Jumat, 6 Oktober 2017, di twitter saya melontarkan pertanyaan:
“Jawab dengan jujur:
Di daerah kalian, ada juga, nggak?”
Melengkapi pertanyaan itu saya menyertakan gambar postingan berita Harian Kompas hari itu tentang “Kecurangan Akademis: Biro Jasa Skripsi Masih Ditemukan.”
Ada 58 pencuit yang menjawab, di samping 42 merituit dan 31 memberi tanda “cinta” / love dalam hitungan jam. Sekitar 90% lebih penanggap cuitan itu mengatakan ada, dan banyak, dan sudah berlangsung lama. Bahkan ada yang mengaku dirinya pernah melakukan jasa joki skripsi, dan teman atau kenalannya menggunakan jasa joki tersebut. Hal senada juga tertampilkan di facebook, saat saya mengajukan hal yang sama.
Hari ini, Sabtu 7 Oktober 2017, Harian Kompas kembali melanjutkan berita itu dan menaruhnya sebagai headline di halaman 1 dengan judul besar: JOKI KARYA ILMIAH KIAN BERANI: Biro Jasa Skripsi, Tesis dan Disertasi Berakar dari Mentalitas Instan.
“Mentalitas Instan” diungkap Guru Besar Sosiologi Pendidikan yang juga Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo, Ravik Karsidi. “Ingin meraih gelar akademik, tanpa mau bersusah payah menempuh proses. Aturan-aturan di perguruan tinggi yang ketat hanyalah salah satu filter. Kita harus memerangi sikap masyarakat yang suka menerabas.”
Selain itu, saya juga menggarisbawahi pernyataan Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Mataram, Mahsun, yang mengatakan pelatihan cara-cara berpikir ilmiah lewat riset mulai dari hal sederhana harus terus dibangun sejak awal di dunia pendidikan. Selain itu, siswa dan mahasiswa juga harus dibiasakan menuangkan gagasan ilmiah secara verbal maupun non verbal yang terstruktur dan sistematik.
Kalimat ini yang menjadi kunci dari Mahsun, “MENGUNGKAPKAN GAGASAN-GAGASAN BERPIKIR MASIH LEMAH KARENA SISWA DAN MAHASISWA TIDAK TERBIASA MENULIS.”
Jadi persoalan keculasan ini tak cuma masalah di hilir, tapi justru sedari hulu. Tidak terbiasa menuangkan pikiran melalui tulisan.
Saya jadi teringat saat ikut menjadi pembicara bersama Firman Venayaksa di peringatan Hari Aksara Internasional 2017 di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, 7 September lalu. Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengingatkan kembali tentang sudah saatnya sosialisasi mengenai enam literasi dasar ke masyarakat untuk dilakukan. Bahkan, digalakkan. Literasi BACA TULIS, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewargaan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital.
Sungguh, “peran suci” teman-teman #relawanliterasi Forum TBM dengan berbagai moda kerelawanannya teramat diharapkan jika tak ingin melihat negeri ini hanya mendapatkan bencana/musibah demografi, dan bukannya bonus demografi serta generasi emas 2045. Kita tentu tak ingin menjadi bagian yang ikut berperan serta melahirkan generasi dangkal dengan mentalitas instan yang superculas, yang rela mencederai dan mengotori “ruang ilmiah” dengan menjadi konsumen biro jasa penulisan skripsi, tesis dan disertasi.
Saya percaya relawan-relawan literasi Forum TBM tak cuma menghampar tikar menaruh buku-buku di atasnya, lalu merasa tugasnya sudah selesai. Karena, semuanya sangat paham bahwa satu dari enam literasi dasar yang harus dikuasai di era sekarang ini bukankah “literasi baca” semata tetapi disatunapaskan dengan tulis, menjadi LITERASI BACA TULIS.
Membawa buku, menjemput pembaca saja sudah mulia. Apalagi, jika sampai pada tingkat memadukan IQRA (Baca. Ayat, sekaligus perintah paling pertama) dan KALAM (Pena. Surat kedua yang diturunkanNya)
Jika ini dijalankan, bukan cuma perguruan tinggi yang harus berterimakasih kepada para relawan literasi, tetapi negeri ini. Meski saya percaya, relawan literasi tak pernah berharap terimakasih, sanjungan dan pujian.
Keliterasian mengajarkan: baca – BERPIKIR – menulis. Dan dengan segala kerendahhatian mengajarkan kejujuran. Tugas mulia ini, insya Allah, akan mampu melahirkan generasi yang tidak ASAL JEPLAK tapi juga ANTI JIPLAK.**