Oleh. Aris Munandar*
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) merupakan ruang gerakan literasi yang diinisiasi oleh dan untuk masyarakat. Sebagai entitas literasi, TBM hendaknya tidak hanya fokus pada usaha untuk menjadikan masyarakat menjadi literat. Tetapi, harus diupayakan pula bagaimana TBM, sebagai suatu organisasi, bisa menjadi organisasi yang literat. Maksudnya?
Mari kita mulai dengan membayangkan sebuah tempat di mana setiap sudutnya memancarkan semangat belajar, inovasi, dan perubahan. Sebuah TBM yang tidak hanya dipenuhi dengan deretan buku, tetapi hidup dengan dinamika pengetahuan dan ide-ide segar. Mari kita lanjutkan dengan memikirkan bahwa TBM bisa menjadi lebih dari sekadar tempat meminjam buku. TBM sebagai wujud tersendiri, keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh suatu figur seseorang atau sekelompok orang. Ia menjadi pusat pembelajaran yang terus berkembang, adaptif, dan inspiratif.
TBM memiliki potensi besar untuk menjadi organisasi literat yang mampu menyalakan semangat literasi dan inovasi dalam masyarakat. Melalui strategi yang tepat, kolaborasi yang erat, dan inovasi yang berkelanjutan, TBM bisa menjadi motor penggerak perubahan sosial. Ada tiga pendekatan kerangka kerja jika ingin mengembangkan TBM sebagai organisasi literat.
Sebelum membahas ketiga kerangka kerja tersebut, terlebih dahulu kita definisikan apa itu kerangka kerja yang dimaksud. Kerangka kerja di sini kita maksudkan sebagai struktur yang digunakan untuk mengatur pemikiran kita tentang suatu pembahasan tertentu. Ini memberi kita konsep-konsep terkait pembahasan itu dan panduan tentang bagaimana konsep-konsep tersebut saling berhubungan. Dengan kerangka kerja, kita dapat memahami apa yang kita amati, merumuskan ide-ide baru, dan mengelola pembahasan tersebut. Clear? Sekarang saatnya kita bahas kerangka kerjanya satu per satu.
Memerdekakan Pengetahuan
Hampir lima tahun terakhir ini kita akrab dengan jargon Merdeka Belajar. Bagaimana tidak, pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) sangat masif menggaungkannya. Tapi kita tidak akan membahas Merdeka Belajar. Hanya mengingatkan, di dalam proses belajar yang merdeka terdapat pengetahuan yang harus dimerdekakan. Kenapa pengetahuan harus dimerdekakan?
Proses memerdekakan pengetahuan merupakan aset tak berwujud (ATB) bagi TBM. Kerangka kerja ATB memandang pengetahuan sebagai kapasitas untuk mengambil tindakan. Menurut K.E. Sveiby (1997) hal tersebut terjadi jika ada pengetahuan tacit dalam diri para pengelola TBM, visi yang berorientasi tindakan, prosedur yang terkodifikasi, serta perubahan yang konstan. Jika disederhanakan: adanya struktur, internal dan eksternal, serta interaksi diantara keduanya. Dimaksud struktur di sini tentu saja bukan merujuk pada struktur suatu bangunan. Lalu apa?
Kompetensi pengelola TBM menjadi kunci pertama untuk mengembangkan TBM sebagai organisasi literat. Kompetensi yang dibutuhkan berupa kapasitas untuk bertindak dalam berbagai situasi untuk menciptakan nilai. Kompetensi tersebut dibentuk oleh lima elemen, yaitu: (1) pengetahuan yang terkodifikasi (explicit); (2) keterampilan; (3) pengalaman; (4) pengambilan keputusan; dan (5) jejaring sosial. Kompetensi ini akan menjadi aset berharga jika TBM memiliki struktur internal yang baik.
Struktur internal TBM berupa sistem administrasi, tata kelola dan pengorganisasian, prosedur relasi antar bagian, termasuk pemanfaatan teknologi. Struktur internal ini yang nantinya akan memberi bentuk bagaimana TBM berinteraksi dengan struktur eksternal, yaitu: masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya. TBM yang memiliki ATB adalah TBM yang bertumbuh dan berdinamika.
Menggerakan Pengetahuan
Sudah dijelaskan jika pengetahuan sebagai ATB itu bukan benda. Jika ingin tetap dimiliki, maka pengetahuan tersebut harus terus digerakan. Bagaimana caranya menggerakan pengetahuan?
Dalam manajemen kita mengenal POAC. Planning, organizing, actuating, dan controlling. Saat menggerakan pengetahuan kita akan berkenalan dengan RARC, agak maksa ya? Kita panjangkan saja: review, act, reflect, dan conceptualize.
Kita pahami TBM tidak berada dalam ruang statis. Lingkungan internal dan eksternal senantiasa berubah. Terhadap perubahan yang terjadi dibutuhkan review atau tinjauan. Tinjuan bisa berupa monitoring dan evaluasi kinerja, atau kebutuhan dalam menghadapi perubahan situasi. Hasil tinjauan bahan untuk act, bertindak. Pada fase ini POAC dilakukan. Keluaran dari act ini untuk melakukan reflect. Merenungkan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan. Direnungkan hingga bisa terkonseptualisasi, conceptualize. Tergudangkan seperangkat pengetahuan terkodifikasi sebagai referensi bagi TBM. Terpetakan apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman TBM. Menggunakan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) akan dapat diformulasikan strategi pengembangan, berupa: (1) SO (Strengths-Opportunities), menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang; (2) WO (Weaknesses-Opportunities), mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang; (3) ST (Strengths-Threats), menggunakan kekuatan untuk mengurangi dampak ancaman; dan (4) WT (Weaknesses-Threats), membuat rencana untuk mengatasi kelemahan dan ancaman secara bersamaan.
Biarkan Pengetahuan Mengalir
Inti dari organisasi literat, dalam konteks ini TBM, menjaga pengetahuan tetap merdeka. Dengan merdeka, maka akan selalu tercipta pengetahuan baru. Baik pengetahuan yang terpersonifikasi (dari explicit ke tacit), tersosialisasi (dari tacit ke tacit), terkodifikasi (dari tacit ke explicit), maupun terkombinasi (dari explicit ke explicit).
Pengetahuan yang merdeka adalah pengetahuan yang terus tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, TBM akan selalu relevan dan kontekstual. TBM hadir sebagai jawaban atas pertanyaan dan tantangan yang diberikan zaman kepada masyarakatnya.
Mungkin saat ini kita baru bisa mengimajinasikan TBM sebagai organisasi literat. Tapi bukankah literasi itu tentang imajinasi? Dan literat adalah mereka yang mewujudkannya.
Aris Munandar, Ketua Bidang Program dan Kemitraan Pengurus Pusat Forum TBM dan founder Rumah Matahari Pagi.