Categories
Artikel Opini

Mengenal Papua Melalui Bacaan Anak

Oleh Dayu Rifanto

“Saya tersentak melihat rumah honai di pinggir pantai, pada ilustrasi buku bacaan anak berlatar Papua yang saya baca”

Menggalang donasi buku, dan mengirimkannya berbagai taman baca di Papua, telah saya lakukan sejak 2012. Hal ini membuat saya jatuh cinta pada buku bacaan anak berlatar Papua, khususnya. Saya memandang buku sebagai sebuah pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide serta pandangan tentang Papua. Sayangnya saya menemukan hal mengejutkan pada buku bacaan anak berlatar Papua. Antara lain minimnya judul buku bacaan anak berlatar Papua, permasalahan penggambaran budaya Papua pada beberapa buku, juga kurangnya penulis bacaan anak yang berasal dari Papua.

Pada awal tahun 2015, seorang kawan memberi pertanyaan reflektif yang menarik sekaligus menohok. “Bagaimana, buku – buku anak yang dikirim apakah ada yang kontekstual dengan lingkungan di Papua?” tanya kawan saya itu. Tentu saja, jawabannya telah jadi rahasia umum. Begitu sedikit buku bacaan anak berlatar Papua yang terkumpul dan ikut dikirim.

Minimnya Buku Bacaan Anak Papua

Memang tak mudah mencari buku bacaan anak berlatar Papua di toko buku atau pasar perbukuan, pada tahun 2012 – 2014. Dalam proses pencarian, saya menemukan bahwa bacaan anak berlatar Papua yang bisa ditemukan, banyak yang diterbitkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, ataupun yang digagas oleh NGO baik asing maupun lokal.
Sebagai contoh buku “Kisah Nuri dan Kakatua”adalah buku yang diterbitkan dari kerjasama pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat, Dinas Pendidikan Provinsi, serta Sekolah Tinggi Seni Papua dan Australian Aid serta Unicef.

Contoh lain, misalnya buku yang diterbitkan Universitas Papua “Fabel Suku Irires”, atau misalnya buku-buku bacaan yang dibuat oleh Summer Institute of Linguistics (SIL) Jayapura yang bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Di satu sisi buku-buku seperti ini membantu para pembaca dengan buku bacaan kontekstual, serta menjadi program yang baik oleh pemerintah. Tetapi bagi mereka, di luar program tersebut yang ingin mencari dan membeli buku ini karena ingin membacanya, akan menemui kesulitan.

Sebab buku ini tidak dijual bebas di toko buku, karena sifatnya terbatas hanya untuk program, dan biasanya program seperti ini sudah bekerja sama dengan sekolah – sekolah di daerah tertentu di Papua yang menjadi target sasaran program tersebut.

Dari hasil pencarian ini, akhirnya terkumpul juga satu demi satu koleksi bacaan anak berlatar Papua. Saya pun menjadi pembaca buku-buku anak berlatar Papua yang tekun.
Tetapi, betapa terkejutnya ketika mendapati buku-buku anak yang dibeli pada pasar perbukuan atau toko buku, sebab saya melihat rumah honai di pinggir pantai, pada ilustrasi buku bacaan anak berlatar Papua yang diterbitkan penerbit major di Indonesia.

Akurasi Budaya dalam Buku Anak

Saya menemukan, masih ada banyak buku bacaan anak yang menggambarkan bahwa rumah tradisional atau yang merupakan representasi Papua, adalah honai. Hal itu dapat kita baca pada beberapa buku, misal “Masarasenani dan Matahari (Grasindo, 2015)” “Telaga Werabur (Balai Pustaka, 2017)” “Asal Mula Nama Irian (Balai Pustaka, 2017)” “Cendrawasih Burung Cantik dari Bumi Papua (Wanamedia, 2018),” juga “Bunga dan Burung Cenderawasih (Mizan, 2019).”

Seperti kita ketahui, menyitir buku “Papua Dalam Arus Sejarah Bangsa (kemdikbud, 2019)” di Papua terdapat 257 suku bangsa. Semua suku bangsa tersebut dikelompokkan menjadi tujuh wilayah adat. Lima wilayah adat dengan nama Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago dan Mee Pago, berada pada provinsi Papua.

Sedangkan dua wilayah adat lainnya, Bomberai dan Domberai, berada pada Provinsi Papua Barat. Selain itu, jika kita lihat berdasarkan ekologi, maka di Papua terdapat empat zona ekologi utama yang akan membuat pandangan kita menjadi lebih luas, saat melihat Papua.

Zona ekologi tersebut adalah zona ekologi rawa (swampy areas), serta daerah pantai dan muara sungai (coastal and reverine areas). Kedua, adalah dataran pantai (coastal lowland areas), ketiga adalah kaki gunung serta lembah-lembah kecil (foothills and small valleys), dan keempat adalah pegunungan tinggi (highlands).

Ini membuat orang Papua yang tinggal dalam ekologi berbeda tersebut, akan menyesuaikan kehidupannya dengan tantangan alamnya. Sebagai contoh misalnya yang tinggal di wilayah ekologi rawa, semisal orang Asmat, hidup dengan meramu sagu, dengan pencarian ikan adalah sebagai pelengkap.

Sedangkan misalnya orang Papua yang tinggal dan mendiami zona ekologi pegunungan misalnya suku Dani dan Mee, mereka akan bertani di samping beternak babi. Perbedaan kondisi geografis dan sosial budaya yang hidup dan berkembang di Papua tersebut menghasilkan beragam bentuk arsitektur tradisional dan pola permukiman, di mana honai, hanya merupakan satu dari sekian banyak rumah tradisional lainnya di Papua.

“Dengan informasi yang terbatas tentang Papua, justru buku anak yang berlatar Papua malah bukan menambah informasi, tetapi justru menyampaikan informasi yang tidak sesuai juga” pesan kawan saya, Nurdana Pratiwi, seorang penggiat literasi di Raja Ampat, yang ikut miris menemukan kenyataan ini.

Mengapa demikian? Sebab, rumah tradisional honai selain bisa dihuni oleh banyak orang karena tidak memiliki pembagian ruangan, dan dengan perapian di tengah ruangan digunakan sebagai penghangat diri dari dinginnya cuaca di daerah tersebut, yaitu daerah pegunungan di Papua.

Honai tidak memiliki jendela, dengan tujuan sekali lagi, untuk melawan rasa dingin dan menjaga dari serangan binatang buas. Jadi sekarang, pembaca mulai bisa membayangkan, bagaimana rasanya ketika ada rumah honai tanpa jendela dengan tujuan menghalau rasa dingin, yang dibangun di pinggir pantai yang begitu panas iklimnya. Apakah kita memang sengaja dibuat berkeringat setiap hari?

Pada buku lainnya “Ataruri si Prajurit Tepuk Tangan” dapat kita temukan sebuah cerita yang mengambil latar belakang anak – anak pada suku Asmat yang pada kenyataan secara geografis mendiami pesisir selatan Papua, tetapi dalam penggambaran cerita melalui buku menyebut bahwa suku tetangganya adalah suku Ayamaru.

Yang perlu diketahui adalah suku Ayamaru adalah nama yang digunakan untuk menyebut nama suku bangsa yang dikategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli Papua, yang secara etimologi, kata Ayamaru terdiri dari dua kata, aya dan maru. Aya yang berarti air, dan maru yang berarti danau. Jadi, nama Ayamaru artinya suku bangsa yang tinggal dekat air danau, di daerah kepala Burung, Papua Barat – yang amat sangat jauh dari pesisir selatan Papua.

Kristofel M. Ajoi, seorang dosen antropologi Universitas Papua juga menyatakan bahwa perlu ada konfirmasi mengenai karya para penulis, terutama jika para penulis tidak berasal dari pemilik cerita atau suku tersebut. Juga memastikan berulangkali agar karyanya dapat diterima baik oleh pemilik cerita maupun diterima oleh publik.

Penulis Bacaan Anak dari Papua

Dari sekian banyak buku yang saya temukan dan dokumentasikan, sayang sekali sebagian besar, dapat dikatakan demikian, ditulis oleh mereka dari luar Papua. Misalnya, jika saya tanyakan kepada Anda, para pembaca. Siapa penulis bacaan anak dari Papua yang anda sukai? Tentu, tidak mudah menjawabnya.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan penulis dari luar Papua, selama apa yang ditulisnya akurat secara budaya, dan dengan pemahaman yang baik.

Tetapi akan lebih baik lagi, jika kita bisa melihat semakin banyak penulis dari Papua, yang hadir serta disambut oleh masyarakat kita. Dari buku-buku bacaan anak yang terdokumentasi, saya menemukan beberapa penulis dari Papua, yang saya rasa perlu kita ketahui, dari begitu sedikitnya penulis dari Papua.

Bapak C. Akwan adalah penulis senior yang cukup menonjol. Selain menulis, ia juga dikenal sebagai pencipta lagu. Salah satu karya ciptaannya, yang ia buat di kamar indekosnya di bilangan Kayu Putih, Jakarta Timur tahun 1984, ia beri judul “Gembala Baik Bersuling Nan Merdu” – karyanya ini pernah menjadi 20 lagu pop Kristen terbaik tahun 1980-an.

Betapa beruntungnya, ketika saya berkesempatan berkorespondensi dengan beliau. Ia menceritakan salah satu kisah perjalanan menulisnya, hingga bukunya yang masuk buku Inpres pada akhir tahun 70an. Pada mulanya, ia belajar menulis pertama kali di Sekolah Sambungan Putra berasrama di Miei, Wondama, tahun 1958. Sekolah ini sambungan Sekolah Rakyat Kampung Tiga Tahun dan menerima murid-murid berusia paling kurang dua belas tahun dari berbagai daerah yang lulus ujian masuk.

Pelajaran menulis pun ia tingkatkan ketika kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1970-an. Majalah Morning Star terbitan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UKSW menjadi salah satu sarana menulis baginya, selain Topchords, majalah musik pop terbitan Salatiga dari pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1980-an.

Yanes, Penakut yang Menjadi Pemberani, karya saya diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1978. Dan oleh Departemen PDK Nasional di Jakarta, dicetak ulang sebanyak 500 ribu eksemplar dan masuk dalam penerbitan suatu proyek Instruksi Presiden (Inpres) serta disebarkan ke berbagai SD di Indonesia.”

Penelusuran bacaan ini melabuhkan saya dengan salah satu penulis buku bacaan anak dari Manokwari, yang cukup produktif. Yaitu Margried Pondajar. Ia menulis banyak buku bacaan anak bergambar yang bersumber dari cerita rakyat. Antara lain ada “Si Kembar Mui dan Miyepa,” “Kisah Burung Pipit dan Kasuari” juga “Putri Duyung dan Isaiyori,” sebuah dongeng klasik dari suku Arfak Hattam.

Harapan Kita

Riset Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Indonesia yang dilakukan Kemdikbud pada tahun 2019, menyatakan bahwa Papua dan Papua Barat menjadi dua daerah yang menghuni peringkat terbaik dari bawah, dari 34 kabupaten di Indonesia.

Ini berarti, banyak sekali pekerjaan berat yang kita hadapi pada isu literasi di Papua. Buku-buku dapat menjadi sebuah pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide banyak orang tentang Papua.

Tetapi ini dapat dicapai melalui buku bacaan anak yang akurat secara budaya, beragam tema, dan ditulis oleh para penulis-penulis yang paham tentang Papua. Hal ini akan ikut membantu menampilkan Papua dengan lebih tepat hingga dapat diapresiasi oleh semua orang dan terjalin hubungan dengan pembaca dari daerah lain di Indonesia.

Besar harapan dengan demikian, akan tercipta rasa saling mendukung perkembangan literasi kontekstual dan kearifan lokal daerah masing-masing. Itu sudah.

Leave a Reply