Konsep adhiluhung dibentuk dari keberadaan kebudayaan di Bali. Pada saat ini, perkembangan teknologi menggiring masyarakat Bali larut dalam euforia era globalisasi. Globalisasi menjangkau semua ranah kehidupan sehingga menimbulkan adanya transisi budaya secara masif. Globalisasi membawa kemajuan pada bidang ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Pada dasarnya globalisasi menuntut adanya bentuk yang inovatif. Budaya yang inovatif bersifat terbuka dan menerima semua perubahan yang ada. Globalisasi seakan-akan menjadi momok dalam pemertahanan kebudayaan lokal yang bersifat konservatif. Salah satu kebudayaan lokal yang ada di Bali adalah naskah lontar.

Naskah lontar adalah naskah yang ditulis dengan media daun lontar. Lontar terbuat dari daun alami pohon lontar atau rontal. Bagi masyarakat Bali naskah lontar memiliki wibawa tersendiri dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan itu tidak lepas dari dasar-dasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Tradisi lontar di Bali memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan umur yang tua seiring dengan nilai-nilai sejarah, agama, filsafat, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya. Lontar perekam pemikiran masyarakat Bali sampai dalam bentuknya sekarang merupakan saksi sejarah dan menjadi penopang historis peradaban keberaksaraan yang berkarakter. Naskah lontar Bali dalam sejarah peradaban Bali menunjukkan kemajuan dan kecerdasan lahir bathin masyarakat Bali.

Secara garis besar naskah lontar di Bali diklasifikasikan menjadi lima yaitu (1) naskah keagamaan dan etika, (2) naskah kesusastraan, (3) naskah sejarah dan mitologi, (4) naskah pengobatan atau penyembuhan, dan (5) naskah pengetahuan. Pengklasifikasin tersebut didasari atas pemetaan naskah lontar koleksi perpustaakn lontar di Bali. Selain koleksi lontar oleh perpustakaan, koleksi pribadipun banyak di Bali. Namun kepemilikan lontar hanya sebatas warisan fisik semata yang tidak bisa dipelihara secara baik. Akibatnya banyak dari naskah-naskah lontar yang mengalami kerusakan bahkan pelapukan. Walaupun banyak kemudian usaha-usaha dari pemerhati lontar belakangan ini namun banyak pula naskah lontar yang ditemukan dalam keadaan sudah rusak dan tidak mampu diterjemahkan bahkan disalin. Pelestarian lontar tidak bisa dibebankan kepada pemerhati lontar, namun pemiliknyapun seharusnya memiliki kompetensi dalam merawat. Di Bali, pelestarian lontar hanya sebatas pemeliharaan secara fisik namun secara nonfisik mengalami degradasi. Seiring perkembangan jaman, naskah-naskah lontar koleksi pribadi semakin tidak terurus. Pada dasarnya naskah lontar memiliki peran yang penting dalam peradaban masyarakat Bali. Semua konsep kegiatan keagaamaan di Bali merujuk pada naskah lontar.

Dilematika yang terjadi di masyarakat adalah antara pelestarian warisan budaya berupa naskah lontar dengan minat baca masyarakat. Bagaimana kemudian mampu melestarikan budaya jika minat baca tulis masyarakat rendah. Banyak dari naskah lontar koleksi pribadi yang mengalami kerusakan bahkan mulai lapuk. Jalan satu-satunya untuk mengganti naskah yang sudah mulai lapuk maka dilakukan kegiatan menyalin lotar. Tentunya dalam menulis aksara Bali membutuhkan ketelitian dalam menulis. Kemampuan menyalin lontar tidak semata-mata diwariskan turun temurun secara historis, oleh sebab itu kunci utamanya adalah meningkatkan minat baca tulis masyarakat. Karena dengan membaca isi lontar maka mempertajam kajian dan tafsiran terhadap isi naskah tersebut. Selain itu, dengan menulis maka dapat menyalin naskah-naskah yang diangap sudah tidak layak. Dengan demikian kegiatan baca tulis naskah lontar mampu menyeimbangkan eksistensi naskah lontar di Bali. Naskah lontar oleh masyarakat merupakan naskah yang sakral sehingga tidak bisa sembarangan untuk membacanya. Asumsi tersebut juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya minat baca masyarakat terhadap naskah lontar. Walaupun pada nyatanya dipandang sebagai benda sakral, jika asumsi tersebut dijadikan dalil bagi masyarakat untuk tidak membaca maka peluang naskah lontar untuk rusak sangat tinggi. Tidak dapat dipungkiri budaya baca tulis naskah lontar tersebut akan punah.

Mengambil sampel di Kabupaten Karangasem, tingkat buta aksara cukup tinggi. Fenomen tersebut mengindikasikan aktivitas baca tulis di masyarakat sangat rendah.  Data yang diperoleh tahun 2015 oleh dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga kabupaten Karangansem terdapat 14.498 orang yang buta aksara dengan rentang usia 15-59 tahun. Tingkat buta aksara yang tinggi adalah faktor utama penyebab degradasi budaya baca tulis naskah lontar. Berdasarkan data tersebut, tingginya tingkat buta aksara memberikan peluang yang besar terjadinya degradasi budaya nyastra (baca tulis naskah lontar).

Tradisi keberaksaraan dan keterpelajaran pada lontar adalah warisan budaya yang sangat berharga dan penting. Bukan saja penting untuk para leluhur dan orang Bali kini tetapi juga penting untuk menghiasi khasanah intelektual masyarakat luas lainnya. Semuanya masih relevan dan patut diwarisi, dilestarikan, dan diteruskan agar tercapai kehidupan yang lebih baik, material-spiritual. Oleh sebab itu solusi terbaik adalah dengan melakukan pelatihan baca tulis terhadap masyarakat buta aksara. Selain sebagai tugas pemerintah, relawan literasi juga menjadi mitra kerja pemerintah demi tercapainya masyarakat yang melek aksara. Taman bacaan masyarakat mejadi alternatif bagi mayarakat untuk meningkatkan kegiatan literasinya. Sehingga dengan melek aksara mampu melestarikan budaya Bali sebagai warisan secara turun temurun. Tidak hanya melestarikan secara fisik namun mampu melestarikan dan menyebarkan ajaran-ajaran kemulian yang terkandung di dalamnya sehingga mampu menjadikan Bali yang adhiluhung.