Categories
Buku

Menyelaraskan Pikiran, Menghasilkan Karya

Pada 25 Juli 2017, saya ke Menturo. Itu desa di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, di Jawa Timur. Lokasinya lumayan jauh dari kota. Dari kota Jombang, sekitar 14 kilometer ke arah timur sedikit ke utara. Dari kota Mojokerto, sekitar 18 kilometer ke arah barat. Dari kota besar Surabaya, sekitar 70 kilometer ke arah barat sedikit ke selatan. Lumayan, seperti ‘berlibur ke rumah nenek.’

Lewat pesan WhatsApp, saya tahu saya tidak dijemput. Jadi, saya ikuti saja pesan yang memberi petunjuk. “Dari Bandara Juanda, naik Bus Damri ke Terminal Bungurasih. Di terminal Bungurasih, naik bus jurusan Yogyakarta. Berhenti di Terminal Mojoagung. Naik ojek ke Menturo sekitar Rp 20 ribu.” Karena saya orang Surabaya, saya abaikan pesan terkait Bandara.

Singkat cerita, saya berhenti di Mojoagung. Lapar, saya jalan kaki sebentar ke warung soto ‘dok’ di pinggir jalan. Disebut soto ‘dok’ karena si penjual memukulkan pantat botol kecap ke meja setiap kali hendak menyajikan soto. Pukulannya keras sehingga keluar suara ‘dok’ yang bikin kaget. Meski suka gebrak meja, penjual soto itu sangat menolong. Setidaknya, ia bersedia jalan kaki meninggalkan warung memanggil tukang ojek untuk saya. Si tukang ojek, menyebut ongkos Rp 50.000 untuk mengantar ke Menturo. Loh, koq jauh beda dengan petunjuk di WhatsApp? Maka, saya menawar separonya. Setelah mikir-mikir sejenak, akhirnyadealdi angka Rp 30.000.

Tanpa helm, saya nangkring di sadel motor ojek. Setelah melewati jalan rusak, kebun tebu, sawah, tegalan, kebun jagung, hingga kandang-kandang ayam, sampailah saya di lokasi tujuan. Desa Menturo. Di gerbang pagar, saya lihat spanduk ucapan selamat datang pada relawan TBM Nusantara. Nah, lega rasanya. Saya ucapkan terima kasih pada tukang ojek yang mengantar saya. Namun, setelah menembus medan pedesaan, saya menyesal menawar ongkos ojek. Ia layak mendapat tambahan Rp 20.000.

Saya memasuki properti yang lumayan luas. Kalau di Surabaya, luasnya ini bisa dipakai untuk mendirikan hotel sekaligus kawasan parkirnya. Namun, di Menturo, tanah ini dibangun masjid, sekolah, makam keluarga, dan tiga couple pondokan. Lahan sisanya ditanami jati, mangga, dan pohon lain, serta lahan kosong yang dilapisi paving stone. Di depan salah satu pondokan, ada panggung setinggi setengah meter. Di panggung itu tiap bulan keluarga Emha Ainun Nadjib menggelar pengajian ‘Padhangmbulan’.

Saya berjalan menuju pondokan utama di sudut kiri-jauh dari lahan. Tuan rumah, yakni Yusron Aminulloh, menyambut saya dan menawari makan siang rasa pedesaan. Kalau tak salah, ada sayur lodheh. Tapi, karena baru makan soto, saya tidak makan. Saya cukup menaruh ransel di dalam ruang, lalu mengobrol dengan sejumlah tamu lain yang lesehan di teras.

Jujur, saya tidak kenal satu pun. Yusron mengenalkan tamu lain pada saya dan memperkenalkan saya pada para tamu lain. Dari situ, saya tahu ada Pak Dr Kastum, Kasubdit Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI,juga ada Bu Nurul dan Mbak Ila panitia dari Kemendikbud, dan sejumlah relawan TBM dari berbagai penjuru Indonesia. Saya sendiri kebetulan mendapat tugas mengisi acara pelatihan menulis.

Saya juga diberi tahu tempat pembagian dan fasilitas menginap. Untuk keluarga tuan rumah dan panitia,tidurnya di pondokan utama tempa saat itu kami mengobrol. Peserta putri ditempatkan di pondokan sebelahnya dekat masjid. Peserta putra tidur di pondokan agak terpisah di belakang panggung Padhangmbulan. Makan di pondokan utama. Mandi dan sejenisnya ada di pondokan masing-masing. Sholat, tinggal jalan kaki ke masjid di dekat pintu gerbang. Nah, saya ambil inisiatif untuk tidur di pondokan peserta putra.

Setelah ngobrol sana-sini, saya langsung mendapatkan kesan gemblengan kerelawanan dalam acara ini. Pesan di WhatsApp yang berisi ‘tidak ada jemputan’, ternyata bagian dari ‘ujian’ kerelawanan ini. Transportasi yang lumayan rumit itu bagian dari upaya menguji seberapa tangguh para relawan mencapai tujuan. Ini seperti cermin realita upaya pelayanan relawan untuk para pembaca buku di pelosok daerah.

Benar! Ada relawan menyebut tantangan ini kecil. Mereka menyebut desa di Jawa cukup mudah diakses. Relawan dari Poso bilang, “Kalau di Sulawesi, yang disebut ‘desa’ itu ya ‘desa betulan.’ Susah diakses, jauh dari mana-mana. Saya kalau ke desa terdekat harus menyeberang danau. Menturo ini gampang sekali buat saya.” Begitu pula kesan peserta dari Ogan Komering Ulu Selatan. “Desa saya dikelilingi kebun cokelat. Untuk ke desa lain, harus lewat hutan.” Meski demikian, ada peserta yang tersesat. Misalnya, kelewat sampai Jombang. Nah, ketika terpaksa, panitia mengerahkan penjemput.

Acara ‘Peningkatan Kapasitas Pengelola TBM 2017’ ini diikuti total 20 aktivis TBM. Acara dibuka setelah Ashar oleh Pak Kastum. Pembukaan berlangsung santai di panggung Padhangmbulan.Dalam pesannya, Pak Kastum menekankan peningkatan kapasitas itu di bidang; 1. manajemen, 2. kerelawanan, 3. kemitraan, dan 4. penulisan. Masing-masing bidang peningkatan itu dibimbing nara sumber praktisi berpengalaman.

Nah, saya kebagian jadi nara sumber penulisan. Karena targetnya peserta bisa menulis buku, tugas saya lebih panjang dibanding nara sumber lain. Jika nara sumber lain memberi materi satu sesi dalam dua jam, saya harus memberi pelatihan beberapa sesi hingga akhir acara 28 Juli. Bahkan saya dan Yusron harus mengawal tulisan ini menjadi buku hingga Agustus.

Harusnya, sesi pertama saya sore 25 Juli. Namun, ada pergeseran jadwal. Acara awal diisi perkenalan peserta yang waktunya mulur hingga malam. Perkenalan ini menarik sehingga menimbulkan gelak tawa sekaligus memakan waktu banyak. Dua puluh peserta, dibagi menjadi sepuluh pasangan yang terdiri dari dua orang. Masing-masing pasangan dipersilahkan saling berkenalan kemudian memperkenalkan diri pada seluruh peserta. Uniknya, peserta memperkenalkan diri atas nama pasangannya. Misalnya, dalam pasangan Sugeng-Prawangsa, Sugeng memperkenalkan diri sebagai Prawangsa dan Prawangsa memperkenalkan diri sebagai Sugeng. Tak pelak, muncul berbagai kelucuan yang mencairkan suasana. Misalnya, Sugeng berkata, “Perkenalkan, nama saya Angsa.” Whalah…manusia koq bernama Angsa???

Meski sesi saya urung berlangsung di hari pertama, antusias peserta untuk menulis cukup tinggi. Saat sebagian peserta beristirahat setelah perjalanan panjang dari tempat tinggal masing-masing, sebagian lainnya justru lanjut berdiskusi dengan saya di panggung Padhangmbulan sampai larut malam. Isi diskusinya bermacam-macam. Mulai dari soal tulis-menulis hingga cerita kondisi daerah masing-masing peserta. Saking gayengnya diskusi, dinginnya udara pedesaan dan galaknya gigitan nyamuk agak terlupakan. Hingga akhirnya kami memutuskan mengambil kasur ke panggung untuk dijadikan bantal bersama setelah kami tak lagi mampu menahan kantuk.

Pada 26 Juli, setelah sarapan lagi, sesi resmi pelatihan penulisan dimulai. Peserta saya motivasi untuk suka menulis. Saya contohkan beberapa hal baik yang diakibatkan dari menulis atau tulisan. Respon peserta cukup positif. Salah satu alasannya, karena mereka relawan baca maka akan lebih afdhol jika mereka juga bisa menulis. Beberapa peserta, lewat tulisan media sosial, sudah cukup aktif mengkampanyekan gerakan membaca. Namun, ada beberapa yang belum bisa menulis serius. Keinginan ada dan besar, namun menulisnya nyaris tak tersalurkan. Ada banyak hal yang ingin dituliskan, namun semuanya hilang bahkan saat sebelum jemari ada di atas keyboard.

Sesi berikutnya, saya memberikan teknis penulisan. Sedikit teori, banyak aksi. Saya sampaikan beberapa rumus menulis, lalu saya beri sejumlah bahan untuk latihan. Saya pancing peserta untuk menuliskan apa-apa yang bisa diindera. Sesuatu di lingkungan sekitar, ditangkap oleh panca indera, diolah oleh otak, disalurkan ke jemari, untuk dituliskan di laptop. Ini untuk melatih penulisan realis. Lalu, saya juga pancing peserta untuk menuliskan sesuatu yang tidak bisa diindera, sesuatu yang benar-benar abstrak, sesuatu yang tidak ada bentuk nyatanya sebelumnya. Ini untuk melatih penulisan surrealis.

Tanpa banyak teori lagi, para peserta pun langsung praktik. Masing-masing menuliskan objek. Saat peserta menuliskan bahan latihan ini, saya terus ingatkan bahwa targetnya membuat buku. Pelatihan hanya tiga hari, langsung bikin buku. Tak pelak, sesi ini berlangsung seru. Pelatihan menulis sejak pagi, diselingi beberapa acara lain, berlangsung terus hingga petang hari. Bahkan, sambil sesekali ambil sate di dapur pondokan utama, kami berdiskusi hingga lewat tengah malam. Kalau tak salah, saya baru beranjak tidur pukul 1.30 di panggung Padhangmbulan dengan bantal kasur.

Pada 27 Juli sore, karena siangnya diisi acara lain termasuk jalan-jalan ke Makam Gus Dur dan Patung Budha tidur, peserta memulai penulisan bahan buku. Setiap peserta saya minta menuliskan pengalaman dan kondisi riil sehari-hari terkait TBM masing-masing. Saat menulis soal manajemen, ya ungkapkan manajemen TBM seperti apa adanya. Begitu juga saat menuliskan kerelawanan dan kemitraan. Saya selalu tekankan, “Tuliskan apa adanya.”

Maka, panggung Padangmbulan pun berubah menjadi seperti warnet. Para peserta mengambil inisiatif untuk berjejer menduduki tikar di atas paving stone dan menggunakan panggung sebagai meja. Saya tinggal berkeliling untuk bertanya apakah ada kesulitan. Sesekali terjadi diskusi agak panjang, karena ada peserta yang sebenarnya bisa menulis tapi butuh diyakinkan untuk benar-benar bisa menulis.

Ada beberapa peserta yang tuntas menulis malam itu juga, ada yang harus meminjam colokan listrik untuk melanjutkan tulisan di kamar tidurnya sendiri. Namun, ada juga yang menulis dengan tangan karena laptopnya bermasalah. Saat rangkaian acara ditutup resmi oleh Pak Alipi Muhammad pada siang 28 Juli, sebagian besar naskah selesai. Namun, ada beberapa yang berjanji mengirim naskah via email karena belum rampung menulis atau karena kala itu menulisnyapakai pena.

Setelah naskah terkirim dan terkumpul, adalah tugas Yusron dan saya untuk menyunting, mengedit lalu menjadikannya buku. Nah, ini proses tak kalah rumit. Seorang peserta bisa menggunakan waktu sehari untuk berkontribusi pada buku itu. Namun editor butuh waktu lebih banyak. Editor harus menyelaraskan otaknya dengan otak masing-masing kontributor buku. Belum lagi harus mengoreksi kesalahan besar maupun kecil dalam penulisan. Bahkan, editor harus berhubungan dengan pihak percetakan dan distribusi.

Menulis itu tidak gampang. Bagi non-penulis, menulis itu bahkan sangat sulit. Jarang sekali ada, atau bahkan mungkin tidak ada, buku yang rampung ditulis hanya dalam semalam. Pelatihan di Menturo ini membuktikan para peserta bisa menciptakan keajaiban. Andai jumlah penulis dibatasi, mungkin malam itu juga sudah tercipta naskah buku hampir jadi. Namun, karena acara ‘Peningkatan Kapasitas Pengelola TBM 2017’ ini bernafaskan kolaborasi, ya kami harus sabar menunggu rampungnya naskah yang lain.

Nah, apa pun susah dan senangnya, yang penting ini lah hasilnya; buku kolaborasi para aktivis TBM.

Selamat menikmati.

Teguh W. Utomo (editor)

cilukbha@gmail.com

Leave a Reply