(Tinjauan Pertemuan ke-2 Klab Buku)
Oleh BENNY ARNAS

Klab Buku petang kemarin (27-1-19), Yuhesti Mora, pendiri sekaligus pengelola Taman Bacaan Hesti Mora, diamanahi menjadi pemantik diskusi. Di salah satu bagian lahan berumput di Taman Olahraga Silampari itu, ia membawakan esai berjudul “Adik-adikku, Bertanyalah (Mengukur Seseorang dari Pertanyaan, bukan Jawabannya)”.
Melalui esai 4 halamannya itu, kami mendapatkan pengetahuan bagaimana “Bertanya” menjadi salah satu faktor penting untuk mengukur kualitas pembelajaran. Bagi saya ini menarik, seperti membuka kran pertanyaan usang: mana lebih dulu; ayam atau telur?
Hesti mengajak kita mengenang masa kecil yang polos dan penuh kejutan. “Paling tidak, hal itu tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap kita lontarkan,” ujarnya di awal pemaparan. Esainya lalu mengutip ungkapan ilmuwan Carl Sagan yang mengatakan kalau pertanyaan-pertanyaan kanak-kanak kita seperti apakah mimpi itu, kapan bumi berulang tahun, dan mengapa rumput berwarna hijau, adalah ledakan-ledakan yang hilang ketika kita tumbuh dewasa.
Lalu diskusi berkembang dengan menandai sejumlah persinggungan dengan isi esai. Bagaimana kedewasaan tidak membuat kita menjadi makin lepas dan bebas untuk mengutarakan sesuatu, melainkan makin sarat pertimbangan, sehingga yang lahir adalah pertanyaan yang penuh kosmetik atau bahkan memilih tidak bersuara sama sekali. Dalam urusan ini, ungkapan “Diam itu Emas” seakan menjadi versus dengan isi esai pemantik pertemuan kedua Klab Buku itu apabila kita tidak benar-bebar memahami posisi masing-masing kedua sikap itu.

Meskipun begitu, kami semua menyepakati bahwa urusan Bertanya dan Menjawab terpisah dari perkara Mendengarkan atau Menganalisa atau bahkan Mengkritik, misalnya. Bertanya dan atau Menjawab adalah pilihan setelah melalui proses utama yaitu Mendengar atau Menyimak. Pendengar/penyimak yang baik akan memancing seseorang untuk memutuskan tindakan selanjutnya; “bertanya” untuk mencerahkan atau memilih “diam” untuk meredam kenyinyiran.
Dalam forum-forum—yang kebanyakan didesain sedemikian rupa, orang dewasa kerap berhati-hati dalam mengutarakan banyak hal. Kadang kala bukan karena memang ia “benar-benar berhati-hati”, melainkan karena ia memikirkan apakah “bertanya” akan membuatnya malah tampak bodoh, norak, atau cari perhatian semata. Orang dewasa terlalu ingin tampil tanpa cela sehingga sebagian memilih melihat keadaan untuk kemudian memutuskan akan bersuara atau tidak. Dalam kasus lain, sungguh menyebalkan ketika kita mendapati seorang penanya menjelma pembicara tambahan dengan pameran ilmu pengetahuan dan ulasan kritisnya atas sebuah topik. Model begini, biasanya akan berbual dalam waktu yang cukup lama dan diakhiri dengan kesimpulan (atau jawaban) yang ia buat sendiri. Hasratnya hanya ingin “unjuk kekuatan”. Ujung-ujungnya, meski statusnya adalah penanya dalam sebuah forum, ia tidak akan mengajukan pertanyaan sebab ia memang tak ingin terlihat lebih rendah dari pembicara. Dalam kasus ini, kita bisa membayangkan: orang-orang dewasa sokpintar memilih “menjawab” tanpa didahului pertanyaan siapa pun, bahkan tidak oleh dirinya sendiri—oh alangkah mengenaskannya!

Dalam ranah kreatif, tak jarang, orang dewasa bertengkar dengan dirinya sendiri sebab ketakinginan (baca: ketakmampuan) mengutarakan pertanyaan di hadapan banyak orang. Pekerja kreatif beralih bahwa karya-karaynya adalah hasil pergumulannya dengan aktivitas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dirinya sendiri. Ini sungguh potensial diperdebatkan. Meskipun, dalam esainya, Hesti menulis bahwa seorang novelis, Patrick Rothfuss, memberikan poin tegas tentang lebih pentingnya bertanya ketimbang menjawab pertanyaan—bahwa pertanyaan yang tidak bisa kita jawab itu paling membuat kita belajar banyak, tetap saja ini harus diawali oleh sikap dan pikiran terbuka untuk berbagi dan menyerap pertanyaan dari mana pun, bukan diawali oleh kengototan untuk “membereskan dan menyelesaikan” banyak urusan sendiri saja. Kenyataan bahwa ia tak mampu merampungkan pertanyaan-pertanyaannya sendiri pada akhirnya potensial menimbulkan stress, depresi, dan idapan kerapuhan psikologis lainnya.
Meskipun judul besar esai Hesti adalah “Adik-adikku, Bertanyalah!” sebab ia memang menuliskannya untuk memotivasi dan membuka pikiran anak-anak di TBM-nya untuk berani mengungkapkan pendapat dan tidak takut kehilangan keberanian untuk menunjukkan keingintahuan dan kepenasaran, tapi sejatinya, paparannya petang itu sungguh berfaedah bagi orang dewasa agar mereka dikuatkan untuk menjemput kembali “kekayaan yang hilang”, yang pernah dirayakan dengan kegembiraan yang menumbuhkan dan merimbunkan ilmu pengetahuan di dalam cakra dirinya yang baru saja membuka ladang kehidupan.
“Saya menerapkan ini, selain penasaran dengan anjuran pada ilmuwan dan tokoh besar dunia tentang pentingnya bertanya, disebabkan karena saya juga percaya bahwa aktivitas bertanya yang mendarah daging dalam diri tiap anak akan membuat mereka menemukan diri mereka sendiri, membuat mereka tahu ke depan mereka akan mengalami dan jadi apa, membuat mereka tahu kalau cita-cita bukan sebatas angan, melainkan bola terang yang sudah bisa diintip sinarnya sejak mereka belajar menggunakan pikiran,” pungkas Hesti dengan bersemangat.
Untuk menutup ulasan ini, saya menjadikan dua kutipan dalam esai pemantik hari itu—filsuf Voltaire yang mengatakan “Judge a man by his questions rather than his answers” dan politikus Pierre Marc Gaston dengan “It is easier to judge the mind of a man by his question rather than his answer”—untuk membuat kita, paling tidak saya, mulai sekarang tidak lagi menganggap “bertanya” sebagai bagian dari budaya ketololan, apalagi memamerkannya dengan “menjawab” pertanyaan-pertanyaan yang tidak datang dari siapa pun.(*)
Lubuklinggau, 28-1-2018
Catatan:
Esai pemantik diskusi di atas sedang dalam perbaikan oleh penulisnya Hesti Mora dan akan ditampilkan di www.bennyinstitute.com begitu selesai.
Telaah atas pertemuan pertama “Sastra dan Revolusi 4.0” bisa dilihat di www.bennyinstitute.com
Klab Buku adalah majelis luring berbasis esai pemantik yang diinisiasi oleh bennyinstitute dan terbuka bagi siapa pun yang ingin mengasah nalar dan berpikir bernas. Mulai pertemuan ketiga (3-2-19), Klab Buku ini resmi berganti nama menjadi Klab Buku Lingkaran.