development yang terbit tahun 2001) ini menganalisis makna membaca, menulis, dan mencerna pengetahuan dalam konteks sosial, budaya, dan praktik keagamaan yang spesifik. Tak hanya itu, studi etnografi ini lalu mengidentifikasi bagaimana komunitas dengan praktik literasi spesifik ini berkontribusi dalam perekonomian regional. Studi ini lalu mengkritisi ukuran-ukuran modernitas yang melihat keberhasilan pendidikan dari masa partisipasi dan ketuntasan siswa dalam pendidikan formal. Literasi diyakini tak dapat dikungkung oleh formalitas pendidikan.
Kajian literasi ideologis ini dianggap terlalu meromantisasi praktik literasi komunitas yang terpencil atau masyarakat di negara di luar peradaban Barat. Kritik terhadap literasi ideologis mengemuka karena bagaimanapun fakta menunjukkan bahwa kekuasaan (power), status sosial, dan akses terhadap lapangan pekerjaan tetap memihak mereka yang memiliki ijazah sekolah formal. Belum lagi asesmen literasi global seperti tes PISA telah memerangkatkan kinerja negara-negara berdasarkan perilaku dan kecakapan literasi dengan standar literasi (cara berpikir dan memahami teks) yang otonom begitu diamini dan menyadarkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahwa mereka gagap memenuhi salah satu standar modernitas.
Meskipun tes ini setidaknya telah melecut Indonesia untuk menyadari peran penting literasi, tak ada salahnya kita tidak menganggap literasi ala PISA sebagai satu-satunya tolok ukur. Seperti dikemukakan Street, kita perlu menunda penghakiman tentang tingkat literasi seseorang atau suatu kelompok sebelum kita memahami apa makna literasi bagi seseorang tersebut. Seseorang mungkin saja ‘iliterat’ dalam standar PISA namun telah mempraktikkan literasi dengan tujuan dan dalam konteks yang spesifik. Praktik literasi maktab tentunya menyadarkan kita bahwa literasi memiliki dimensi yang kaya. Pemberdayaan negara melalui literasi sejatinya bukan bertujuan untuk menaikkan peringkat negara pada tes PISA, tetapi meningkatkan kesejahteraan sosial bangsa.[]
*) foto utama: Makam penyair Firdausi di luar Kota Mashhad (doc. pribadi Sofie Dewayani)