Nah, gitu dong. Hebat! Itu baru anak Ayah-Bunda!”

Berapa   banyak   orang   tua   yang   mengatakan   hal   itu   kepada   anaknya   ketika   si   anakmemperoleh   nilai   tinggi,  di   mata   pelajaran   tertentu,   lalu   menggerutu   ketika   si   anakmendapat nilai rendah? Atau ketika si anak mendapatkan juara dia dipuji setinggi langit. Tetapi ketika dia kalah dia dicibir, meskipun hanya sebatas candaan.

Pernahkah   kita   berpikir   bahwa   tindakan   itu   melukai   hatinya? Membuatnya   menjadiseseorang yang ambisius?

Pikiran tentang hal itu terlintas di kepala saya setelah sebuah kejadian cukup menarik yang saya alami. Beberapa hari yang lalu saya agak tercengang melihat seorang siswa SD menangis cukup histeris ketika tidak terpilih mewakili sekolah di sebuah ajang lomba. Saya tahu dia kecewa. Ketika itu saya adalah orang yang bertanggung jawab menyeleksi perwakilan sekolah. Maka,bisa jadi anak itu kecewa pada saya. Ketika saya hampiri dan saya peluk, anak itu tidak menolak. Saya cukup bingung, karenamendapatkan respon baik. Saya tunggui dia sampai selesai menangis. Ketika tangisnya reda,saya minta maaf padanya. Saya mencoba membesarkan hatinya. “Takut dimarahi Ibu,” katanya ragu-ragu.

Saat   itu   juga   saya   memahami,   bahwa   orang   tuanya,   baik   sadar   maupun   tidak,   telahmenitipkan sebuah ‘ambisi’ pada anaknya. Ambisi untuk menjadi yang terbaik. Ambisi untukselalu berprestasi dalam sebuah kompetisi. Hal itu menjadi parameter si anak yang ditanamoleh orang tua lewat pola asuhnya.

Tetapi kita tidak bisa memandang sikap orang tua si anak itu secara hitam-putih belaka. Sayameyakini, di balik pola asuh tersebut hal yang dicita-citakan orang tuanya pastilah baik. Agaranaknya  selalu  berusaha  berprestasi,  selalu  berusaha  menjadi  orang  yang    pandai,  agaranaknya menjadi orang yang pintar, dan lain-lain.

Hanya saja, sikap yang ditunjukkan ketika si anak mengalami kegagalan bisa jadi kurangtepat. Anak-anak tentu belum mampu memahami makna tersirat dari ucapan dan tindakankita. Apa yang dia dengar adalah yang dia pahami. Maka, ketika anak mengalami kegagalan, orang tua harus hati-hati mengambil sikap.

Hal-hal berikut bisa menjadi cara atau alternatif yang bijak menyikapi kegagalan anak kita.

Pertama, besarkan hatinya. Ketika anak mengalami kegagalan, hibur dia dengan kata-kataseperti “Tidak apa-apa, yang penting Adik sudah berusaha!”, “Tenang, masih ada kesempatanlain.   Besok   kita   coba   lagi,   ya!”.

Kata-kata   sederhana   itu   adalah   penghiburan   palingmenentramkan baginya yang sedang kecewa.

Kedua, berikan quality time. Berikan waktu khusus pada si anak untuk menenangkan hatinyadan bercerita. Hal itu akan membuatnya lebih mudah menerima kegagalan karena merasaditemani.

Ajak   dia   bercerita,   tetapi   jangan   buru-buru   memaksanya   mengungkapkan kekecewaannya.   Jika   sudah   benar   merasa   nyaman   dan   menerima,   anak   akanmenceritakannya   sendiri   pada   orang   tua.   Hadirkan   kisah   inspiratif   tentang   orang-orangsukses yang dulunya pernah gagal berulang kali. Hal itu akan mengobati rasa kecewanya.

Ketiga, ajak evaluasi. Ketika anakk sudah bisa berdamai dengan rasa kecewanya, ajak diamengevaluasi kegagalan kemarin. Hal itu akan mengajarkan anak untuk naik satu tingkatlebih baik.

Seperti kata pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik”, jadikan pengalamankemarin sebagai motivasi untuk berusaha lebih baik lagi. Dengan melakukan hal-hal tersebut, anak tidak merasa ditekan untuk berprestasi. Anak akan terhindar   dari   sikap   ambisius   yang   mengungkungnya. Anak   akan   berprestasi   atas keinginannya karena menjadi anak berprestasi sangat menyenangkan. Semoga bermanfaat.

Tabik.