Oleh. Atep Kurnia*
Pada masa lalu, di Bandung, ada kebiasaan menyulut meriam sebagai pertanda waktu berbuka dan sahur. Gambarannya antara lain saya dapatkan dari memoar karya Sjarif Amin alias Mohamad Koerdie, Keur Kuring di Bandung (1983).
Kata Sjarif Amin, “Mariem nu sok diarep-arep ku barudak mah. Hayang neuleukeun nyeungeutna. Di pakarangan kabupatén, hareupeunana, sok diseungeutna teh” (Meriam suka dinantikan oleh anak-anak. Mereka hendak melihat meriamnya disulut. Meriam tersebut biasanya disulut di depan pekarangan Kabupaten Bandung).
Konon, meriam itu hanya ada sepanjang bulan Ramadan. Disimpan dengan cara menghadap ke arah Alun-alun Bandung. Ketika saat menyulut sudah dekat, anak-anak akan berlomba-lomba naik ke benteng kabupaten. Namun, saat hendak disulut, mereka segera memejamkan mata dan menutupi telinga. Meriamnya sendiri ada dua, yaitu sebagai pertanda buka puasa dan tutup sahur (“Nu hiji, purah mere tanghara manjing buka, mariem teh. Hiji deui nu ngabejaan tutup sahur”).
Suara kedua meriam sama-sama keras bunyinya, sehingga dapat mencapai Kota Bandung dan sekitarnya. Apalagi bila disulut saat dinihari yang sedang sunyi. Gelegarnya bisa bertahan lama. Konon, meriam tersebut merupakan oleh-oleh Dalem Haji atau Wiranatakusumah V sepulang dari Mekah. Karena di sana, katanya, pertandanya memang menggunakan meriam, bukan dengan beduk (“Ieu teh kamonesan Dalem Haji. Oleh-oleh mulih ti Mekah. Da kitu cenah di ditu mah. Lain ku bedug, tapi ku mariem nitah buka puasa teh”).
Keterangan lebih rinci mengenai kehadiran kedua meriam di pendopo Kabupaten Bandung itu dapat kita simak dari berita-berita koran Sipatahoenan. Dalam edisi “Lebaran Nummer” (Sipatahoenan, 4 Desember 1937) bahkan tersaji potret kedua meriamnya. Di situ ada uraiannya, antara lain “Oerang Bandoeng mah geus hamo aja noe bireuk deui kana [sora] mariem di pakarangan kaboepaten teh” (Orang Bandung sudah barang tentu sudah sama-sama tahu terhadap suara meriam di pekarangan kabupaten).
“Toeh, nja itoe pisan: noe saoerang poerah nitah boeka, saoerang deui noe matak roesoeh saoer” (Tuh, persis itu: yang seorang tugasnya untuk menyuruh buka puasa, dan seorang lagi yang menyebabkan rusuh sahur). Namun, konon, meskipun keduanya sama-sama membuat kaget, sehingga tidak terlalu disukai (“Aja pikaloetjoeunana, lantaran sanadjan saroe matak ngarendjag noe koerang gebrag, watekna mah teu matak dipikameumeut doeanana oge”). Sebab yang drindukan biasanya hanya waktu berbuka saja (“Ilaharna mikasono teh ngan ka noe disadana laliar lalaj!”).
Konon, saat itu, kedua meriam sebentar lagi tidak akan digunakan (“Tereh pileuleujan ajeuna mah djeung noe tararik sora teh …”).
Apakah memang demikian? Ternyata, menurut Sipatahoenan edisi 9 September 1941 yang memuat berita “Mariem dina Boelan Poeasa” (meriam dalam bulan Ramadan), penggunaan kedua meriam di pekarangan Kabupaten Bandung berumur panjang. Pada awal berita dikatakan, “Noeroetkeun bisloeit Resident Priangan, dina boelan Poeasa nbd teh, henteu beda djeung katoekang2, oge meunang njeungeut bom atau mariem dina waktoena mimiti djeung panoetoepna boelan poeasa, nja kitoe deui dina oenggal2 geus waktoena boeka djeung soeboeh, tanda jen geus teu meunang dahar (saoer), malah idinan hal ieu teh lain ka Kg. Boepati Bandoeng woengkoel, tapi para Boepati Soemedang, Garoet, Tasikmalaja, djeung Tjiamis oge kawidian maparin terang ka rahajat koe djalan saperti biasa dipake katoekang-toekang”.
Artinya, berdasarkan keputusan Residen Priangan, pada bulan Ramadan yang akan datang, sama dengan yang sudah-sudah, juga boleh menyulut bom dan meriam pada waktu mulai dan pentup bulan Ramadan. Demikian pula dengan setipa waktu buka dan subuh, sebagai pertanda tidak boleh lagi makan (sahur). Izin ini tidak hanya diberikan kepada bupati Bandung, melainkan juga kepada para bupati Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Mereka diizinkan memberitahu rakyat dengan jalan seperti yang biasa dilakukan pada masa-masa yang telah lalu.
Pada laporan Sipatahoenan sebelumnya, bahkan meriam disulut saat perayaan hari lebaran, terutama setelah bupati Bandung keluar dari masjid. Dalam laporan bertajuk “Karamean Lebaran di Bandoeng” (keramaian lebaran di Bandung) dalam Sipatahoenan edisi 30 Desember 1935. Di situ digambarkan, “Beledoeg sora mariem sababaraha kali. Noe ngiringkeun awewe lalaki rea noe arasoep ka pakarangan Kaboepateun, ari di pakarangan Kaboepaten geus pinoeh koe djalma ngahadja marapagkeun, dorokdok petasan noe diboborobotkeun lila pisan, di pandopo geus disadiakeun keur sidekah, di tepas kaboepaten, ngantos para istri pangangoeng djeung tatamoe bangsa Europa”.
Artinya, suara meriam disulut menggelegar beberapa kali. Para pengiring perempuan dan laki-laki banyak yang masuk ke pekarangan kabupaten. Sedangkan di pekarangan kabupaten sudah penuh oleh orang yang sengaja menanti (tibanya bupati). Petasan dibakar dan berbunyi lama sekali. Di pendopo sudah disediakan untuk sedekah, di serambi kabupaten sudah menanti para istri pejabat dan tetamu bangsa Eropa.
Pengalaman masa kecil Sjarif Amin juga ternyata sama dialami oleh Hasan Wahyu Atmakusumah, yang saya wawancarai pada tahun 2008. Saat itu, “Wa” Hasan menyatakan kala bulan Ramadan, ia kadang-kadang suka bermain ke Alun-alun Bandung bersama teman-temannya yang agak besar. Berbaring-baring di serambi Masjid Agung. Selain itu, melihat-lihat orang yang berdagang makanan untuk buka puasa, terutama kolak. Atau melihat-lihat meriam yang disimpan di pekarangan pendopo kabupaten. Meriam saat itu digunakan sebagai tanda buka puasa. Disulut begitu waktu buka tiba aau ditandai dengan suara sirene dari Swarha yang berada tidak jauh dari rumah (“Berbuka dengan Suara Meriam”, Pikiran Rakyat, 14 September 2008).
Keterangan foto:
Dua meriam di pekarangan pendopo Kabupaten Bandung untuk penanda buka puasa dan sahur. Sumber: Sipatahoenan, 4 Desember 1937.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang