“The struggle of man against power is the struggle of memory against of forgetting”
Milan Kundera, 1996:4.
MERAWAT INGATAN DAN KABUYUTAN.
Kekuatan apa yang sedang mengancam kita? Ancaman dunia dewasa ini adalah eksploitasi kesadaran kemanusiaan manusia secara masif. Disana ada yang disebut post truth dan framing-nya, ada moral hazard pendidikan kita, ada tirani kapitalis yang mengendarai globalisasi, dan lain-lainnya, dan sebagainya. Sebuah kekuatan yang dimaksud secara khusus oleh Milan Kundera sebagai kekuatan yang korup dan menindas.
Dalam bukunya, John Farndon (2011:364) menempatkan menulis sebagai gagasan kedua terbesar yang mengubah dunia. Tulisan menjadi penanda kita meninggalkan era prasejarah menuju zaman sejarah. Berbeda dengan lisan, tulisan memungkinkan informasi dapat diterima oleh siapapun yang membacanya, tanpa harus bertatap muka. Selain itu, tulisan dapat menyimpan informasi lebih lama dan menjaganya persis seperti saat pertama kali disampaikan. Tulisan merawat ingatan.
Dalam Bab “Buku dari Kabuyutan” di buku “Googling Gutenberg” karya Atep Kurnia (2019), menyebutkan keberadaan Kabuyutan sebagai tempat penulisan, penyalinan, penyimpanan naskah. Atep memberi padanan Kabuyutan dengan Skriptorium (jamak: skriptoria; wikipedia) adalah tempat penyalinan naskah-naskah manuskrip. Pada awalnya merupakan nama ruangan di dalam biara untuk menyalin manuskrip oleh penulis monastik. Monastik (akar katanya monos = sendiri; wikipedia) sendiri merupakan praktik keagamaan berupa tindakan menafikan segala hasrat keduniawian dengan maksud membangkitkan hidup semata-mata bagi kegiatan kerohanian.
Kembali ke Kabuyutan, masih menurut Atep, bahwa keberadaan Kabuyutan sebagai media interaksi antara budaya Sunda dengan budaya luar, sehingga terbentuk suatu pengalaman baru. Kabuyutan memegang peranan penting dalam mentransformasikan tradisi lisan menjadi tradisi literasi. Transisi tersebut terlihat dari cara pembacaan yang masih dengan cara suara lantang (reading aloud), belum sampai ke cara membaca sunyi (silent reading).
Namun, tradisi literasi pada saat itu masih terbatas pada kalangan tertentu saja, masih bersifat elitis. Selain itu, pergeseran fungsi kabuyutan dengan menempatkan naskahnya sebagai artefak dan untuk membukanya diperlukan ritual khusus. Pergeseran fungsi ini, selain terjadi di Kabuyutan Ciburuy, ditemukan pula di Dusun Prawira, Kabupaten Lombok Utara.
Menyambut baik gagasan untuk merevitalisasi fungsi Kabuyutan, yakni dengan menumbuhkembangkan kembali literasi baca-tulis. Tentu saja kali ini harus menghilangkan sifat elitisnya, yakni bisa di akses oleh masyarakat, maka Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sejatinya dapat mengemban fungsi ini.
LITERASI BACA-TULIS DAN TBM.
TBM dalam perannya mengembangkan budaya baca masyarakat, mengemban tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat gemar belajar yang berdampak pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sejalan dengan apa yang di kampanyekan oleh Kementrian pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam Gerakan Literasi Nasional (GLN), yakni mencakup 6 literasi dasar, terutama literasi baca-tulis.
Dalam buku elektronik Materi Pendukung Literasi Baca Tulis yang diterbitkan Kemdikbud, literasi baca-tulis didefinisikan sebagai engetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial. Dalam akivitas literasi baca-tulis terjadi yang dinamakan knowledge sharing / knowledge transfer. Aktivitas ini mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba cepat.
Pemahaman ini menjadi penting bagi pengelola TBM dengan layanan pustaka sebagai layanan utamanya. Baik itu hanya berupa : layanan ruang baca, sirkulasi bahan pustaka, atau bahkan layanan kelompok pembaca. Mengetahui jenjang membaca pemustaka diperlukan supaya pengelola TBM dapat membantu pemustaka memilih bacaan yang tepat. Ada 2 cara pokok dalam mengidentifikasi jenjang membaca, yaitu : respons lisan dengan menceritakan kembali dan respons tertulis. Respons tertulis, secara umum membahas : alur (awal-tengah-akhir) dan narasi cerita, menjelaskan latar, membuat karakter yang kuat, membuat akhir yang berkesan, bermain dengan sudut pandang. Respons terhadap bacaan oleh pembaca merupakan langkah awal menuju ke menulis. Sehingga literasi baca-tulis merupakan satu kesatuan proses. Respons ini sebagai reproduksi pengetahuan secara sederhana, berdasarkan pengalaman membaca.
Khusus sebagai bekal di era post-truth dan menghadapi hantu framing, membaca kritis dapat memberikan keterampilan yang kita butuhkan (Dewayani, 2017), yaitu : menjadi pengguna yang bijak (mengakses konten yang aman dan bermanfaat), menjadi pengguna kreatif (berbasis pada karya dan memiliki kepedulian sosial), menjadi pengguna kritis (selalu memastikan sumber yang kredibel), menjadi pengguna produktif (tidak hanya sebagai pengakses informasi tetapi juga penghasil informasi).
Literasi baca-tulis yang dilakukan memenuhi prinsip: holistik (utuh dan menyeluruh), terintergrasi (terpadu), berkelanjutan (sustain), kontekstual, serta responsif terhadap kearifan lokal akan menumbuhkan empati kita. Empati sebagai inti dari kemanusiaan adalah senjata untuk melawan keserakahan. Empati akan membawa kita kepada keadilan sosial. Keserakahan akan menjerumuskan kekuatan menjadi korup dan menindas.
Aris Munandar – Founder Matahari Pagi
Tulisan ini dimuat juga di laman www.mataharipagi.online dan www.pamatriliterasi.com