Tidak terasa, sudah sepuluh episode cerita Nashruddin Khoujah. Dari cerita-cerita yang ditulis, memang semuanya menertawakan akal. Namun dalam posisi dalam cerita, Nashruddin sebagai tokoh menyampaikannya denga napa adanya, polos dan tidak bertendensi apa-apa.
Retorika dan logika serta metafora-metafora yang disampaikan Nashruddin dalam cerita menjadi penting dalam menyampaikan makna, dimana masing-masing berperan supaya kesadaran uangkapan di balik misi itu dapat diserap dengan baik.
Kritik yang tajam, dibalut dengan nuansa humor yang baik menjadi kata-kata manis. Kata-kata yang mungkin dapat ditertawakan bersama-sama, namun sarat makna. Seperti dalam cerita KELEDAI TIDAK SETUJU
Seorang laki-laki datang kepada Nashruddin untuk meminjam keledainya. Namun Nashruddin berkata, “Aku akan menanyakannya terlebih dahulu.” Lalu ia masuk ke kandang. Sekembalinya dari kandang, ia berkata, “Aku tanya keledaiku, tetapi ia tidak setuju, sebab ia mengira engkau akan mencambuknya dengan cambukan yang menyakitkan, dan engkau juga sekaligus akan memaki sebagaimana pemiliknya.”
Mari sejenak berpikiri dengan cerita di atas, inilah barangkali yang dibutuhkan orang-orang Indonesia. Anekdot-anekdot atau humor-humor, dimana pembacanya dapat merenung sejenak dan berinstrospoksi diri dari kejenuhan-kejenuhan rutinitas dan tayangan politik yang tak habis-habisnya. Sehingga nalar manusianya menjadi tumpul.
Mudah-mudahan anekdot-anekdot dapat kembali mempertajam nalar manusia Indonesia menjadi tajam kembali.