Categories
KOLOM BENNY ARNAS

Menolak Sastra Tanpa Tanda Jasa

Oleh Benny Arnas

Malam tadi, seseorang yang mengaku panitia lomba puisi yang diadakan salah satu kampus bergengsi di Pulau Jawa, menghubungi saya lewat kotak pesan Instagram. Setelah memperkenalkan diri ia menanyakan kesediaan saya menjadi salah satu dewan juri di kegiatan mereka. Saya tidak langsung menjawabnya. Saya masih menunggu. Saya pikir ia akan mengirimkan hal-hal teknis terkait lomba puisi itu, seperti aturan lomba, metode penilaian, sampai ke besaran upah jasa penilaian. Ya, saya menunggu itu, sebab di bennyinstitute, kami terbiasa membeberkan hal-hal tersebut di awal agar tidak ada kesalahpahaman pascakegiatan. Namun ternyata panitia tersebut tak melakukannya. Saya pun mengetik “Insya Allah” lalu memintanya memberitahu saya perkara teknis perlombaan. Saya pikir panitia pasti mengerti ini. Ternyata tidak. Ia ‘tak mengerti’ atau sengaja ‘menyembunyikannya’, wallahualam. Saya minta dikirimkan maklumat digital (flyer) lomba tersebut. Sayangnya, saya justru dikirimi flyer semacam seminar sastra dengan sejumlah rangkaian acara yang tertulis di bagian atasnya. Lomba puisi salah satunya.

Saya kembali memintanya mengirimkan flyer yang saya maksud, flyer lomba puisi. Tujuan saya sederhana, saya ingin tahu seserius apa panitia menggarap lomba ini. Desain flyer dan sejumlah aturan lomba (+ plus besaran hadiah) yang tertera di sana biasanya bisa mencerminkan ini. Namun tenyata panitia bergeming. Flyer itu belum dibuat atau memang saya tak/belum diperkenankan tahu, saya tak tahu. Yang jelas, panitia tak merespons permintaan saya akan flyer ini.

Baiklah.

Karena saya tak ingin terjadi kesalahpahaman di kemudian hari, saya pun menanyakan anggaran penjurian. To the point lebih baik daripada sokbaik tapi ngedumel kemudian. Sebagai catatan: saya melakukan ini kepada panitia/penyelenggara yang tidak saya kenal sebelumnya. Kepada orang-orang/lembaga yang saya kenal baik, saya jarang sekali (untuk tidak mengatakannya “tidak pernah”) melakukan ini. Bahkan juga saya kerap dibayar dengan satu kotak kudapan atau ucapan terima kasih saja sebagai pembicara ataupun juri. Tapi kepada yang belum dikenal, saya tak ingin kecele. Ini tak berarti saya selalu dibayar (mahal) untuk acara/lomba kepenulisan yang diadakan oleh orang-orang/lembaga yang belum/baru-saya kenal saat itu juga. Tentu saja tidak. Saya bahkan pernah menjadi juri lomba novel tingkat nasional dan hanya dibayar dengan sebuah (catat: sebuah) buku yang tak saya baca hingga sekarang. Namun saya nggak ngedumel sebab semuanya sudah “clear” di awal.

Pertanyaan saya tentang teknis lomba dan honorarium itu ternyata tidak juga ditanggapi meskipun pesan saya sudah lama dibacanya. Saya pikir, panitianya mungkin berubah pikiran: batal ‘’memakai” saya karena kerewelan saya. Kalau memang begitu adanya, gak papa. Gak masalah. Belum jodoh, artinya.

Namun saya salah, siang ini si panitia akhirnya merespons pesan saya. Namun alih-alih menginformasikan anggaran penjurian, ia malah meminta saya menyebutkan besaran honorarium yang saya inginkan. Wah, gak bener ini. “Kalau Anda bertanya dari awal, pasti saya jawab. Tapi karena saya yang proaktif, tentu lucu sekali kalau saya menjawab pertanyan sendiri,” balas saya agak kesal. Jujur, pada titik ini, lomba ini mulai
kehilangan magnet untuk membuat saya makin dekat.

Si panitia pun akhirnya menyebutkan anggaran untuk juri. Saya rada terkejut. Bagaimana bisa acara kampus sebergengsi itu kesannya tidak menaruh perhatian pada kerja penjurian? Meskipun begitu, saya tak ingin buru-buru menolak. Saya tak ingin membuatnya tersinggung. Ini sudah dimulai dengan “enak” (paling tidak, panitia sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan), saya pun harus meresponsnya dengan “enak” pula.

Saya mencoba berpikir ulang dan menepikan prasangka-tak-baik yang pintar sekali memanfaatkan peluang semacam ini.

Apakah lomba ini mengutip bayaran dari para peserta? Apakah saya hanya membaca puisi-puisi hasil seleksi panitia (katakanlah saya hanya membaca maksimal 30 puisi saja)? Saya pikir kalau lomba ini tak berbayar dan saya hanya membaca karya-karya terpilih saja, saya akan menerimanya. Itung-itung membantu mahasiswa, pikir saya. O ya, saya juga menanyakan partner saya dalam menilai karya-karya peserta, dan … lagi-lagi meminta panitia mengirimkan flyer lomba.

Akhirnya panitia berterus terang bahwa lomba ini berbayar meskipun ia tak menyebutkan besaran biaya pendaftaran dengan spesifik. Panitia ini juga, lagi-lagi, tidak mengirimkan saya flyer lomba. Selain itu, dengan anggaran ‘sekecil’ itu, ia keukeuh meminta juri (baca: saya) membaca semua karya peserta dan mengisi borang penilaian dengan lengkap sesuai dengan kriteria yang sudah mereka buat (Saya membayangkan, kerja ini bakal setara dengan kerepotan istri saya yang seorang guru dalam menambah-bagi nilai harian dan ulangan siswa untuk kemudian menghasilkan nilai-nilai yang siap masuk rapot—alamakjang!!!). Terakhir, ia mengirimkan nama dua juri partner saya. Nama-nama yang tak saya dengar dengungnya di ranah sastra, termasuk puisi. Setelah saya googling, nama yang satu ternyata pengarang novel teenlit, satunya lagi tak teridentifikasi mesin pencarian itu.

Bismillah. Saklek saya jawab, mungkin kita belum berjodoh. Saya belum bisa bergabung dengan panel juri. Saya juga mendoakan semoga acaranya sukses!

Selama kebersastraan saya belum mampu dihargai dengan layak dan atau kenersastraan saya belum mendapatkan waktu/tempat/pihak yang tepat untuk ‘bersedekah’, maka waktu luang saya, insya Allah, lebih bermanfaat saya habiskan untuk keluarga. Bersastra demi prestise, bukan lagi zamannya. Merasa bangga menjadi juri sebuah lomba tingkat nesyenel, buat apa, apabila kudu kerja rodi di baliknya?! Cukup profesi istri saya saja yang dimulia-muliakan karena ketiadaan tanda jasa yang melekat padanya. Sastra, jangan masuk lubang juga!***

Lubuklinggau, 18-11-2018

Leave a Reply