Oleh. Atep Kurnia*

 

Dalam A Dictionary of Soenda Language of Java (1862) karya Jonathan Rigg tidak terdapat kata ngabuburit. Di dalam kamus Sunda-Inggris pertama itu saya hanya menemukan kata burit saja, yang diberi arti evening dan nightfall (1862: 73).

Sedangkan dalam Kamus Umum Basa Sunda (1995: 73) susunan Tim LBSS, ngabuburit berarti “ngalantung ngadagoan burit, biasana pasosore bulan puasa, ari datang deui geus waktu buka (berjalan-jalan menunggu senja, biasanya sore hari bulan Ramadan, dan saat kembali sudah tiba waktu berbuka). Demikian pula yang dikatakan R. Satjadibrata (Kamus Basa Sunda, 1954, 2005: 84) yang mengartikannya “jalan-jalan di waktu burit, samemeh buka puasa dan menurut R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006: 117) “ngadagoan burit dina bulan puasa bari jalan-jalan.

Dalam kamus Sunda-Inggris susunan R.R. Hardjadibrata (Sundanese English Dictionary, 2003: 135) arti ngabuburit diberi pengertian beserta contohnya, yaitu “(in the fasting month) spreading out of doors (eg. by fishing, having a walk, flying a kite, etc) the time before breaking the fast” (pada bulan Ramadan keluar rumah dengan kegiatan seperti memancing, berjalan-jalan, bermain layang-layang, dan lain-lain, sebelum tibanya waktu berbuka).

Praktiknya, apa saja kegiatan yang dilakukan selama ngabuburit di masa lalu? Tentu saja banyak pustaka Sunda yang menggambarkannya. J. Kats dalam Warna Sari Soenda, Vol. II (1922: 138) antara lain mendeskripsikannya sebagai berikut: “Pasosore rea anoe ngaboeboerit, ngalantoeng ka sawah ka pasar atawa ka mana bae. Dimana geus nepi kana waktoena, trong kohkol di masigit nitah boeka” (Sore hari banyak orang yang ngabuburit, berjalan-jalan ke sawah, ke pasar, atau ke mana saja. Bila tiba waktunya, kentongan ditabuh di masjid sebagai pertanda menyuruh buka puasa).

Demikian pula yang tergambar dalam koran Sunda Sipatahoenan edisi 8 Juli 1939. Di dalam tulisan “Basadjan” ada kutipan berikut: “Njandak peso + ajakan leutik, kawaj bodas sindjang kandoeroean, ka handap gamparan kelom, sanggoelna dina poendoek, raraj bodas njatjas beresih, entas netepan asar, loetjoe koe tas woeloe, ngambah kebon rerentetan, ongkoh deui sakalian ngaboeboerit, ngoendeur lalab keur boeka” (Membawa pisau dan ayakan kecil, kaway putih kain kanduruan, ke bawahnya mengenakan kelom, sanggulnya di pundak, muka putih bersih, seusai salat asar, lucu karena telah berwudu, menjelajahi kebun bersidekat, apalagi sekalian ngabuburit, memetik lalab untuk buka puasa).

Dalam Sipatahoenan edisi 19 Oktober 1940 bahkan ada cerpen berjudul “Ngaboeboerit” karya Nanie. Pada paragraf pertamanya sudah tergambar apa yang disebut ngabuburit itu, yaitu “Geus ngabakoe, poekoel satengah 5 inditna ti imah teh! Keur meudjeuhna loeloengsena wajah kitoe teh keur noe poeasa mah!” (Sudah biasa, setiap pukul setengah lima sore ia berangkat dari rumah! Saat tersebut merupakan masa paling lunglai bagi orang yang sedang berpuasa).

Selanjutnya Nanie membuat deskripsi: “Tara kana kareta mesin, lantaran ari keur loengse kitoe mah sarareunggah njorang tandjakan teh! Noe matak kadjeun roegi opat ketip keur kana delman boelak-balik djeung saketip keur meuli kartjis Kebon Sasatoan. Da ka dinja oenggal powe oge ngadon ngaboeboeritna teh” (Saya tidak pernah menggunakan sepeda, sebab ketika lunglai seperti itu saya enggan menjelajahi tanjakan! Oleh karena itu, biar rugi empat ketip, saya naik delman bolak-balik dan seketip untuk membeli karcis masuk ke Kebun Binatang. Karena ke sanalah saya ngabuburit setiap hari).

Selain Nanie, ada The White Angel yang menulis cerita bersambung tiga bagian dengan judul “Ngaboeboerit” dalam Sipatahoenan edisi 28 hingga 30 Oktober 1940. Pada bagian pertamanya, saya mendapatkan deskripsi, “Kapanggihna ketjap ngaboeboerit teh ngan dina boelan Poeasa bae, sarta prakna roepa-roepa, noeroetkeun satjarana-satjarana, paribasa tjiri saboemi, tjara sadesa. Sawareh bring sabada Asar ngaraleut ka kota ngadon aroelin, magar teh neangan boerit, ari balik marintjoek atawa moengkoes keur boeka, sawareh ngahadja ka anoe rada anggang ti lemboerna, ngiras manggihan kawoewoehan djeung soegan aja anoe model2 keur pangboekaan. Nja aja oge noe teu aja deui gawe lian ti ngoekoer paloepoeh, di tepas boh tadjoeg, bari ngarep-ngarep impian aloes”.

Artinya, kata ngabuburit hanya ditemukan pada bulan Ramadan saja serta pada praktiknya berbagai macam, berdasarkan cara masing-masing, sesuai dengan peribahasa ciri sabumi cara sadesa. Sebagian orang ada yang setelah asar bersama-sama pergi ke kota untuk bermain-main, konon untuk mencari senjakala, dan pulangnya memincuk atau membungkus makanan untuk berbuka. Sebagian lagi sengaja pergi ke tempat yang agak jauh dari kampungnya, dengan harapan dapat menemukan hal-hal yang aneh untuk berbuka. Tapi ada pula yang tidak ngabuburit, kecuali hanya mengukur lantai bambu, di serambi atau di langgar, seraya mengharapkan munculnya impian bagus.

Sjarif Amin menuliskan amatannya seputar ngabuburit tahun 1920-an hingga 1940-an dalam Keur Kuring di Bandung (1983: 13-19). Menurutnya ngabuburit di Bandung saat itu antara lain: menyusuri trotoar atau langak-longok ke toko. Anak-anak menonton film ke bioskop yang sengaja diperuntukkan bagi anak-anak (Kindervoorstelling). Biasanya setiap Minggu pagi, tapi kemudian ditambah dengan hari Sabtu, selepas dzuhur.

Selain itu, anak-anak biasanya berkumpul di Alun-alun Bandung. Mereka saling berkejaran dan kala mendekati saat buka puasa, mereka menantikan meriam disulut. Meriam itu biasanya di depan halaman kabupaten (“Mariem nu sok diarep-arep ku barudak mah. Hayang neuleukeun nyeungeutna. Di pakarangan kabupaten, hareupeunana, sok diseungeutna teh”).

Haryoto Kunto menggambarkan ngabuburit tempo dulu dalam “Ngabuburit Gaya Tempo Doeloe” (Ramadhan di Priangan, 1996: 51-62). Katanya, secara umum ngabuburit tempo dulu di Bandung, adalah: mandi di Sungai Cikapundung; mandi di sumur bor yang ada di depan Kantor Pos Besar Bandung; bermain di taman-taman, Jubileum Park (Taman Sari), Insulinde Park (Taman Lalu lintas), Molukken Park (Taman Maluku), Pieters Park (Taman Merdeka); bermain di lapangan-lapangan, seperti Lapang Javastraat; naik perahu di Situ Aksan, Situ Bunjali, dan Empang Cipaganti; dan kebut-kebutan di jalanan, seperti remaja-remaja sebelum perang hingga tahun 1950-an memakai sepeda ke Bandung Utara atau ngecot memakai sepeda motor, yang puncaknya terjadi pada tahun 1970-an.

Us Tiarsa R merekam ngabuburit di Bandung tahun 1950-an dan 1960-an dalam Basa Bandung Halimunan: Bandung Taun ’50-’60-an (2001: 7-8, 49). Di antaranya bermain ke Stasiun Bandung, berupa naik-turun ke bordes, dan menggilas paku di atas rel bila kereta api lewat.

Kata Us Tiarsa, “Resep ulin di setatsion teh, komo ari bulan puasa mah. Ngabuburit teh sok ulukutek di dinya we. Mun teu turun unggah kana bordes, sok ngageleng-gelengkeun paku. Paku lincar teh diteundeun dina erel sina kageleng ku kareta api”. Atau katanya menonton lokomotif yang diputarkan di sebelah barat bengkel kereta api, di bawah jembatan Pasir Kaliki. Karena di sana ada tempat memutar lokomotif (“Mun teu kitu, sok lalajo nu muterkeun hulu kareta api. Di kuloneun dipo [bengkel kareta], lebakeun pisan sasak gintung [Pasirkaliki], aya pamuteran lokomotip”).

Us Tiarsa juga pernah mengisi acara ngabuburit dengan menjala ikan, seminggu sekali. Turun di Situ Tarate, Situgunting, atau Cibaduyut dan naik lagi di Legok Ciseureuh (“Saminggu sakali wae mah osok ngecrik. Komo ari bulan Puasa mah. Itung-itung ngabuburit. Sok kasorenakeun ngecrik teh. Sok rada jauh ari ngecrik mah. Mun ka kidul, turun teh sok lebah Situ Tarate, Situgunting, atawa Cibaduyut. Mapay susukan ka wetankeun. Hanjat-hanjat di Legok Ciseureuh”).

Sementara dari laporan Handjuang No. 061 Okt 1974, saya memperoleh gambaran ngabuburit di Bandung tahun 1970-an. Kata penulis laporan, anak-anak berjalan-jalan sedari pagi. Mereka menyusuri emper toko, bermain di panggung Tegallega. Sementara yang lainnya ke Alun-alun, berjalan-jalan atau melihat-lihat poster di bioskop. Sosorodotan di jembatan Masjd Agung. Bila ada toko yang buka, mereka merubungi took, demi melihat-lihat barang-barang di dalamnya. Di Jalan Oto Iskandar di Nata, anak-anak merubungi tukang obat, tukang gambar dan tukang sulap. Di Taman Merdeka mereka niis, berbaring di hamparan rerumputan.

Atau anak-anak pergi berjalan-jalan ke Taman Maluku. Di sana mereka bermain kucing-kucingan, bermain air, atau memunguti buah kenari di pinggir jalan. Lalu mereka menyusuri Jalan Dago kemudian belok ke Jalan Ganesa atau Proyek Cisangkuy, di sana berbaring-baring menghabiskan waktu. Juga ke Taman Sari atau Reaktor Atom terus ke Lembur Kuring di Babakan Siliwangi. Demikian pula ke Curug Dago atau Pakar, sama saja. Selain itu, yang sama adalah ngabuburit di stasiun: Naik-turun bordes, menggilaskan paku di atas rel, atau menonton lokomotif yang diputarkan.

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang