Oleh. Atep Kurnia*
Beberapa kata Sunda yang menunjukkan buka puasa adalah “ngabatalan”, tajil (takjil), dan buka. Pengertian “ngabatalan” hanya saya dapatkan dalam Kamus Basa Sunda (2006: 69) susunan R.A. Danadibrata. Ia mengartikannya dengan “nginum at. barangdahar saeutik keur nu puasa waktu magrib datang” (minum atau makan sedikit bagi yang sedang berpuasa kala magrib tiba).
Sementara uraian tajil saya baca dari Ensiklopedi Sunda (2000: 641) suntingan Ajip Rosidi. Di situ dikatakan kata tajil berasal dari bahasa Arab, yang bermakna bersegera. Maksudnya bersegera berbuka setelah menjalankan ibadah puasa. Sesuai pengertiannya, tajil identik dengan ngabatalan, karena cukup dengan minum air bening.
Namun, pada praktiknya, sebagaimana yang diuraikan dalam Ensiklopedi Sunda, kebanyakan rumah tangga orang Sunda yang mampu terbiasa menyajikan “amis-amis” atau makan kecil untuk tajil, seperti kolek (kolak), candil, dan berbagai kue. Bahkan ada yang merasa lebih baik untuk tajil adalah makan buah kurma. Dengan demikian, tajil seperti tampak pada kebiasaan masyarakat muslim Sunda adalah berkonotasikan makan dan minum ‘kecil-kecilan’ sebelum saat makan nasi tiba, atau dengan kata lain ‘jenis makanan lah yang merupakan inti tajil itu dan bukan saat yang bersifat segera.
Menurut penulis lema tajil itu, penyimpangan arti tajil berasal dari kebiasaan tajil itu sendiri, yaitu segera setelah terdengar suara azan atau tabuhan beduk di pedusunan yang memberitahu saat salat maghrib, maka mereka yang berpuasa bersegera berbuka dengan minum dan makan makanan kecil. Setelah itu salat maghrib dan makan nasi.
Redaksi majalah Sari (Vol. 22-7, 1964: 11) bahkan memberi pengertian tajil sebagai berikut “Ngabatalan puasa ku amis-amis disebutna tadjil” (berbuka puasa dengan penganan manis disebut tajil). Dalam novel Ajo Pitbul (2018), Tatang Sumarsono pun kira-kira memaksudkan demikian kala menyebutkan “Deungeun sangu loba rupana, ditambah deuih ku amis-amis hancengan tajil” (Lauk nasi banyak ragamnya, ditambah lagi dengan penganan manis untuk tajil).
Berikutnya, istilah umum untuk berbuka puasa dalam bahasa Sunda adalah buka, dan bahasa halusnya “bobor”. Misalnya, seperti yang saya temukan dalam Kamus Basa Sunda (1954: 63, 70) susunan R. Satjadibrata. Ia mengartikan “bobor” sebagai “buka puasa” dan buka adalah “dahar magrib waktu puasa” (makan maghrib saat puasa).
Demikian pula yang dijelaskan oleh R.A. Danadibrata dalam Kamus Basa Sunda (2006: 98, 109). “Bobor” sama artinya. Sementara buka diberi arti “barangdahar jeung barangleueut waktu magrib tas puasa bulan Puasa, sok disebut oge buka puasa” (makan dan minum waktu magrib setelah berpuasa pada bulan Ramadan, suka disebut juga buka puasa).
Dalam pustaka Sunda, salah satu yang sangat bagus menggambarkan pertalian antara “ngabatalan” dan tajil adalah 40 Dongeng Enteng ti Pasantren (1998: 181) karya Rachmatullah Ading Affandie. Di situ ada narasi begini: “Tajil mah atuh cukup ku nginum, terus ngahuapkeun nu aya, sakadar ngabatalan. Atawa matak naon mun tajil di masigit. Kadar mawa cangkir ti kobong keur ngabatalan mah. Ulah kena-kena puasa, kana salat jadi melencing, sabab ari ibadah puasa teh lain hartina meunang mopohokeun kana ibadah-ibadah sejenna”.
Artinya, takjil cukup saja dengan minum, terus menelan apa yang ada, sekadar “ngabatalan”. Atau lebih baik takjil di masjid. Hanya tinggal membawa cangkir dari kamar asrama untuk “ngabatalan”. Jangan mentang-mentang sedang berpuasa, untuk ibadah salat jadi malas, sebab ibadah puasa itu bukan artinya boleh melupakan kepada ibadah-ibadah lainnya.
H.D. Bastaman melalui buku Ceu Nonoy Putra Ua Banagara (2016: 41) memberikan contoh tentang “ngabatalan”. Katanya, “Barang ngong, leguk-leguk sarerea ngabatalan terus nyerbu lalawuh nu aya dina piring” (Ketika terdengar azan, seketika itu pula semuanya berbuka sedikit lalu menyerbu penganan yang ada di atas piring). Syam Ridwan (Keom Sakedap, 2006: 55), bahkan memberi anekdot terkait “ngabatalan”, dengan mengatakan, “Ras inget ceuk batur lamun euweuh nanaon keur ngabatalan colok we irung cenah” (Aku ingat, kata orang bila tidak ada apa-apa untuk berbuka, tinggal colok saja hidung).
Sebelumnya pengarang Sunda paling produktif Ahmad Bakri memotret takjil dan buka dalam beberapa bukunya. Dalam Pajung Butut (1968: 14) ada gambaran demikian, “Biasana ari ngadagoan waktu buka teh djaman bapa Naib nu ngalih mah sok ngiring ngariung di emper masdjid djeung nu rea. Geus saradia keur tadjil” (Biasanya bila menanti waktu buka puasa pada zaman bapak Naib yang sudah pindah adalah turut berkumpul di serambi masjid bersama orang kebanyakan. Sudah tersedia [minuman dan penganan] untuk takjil).
Sementara urutan takjil, salat magrib, lalu makan sebagaimana yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Sunda, digambarkan oleh Ahmad Bakri dalam buku Srangenge Surup Manten (1982: 82). Di situ ia menulis, “Geus tajil geus salat magrib, semah jeung pribumi ngariung dahar di tengah imah” (Setelah takjil dan salat maghrib, tamu dan pribumi berkumpul dan makan di ruang tengah).
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang